Alvin menarik kursi kayu dan duduk tepat di depan Gladys. Wajahnya tampak lembut, mata gelapnya memantulkan ketulusan yang seolah bukan kepura-puraan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, lalu tersenyum kecil.
"Aku tahu ini berat buatmu, Kak," ucap Alvin pelan. "Tapi Mama dan aku di sini bukan untuk menghakimi atau menyakiti."
Gladys menatap pemuda seusia dengannya itu. Ia belum bicara. Hanya menggenggam jemarinya sendiri erat-erat di atas pangkuan.
“Kak, kamu gadis baik. Tidak seharusnya menghabiskan hidup dengan orang-orang yang cuma tahu bagaimana menyakitimu.”
Ada guncangan di dada Gladys. Bukan karena simpati mereka, melainkan karena betapa persuasifnya semua ini. Seandainya ia adalah Gladys yang dulu, yang mudah percaya, mudah berharap, mungkin ia sudah luluh.
"Aku cuma ingin tenang.” Suara Gladys nyaris tak terdengar. Ia menunduk. “Tapi rasanya semua orang datang hanya untuk memaksa dan mengambil."
"Tidak semua," balas Alvin cepat. "Aku dan Mama datang bukan untuk itu."
Garnetha menyentuh tangan Gladys. "Kami cuma ingin kamu sadar. Hidup ini terlalu singkat untuk kamu pertahankan ikatan dengan orang yang hanya menyedot nyawamu perlahan."
Gladys menoleh pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Untuk sementara hening menjalari ruangan. Tak ada yang bergerak. Bahkan jam dinding pun seolah menahan detiknya.
“Kak,” suara Alvin kembali mengisi ruang. Kali ini lebih lembut. “Jangan biarkan hidupmu redup, kamu bisa mulai lagi dari awal.”
Gladys menatap Alvin lama. Dan itulah saatnya.
"Apa maksudmu?" bisiknya pelan.
Alvin melirik ibunya. Pun dengan Garnetha.
"Maksud Alvin, kamu bisa membangun lagi hidupmu, Sayang. Kamu bisa mulai dengan seseorang yang benar-benar bisa kamu percaya juga bisa menjagamu dengan benar.”
Kening Gladys berkerut. Ia tersenyum dingin. “Apa sebenarnya yang ingin kalian katakan?” Ditatapnya Garnetha dan Alvin bergantian.
Ibu dan anak itu saling pandang sesaat seolah berkompromi siapa yang akan mengatakannya.
“Sayang … jika ingin hidupmu tidak hancur, sebaiknya kamu ceraikan Tyo sekarang juga. Dan kemudian menikah dengan Alvin. Hanya Alvin yang cocok sama kamu.”
Suasana mendadak membeku. Gladys menatap Garnetha tanpa kedip. Namun, tak ada kata yang terucap. Ia hanya diam. Bahkan terlalu lama. Matanya menatap kosong dua wajah yang menunggunya dalam harap.
Detik berikutnya Gladys berdiri.
"Keluar," ucapnya pelan tanpa emosi apa pun.
Garnetha mengerjap. “Gladys?” Menatap tak percaya.
"Aku bilang keluar."
Alvin berdiri. "Kak, tunggu dulu. Kami—"
"Keluar dari kamar ini, sekarang juga!" teriak Gladys pada akhirnya, suaranya pecah. "Kalian sama saja! Kalian tetap manusia-manusia yang ingin mengambil dari hidupku! Bahkan sekarang pun... kalian masih menekan, menyamar jadi penolong hanya untuk menukar luka dengan belenggu baru! Aku pikir kalian benar-benar ingin menolongku. Memberi solusi. Ternyata ….”
"Gladys, dengarkan—"
"Tidak! Aku tidak butuh kalian. Aku tidak butuh siapa pun! Aku bodoh karena sempat percaya!"
Garnetha bangkit, matanya menyala penuh emosi. "Jadi begitu? Setelah semua nasihat baik yang kami beri, kamu malah usir kami?"
"Itu bukan nasihat. Itu jebakan baru."
"Kau benar-benar tidak tahu diuntung! Sudah diberi kesempatan, malah menolak seperti orang gila!"
"Keluar!" Gladys menunjuk pintu.
"Kau pikir siapa dirimu? Perempuan rusak yang dicampakkan di hari pernikahan. Jangan harap kau akan bertahan lama tanpa kami!" Garnetha menunjuk wajah Gladys, suaranya kini melengking.
"Mama!" Alvin mencoba menghentikan ibunya, tapi Garnetha sudah terlanjur murka.
“Kau akan jatuh lebih dalam, Gladys! Tak seorang pun akan menyelamatkanmu! Dan saat itu terjadi, jangan datang mencium kakiku minta bantuan!”
Dengan satu gerakan kasar, Garnetha menyeret Alvin keluar dari kamar. Pintu dibanting keras, membuat jendela bergetar.
Gladys tak bergerak. Ia berdiri mematung beberapa detik, sebelum akhirnya lututnya lemas. Ia jatuh duduk di tepi ranjang, tubuhnya berguncang hebat. Tangisnya pecah.
Akhirnya ia rebah di ranjang. Tak peduli lagi pada air mata yang membasahi bantal. Dunia luar menghilang. Yang tersisa hanya ruangan itu, isinya hanya satu gadis yang kehabisan kepercayaan, kehabisan harapan.
Dan satu kalimat terus bergema di benaknya: Aku bodoh karena sempat percaya pada mereka.
**
Gladys terbangun dalam keheningan aneh. Matanya menatap langit-langit putih, sedikit bingung. Ia yakin terakhir kali tertidur di kamar ayahnya. Tapi kini, ia berada di kamarnya sendiri.
Ia bangkit, menatap sekeliling. Tak ada siapa-siapa.
Siapa yang memindahkannya? Atau apa ia berjalan dalam tidurnya?Tubuhnya terasa berat, tapi ia memaksa bangkit. Berjalan keluar kamar dengan langkah tertatih. Dan setelah berada di luar kamar, suara keributan terdengar dari depan.
"Jangan sentuh barang-barang itu!" teriak suara laki-laki. Gladys mengenali suara itu. Tyo.
Gladys terlonjak. Memaksa berlari ke sumber keributan meski tubuhnya lemah.
Pemandangan yang menyambutnya membuat jantungnya nyaris berhenti. Puluhan pria berjas gelap, sebagian membawa map, sebagian lagi tampak seperti satu profesi dengan Tyo dilihat dari perawakan dan tampilan mereka. Tak seorang pun yang Gladys kenali.
Di tengah orang-orang itu, Tyo berdiri dengan wajah memerah dan mata yang liar.
"Ada apa ini?!" teriak Gladys.
Salah satu pria, yang penampilannya paling rapi dan membawa berkas tebal, melangkah ke arahnya. "Nyonya Gladys. Maaf mengganggu pagi Anda. Tapi rumah ini secara resmi telah disita karena pelanggaran dan utang yang belum dilunasi oleh Tuan Satrio Wiradarma."
“Apa?” Bukan hanya bibir Gladys yang bergetar, tapi juga kaki dan seluruh tubuhnya. Tapi ia bertahan, meyakinkan diri hanya pendengarannya yang salah.
Pria itu membuka map coklatnya, menarik selembar dokumen berstempel merah, lalu menyerahkannya ke tangan Gladys yang gemetar. "Ini surat resmi dari pengadilan. Mulai hari ini, rumah ini bukan lagi milik keluarga Anda. Anda punya waktu dua puluh empat jam untuk keluar dari rumah ini."
Ruangan yang seharusnya sejuk itu kini berubah panas. Gerakan-gerakan liar di atas ranjang membuat semua benda terasa ikut bergetar. Bahkan gelas berkaki tinggi di atas nakas membuat airnya seolah akan tumpah.Suara erangan, desahan, dan teriakan-teriakan kecil berpacu dengan deru napas yang memburu.Tubuh keduanya sudah bermandi peluh sejak tadi, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mengakhiri perjalanan itu.Tangan Gladys meremas seprei yang sudah tak beraturan. Sesekali menjambak rambut Tyo atau menancapkan kukunya di kulit keras sang pria seiring tubuhnya yang terus menggelinjang. Mulutnya tak pernah sepi. Terus menceracau mengekspresikan perasaannya.Matanya terpejam seiring sensasi indah yang terasa membawanya terbang berpetualang di atas nirwana. Sesekali terbuka, menatap penuh cinta wajah pria yang tengah memberikan keindahan itu.“Tyo…,” desahnya manja saat merasakan tubuhnya terguncang lebih cepat karena ritme gerakan sang pria semakin tinggi. Diremasnya kuat-kuat s
Tyo menatap Gladys sebentar, sebelum mengalihkan pandangan dan mengembuskan napasnya.“Dulu, aku pernah merasa hidupku sangat hampa, Gladys,” ucap Tyo lirih, memecah keheningan di antara mereka. “Waktu itu, aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa aku hidup.”Gladys balik menatap pria itu, mendengarkan dengan saksama setiap kata yang keluar dari mulutnya. Wajah dan ekspresi Tyo yang selalu serius, kini tampak bertambah kadar keseriusannya.“Saat itu perusahaan Papaku sedang terpuruk. Aku tahu betul betapa kerasnya beliau berusaha mempertahankan semuanya. Lalu, ketika Papa bilang ada sesuatu yang bisa aku bantu… aku mengangguk. Tanpa banyak tanya. Tanpa pikir panjang.”Tyo menatap langit yang mulai berwarna keunguan. Suaranya terdengar jernih, tenang, tapi penuh beban.“Beliau ingin aku menyelundup ke rumah seseorang. Pria yang katanya penyebab kejatuhan bisnis kami.”Gladys refleks menahan napas.“Aku mengikuti pelatihan fisik di sebuah agensi yang menelurkan banyak pengawal kredibel. Age
Angin sore berembus lembut melewati balkon berdinding kaca yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan cahaya keemasan menari-nari di lantai kayu. Tyo baru saja selesai menata makanan di meja kecil balkon.Sementara itu, Gladys baru keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk kimono dan rambut basah yang digelung seadanya. Ia menatap sekeliling ruangan, matanya langsung tertumbuk ke atas ranjang. Sesuatu menarik perhatiannya.Di sana terhampar satu blouse berwarna krem pastel. Potongannya elegan, lembut, dan terlihat… sangat sesuai dengan seleranya. Gladys memicingkan mata, lalu menoleh ke arah Tyo yang sedang menuangkan teh.“Tyo,” panggilnya dengan nada curiga, “itu… baju siapa?”Tyo hanya melirik sebentar, lalu kembali sibuk mengisi gelas. “Bajumu.”Gladys mengerutkan kening. “Bajuku? Maksudmu—”“Kenapa? Tidak suka?” sahut Tyo ringan. “Kalau begitu kamu pilih saja sendiri. Ada di lemari.”Tyo menunjuk sisi dinding di mana ada ruangan di baliknya
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu, membungkukkan badan dengan sopan.“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucapnya pelan, dengan suara nyaris tak terdengar.Tyo mengerutkan keningnya dengan bingung. “Kenapa disiapkan makanan? Aku tidak meminta,” tanyanya, nada suaranya datar tapi terdengar jelas nada heran di baliknya.“Nyonya yang menyuruh, Tuan,” jawab si pelayan tanpa menatap langsung ke arahnya.Alis Tyo terangkat. “Apa Nyonya sudah menunggu di meja makan?”Pelayan itu menggeleng dengan anggukan sopan. “Tidak, Tuan. Nyonya dan Tuan besar sudah pergi keluar sejak pagi. Tuan Muda Bintang juga pergi.”Tyo menarik napas pelan, nyaris tak terdengar. Ada sedikit kelegaan yang perlahan menyelinap dalam dadanya. Setidaknya hari ini ia tak perlu menghadapi tatapan penuh penilaian dari ibunya atau sindiran tajam yang kadang dilemparkan ayahnya tanpa ampun. Gladys bisa beristirahat dulu. Tanpa tekanan. Tanpa harus terus waspada.“Tolong bawakan saja
Tyo melerai pelukannya perlahan setelah tubuh Gladys mulai tenang. Isak tangisnya telah mereda, meski napasnya masih sedikit tersengal. Tyo menatap wajah wanita itu lekat-lekat, lalu menyelipkan helai rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Tangannya kemudian mengusap pelan sisa air mata yang masih membekas di pipi Gladys."Ayo duduk," ucapnya lirih sambil membimbing Gladys ke tepi ranjang.Gladys menuruti, meski gerakannya masih terasa berat dan penuh keraguan."Istirahatlah. Kamu memang terlihat sangat lelah," ujar Tyo, suara dan sorot matanya begitu penuh perhatian.Namun, Gladys menggeleng perlahan. Matanya masih sembap, namun kini menyiratkan kegelisahan yang lebih dalam."Kenapa?" Tyo bertanya lagi, mengernyitkan dahi."Tidurlah dulu. Jangan risaukan apa pun. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."Gladys menatap Tyo beberapa detik, seolah mencari kepastian di balik kata-kata itu. Tapi kemudian dia kembali menggeleng."Aku takut," bisiknya liri
Ketegangan masih menyelimuti. Gladys merasakan tangannya semakin dingin. Apalagi saat melihat Billy, yang wajahnya memerah, tampak hendak berdiri.Tubuh pria itu sudah sedikit terangkat dari sofa ketika sebuah tangan terulur, menahan gerakannya.“Biarkan aku dulu,” ujar Metha—istrinya.Billy menghela napas pelan dan kembali bersandar. Sorot matanya tetap tak lepas dari putra sulungnya dan wanita yang berdiri di sampingnya. Sesuatu seperti ingin meledak, tetapi diredam dengan keras.Metha berdiri. Langkahnya pelan, penuh kontrol. Tapi suara hak sepatunya di lantai marmer terdengar menggelegar—menghantam ruangan seperti palu godam. Detak jantung Gladys kian menggila.Tyo tetap tenang di sampingnya, meski sorot matanya sedikit mengeras saat ibunya semakin mendekat.Tanpa sadar, Gladys meremas tangan Tyo yang masih menggenggam jemarinya.Tyo membalas dengan remasan lembut, menenangkan.Metha berhenti tepat di hadapan mereka. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan bibirnya terkatup rapa