LOGIN“A-apa maksud kalian?!” Suara Gladys pecah meski gemetar. “Ini rumahku! Rumah keluargaku!”
Salah satu petugas maju dengan sikap tenang tapi tak bisa disangkal ketegasannya. “Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan putusan pengadilan. Mohon kerjasamanya.”
“Tidak! Ini tidak masuk akal! Kalian pasti salah!” Gladys melangkah mundur, matanya liar menatap surat di tangannya. “Ayahku tidak mungkin….”
"Surat itu sah, Bu," ujar pria itu datar. "Utang almarhum Tuan Satrio pada beberapa perusahaan dan bank sudah jatuh tempo. Tidak ada pembayaran. Proses hukum sudah berjalan. Hari ini rumah ini resmi disita."
"Tidak! Kalian bohong!" jerit Gladys, memelintir surat di tangannya. "Ayahku tidak mungkin membiarkan ini terjadi! Papi tidak akan mewariskan kekacauan seperti ini padaku!"
Tyo melangkah cepat ke arahnya dan mencoba menahan tubuh Gladys yang mulai bergetar tak terkendali. “Nona Gladys, tolong tenang dulu….”
"Tidak! Aku tidak akan keluar dari sini! Ini rumahku! Ini kenangan ayahku… semua hidupku di sini!" teriaknya, mencakar udara, mencoba menjangkau siapa pun yang bisa dia salahkan. “Kenapa aku harus pergi?! Kalian siapa?! Dasar pencuri!” Suara Gladys melengking, memantul di setiap sudut ruangan.
Seseorang di antara para petugas mengangkat ponselnya dan mulai merekam. Gladys melihatnya.
"Jangan rekam aku!" Ia melompat, hampir merebut ponsel itu sebelum Tyo menarik tubuhnya ke pelukannya.
“Nona, cukup! Jangan rusak dirimu lebih jauh! Tenanglah!”
“Tenang? Kau memintaku untuk tenang setelah kau melihat sendiri hidupku semakin hancur?!”
Teriakannya berubah jadi jeritan penuh histeria. Tubuhnya menggeliat di pelukan Tyo seperti orang kesurupan. Rambutnya awut-awutan, suaranya melengking tak karuan, dan air mata membasahi pipinya.
“Kenapa Papi tidak mengajak aku sekalian mati?! Kenapa harus ninggalin aku sendirian begini?!”
Tyo mengeratkan pelukannya. “Nona, saya di sini. Kamu tidak sendiri….”
Tapi Gladys tak mendengar. Ia sudah seperti binatang liar yang terluka parah—meronta, mencakar, dan menangis sekeras mungkin. Tak ada sisa martabat dalam tubuh itu. Tak ada kemewahan, tak ada malu. Hanya duka yang telanjang.
**
“Makanlah dulu, Nona belum makan dari kemarin.” Tyo menyerahkan sebotol air dan sebungkus roti yang baru dibelinya dari minimarket di seberang halte.
Gladys tidak menjawab. Ia memeluk lututnya. Pandangannya kosong. Matanya sembap, hidungnya merah, dan rambutnya basah oleh keringat serta sisa air mata.
Kini mereka berada di sebuah halte tua setelah keluar—atau lebih tepatnya, terusir—dari rumah orang tuanya. Sebuah koper besar tergeletak di sampingnya. Satu-satunya barang yang ia bawa dari rumah masa kecilnya.
Tyo membuka tutup botol, lalu menyodorkannya ke hadapan Gladys saat wanita itu tak bereaksi apa pun.
“Saya bantu, ya,” bujuk Tyo seraya mendekatkan botol ke bibir Gladys. Namun, Gladys menolaknya. Ia mendorong tangan Tyo.
Dengan suara lirih, hampir seperti bisikan angin, Gladys bertanya, “Apa semua ini nyata, Tyo?”
Tyo terdiam.
“Tolong, tolong bangunkan aku, Tyo. Aku yakin ini hanya mimpi buruk. Aku masih tidur, dan saat aku bangun, semua masih baik-baik saja. Papi akan menyambutku dengan senyumnya. Seperti pagi-pagi sebelumnya.”
Tyo semakin tertegun. Ada kilat aneh di matanya. Melihat wanita itu meracau tanpa menoleh, tatapan kosong, membuat desiran di dadanya nyata.
“Tolong katakan….” Kali ini Gladys menoleh hingga jelas terlihat kehancuran itu di wajahnya. “Semua ini tidak nyata, Tyo.”
Tyo mengerjap. Menghindari tatapan kehancuran di mata Gladys.
“Nona harus kuat. Apa pun yang terjadi, ada saya yang akan selalu menemani.”
Gladys mengalihkan pandangan lagi. Harapannya sirna. Padahal ia ingin Tyo mengatakan bahwa semua ini hanya mimpi. Air mata, yang belakangan menjadi teman setia, kembali mendesak keluar.
Ia menatap kosong ke depan, lalu mendesis, “Kalau begini akhirnya… kenapa Papi tidak mengajakku saja?”
“Jangan bicara seperti itu, Nona. Pak Satrio pasti tidak akan suka.”
“Tapi kenyataannya Papi ninggalin aku sendiri, Tyo!” Suara Gladys meninggi meski bercampur tangisan. “Papi ninggalin aku dengan semua kekacauan yang ternyata sudah dibuat sebelumnya. Seolah sengaja mewariskan semua itu agar aku menderita.”
“Nona….” Tyo menggeleng. Berusaha meraih tangan Gladys, tetapi wanita itu menghalaunya. Akhirnya ia hanya bisa menyaksikan mantan majikannya itu kembali berurai air mata tanpa tahu harus berbuat apa.
Tyo berusaha mendekat saat tangis wanita itu sedikit reda, tetapi getar ponsel di saku bajunya mengurungkannya. Pria itu meletakkan botol air dan sebungkus roti di sebelah Gladys sebelum menjauh untuk mengangkat panggilan.
Ia melirik sebentar ke Gladys yang masih menatap kosong ke depan, sebelum benar-benar mengangkat panggilan.
“Ya,” jawabnya tegas dan singkat. Lalu mendengarkan lawan bicaranya.
“Katakan aku belum bisa. Dan tolong siapkan sesuatu untukku sekarang juga.”
Tyo memutus panggilan, lalu mengirim beberapa pesan. Setelahnya ia bergegas kembali menghampiri Gladys yang masih di posisinya semula.
“Nona, tidakkah kamu merasa ada kejanggalan dari penyitaan rumah Pak Satrio?” tanya Tyo setelah duduk kembali di sebelah Gladys.
“Saya merasa… ada yang janggal….”
“Apa pentingnya lagi semua itu, Tyo. Kenyataannya… aku sudah terusir sekarang. Dan semua dokumen itu… ada stempel resmi di sana.”
Tyo menghela napas. Itu memang benar. Ia sendiri ikut memeriksa semua dokumen berstempel resmi itu.
“Tyo….” panggil Gladys lagi dengan suara lebih tegar. “Pergilah,” ujarnya tetap tanpa menoleh.
Kening Tyo serta-merta berkerut.
“Pergi?”
“Ya.”
“Ke mana?” Tyo tidak mengerti.
“Ke mana saja yang kau inginkan. Aku membebaskanmu.”
“Maksudnya?” Tyo semakin tidak mengerti.
“Papi sudah tidak ada, aku bukan lagi anak bosmu. Aku tidak punya apa-apa sekarang. Tidak akan sanggup membayar gajimu sebagai pengawal. Jadi, pergilah dan lanjutkan hidupmu.”
Hening sejenak, sebelum tiba-tiba Tyo melantaikan satu kakinya di hadapan Gladys, berlutut di depan gadis itu.
“Saya adalah suami Anda sekarang," ucap Tyo dengan suaranya yang dalam. Perlahan, pria itu menyentuh tangan Gladys. "Dan saya akan tetap di sisi Anda, Nona.”
Cahaya lembut menembus tirai kamar, jatuh di wajah Tyo yang masih tampak pucat. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah setiap uratnya menolak untuk digerakkan. Kelopak matanya terbuka perlahan, napasnya tersengal sebelum akhirnya teratur. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya fokus pada sosok perempuan paruh baya yang duduk di tepi ranjang.“Mama…” Suaranya serak, nyaris hanya berupa bisikan.Metha tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah sadar, Nak…” katanya pelan, lalu menggenggam tangan Tyo erat-erat. “Syukurlah, kamu sudah sadar.”Namun, bukannya menanyakan keadaannya sendiri, Tyo justru buru-buru menatap sekeliling, mencari sesuatu—atau seseorang. Napasnya memburu lagi, dan dengan suara parau ia berkata, “Gladys mana, Ma?”Metha menatapnya kaget. “Ada, tapi kamu baru sadar. Istirahat dulu. Jangan dulu memikirkan yang lain.”Tyo menggeleng lemah. “Aku harus ketemu Gladys. Tolong panggil dia, Ma. Aku mau bicara.”Nada suaranya memohon. Ada gentar, ada cemas, tapi juga
Metha menatap Santi dengan sorot mata yang menusuk. Napasnya berat, tapi tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap menebas siapa pun yang menentangnya.“Kenapa?” suaranya dingin dan rendah. “Kamu juga mau saya tampar, Santi?”Santi sontak memundurkan tubuhnya, wajahnya pucat pasi. Namun nada suaranya tetap meninggi, berusaha menutupi rasa takut yang jelas bergetar di ujung kata.“Saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti ini, Bu Metha! Kenapa, Bu?!”Metha mengangkat dagunya sedikit, senyum sinis mengembang di wajahnya. “Kenapa?” Suaranya bergetar karena amarah yang ditahan. “Kamu masih bertanya kenapa setelah apa yang terjadi pada anak saya?”Santi menatapnya dengan pandangan tertantang. “Kalau Ibu mau tahu,” katanya cepat, “justru Susan korban di sini! Dia yang hampir… hampir dinodai oleh anak Ibu!”Seketika udara di ruangan seolah membeku. Metha terdiam sejenak, menatap Santi lama, seolah tak percaya kata-kata itu bisa keluar dari mulut seorang ibu. Kemudian tawa dingin
“Bu Metha….”Suara dokter keluarga itu lembut tapi terdengar hati-hati, seolah setiap kata harus dipilih dengan cermat agar tidak memperburuk suasana.“Kami sudah melakukan pertolongan pertama. Untuk saat ini, keadaan Mas Aksa stabil, tapi beliau belum sadar.”Metha duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam ujung selimut putih yang menutupi tubuh anaknya. Tyo terbaring lemah di sana, wajahnya pucat, rambutnya masih lembap, napasnya berat tapi teratur. Di sela kelopak matanya yang terpejam, masih tampak guratan tegang, seolah tubuh itu belum benar-benar tenang dari penderitaan yang baru saja terjadi.Selang oksigen menempel di hidungnya, dan di ujung pergelangan tangan, jarum infus tertanam, menyalurkan cairan bening yang menetes perlahan.“Dok, sebenarnya apa yang terjadi padanya?” Suara Metha serak, nyaris berbisik. “Dia seperti bukan dirinya sendiri.”Dokter berkacamata yang memeriksa menatapnya dengan raut serius. Ia menurunkan masker, menghela napas pendek sebelum menjawab.
Tyo tersentak mundur, tubuhnya bergetar hebat. Cangkir teh terjatuh, pecah berantakan di lantai bersama piring kecilnya. Matanya melebar menatap sosok di depannya. Susan.Napasnya memburu. Otaknya berputar cepat mencari penjelasan yang tak kunjung ditemukan.“Apa ini ... Susan?” Suaranya parau, serak seolah ditarik paksa dari tenggorokan yang kering. “Kamu, apa yang kamu lakukan di sini?”Susan menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi di balik tatapan itu terselip sesuatu yang aneh, kebanggaan yang menggigit. Senyumnya tipis, dan justru membuat darah Tyo berdesir ngeri. Namun detik berikutnya gadis itu menangis keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.“Mas Tyo ....” isaknya tersendat di sela napas yang patah, “kenapa Mas ... kenapa Mas lakukan ini? Aku sudah bilang jangan! Nanti ketahuan Mbak Gladys!”Tyo terpaku. Napasnya tersengal. Ia belum mampu sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi di depan matanya. Ia menatap Susan, lalu beralih pada Gladys yang berdiri di ambang pint
Malam sudah menua, sudah lewat tengahnya. Jalanan sepi, hanya cahaya lampu jalan yang menyorot samar di balik jendela mobil. Tyo bersandar di kursi belakang, bahunya tegang, wajahnya lelah. Dari arah depan, suara lembut sopir tua yang setia mengemudi menjadi satu-satunya tanda kehidupan di perjalanan pulang itu.Ia mengangkat ponselnya, menekan tombol panggil, lalu menunggu nada sambung.“Bintang?” suaranya rendah, agak serak karena kelelahan.“Ya, Kak? Masih di jalan?” sahut suara adiknya di seberang.Tyo menarik napas panjang. “Iya. Aku tidak menyangka akan selarut ini. Bagaimana kabar di sana? Papa tidak mencari Mama?”“Aku kurang tahu, Kak,” jawab Bintang lirih. “Karena aku pun baru pulang. Tiba-tiba Papa memberiku banyak pekerjaan. Dan sebenarnya Papa pun pulang malam sepertiku, jadi sepertinya tidak begitu memperhatikan. Entah kalau wanita itu mengadu.”Tyo memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Bayangan rumah besar yang kini dingin karena kehadiran orang keti
Metha berdiri di ambang ruang tengah, pandangannya nyaris tak percaya. Tawa kecil Susan yang nyaring memecah keheningan, diiringi denting sendok yang beradu dengan gelas. Ruang itu berantakan, piring, kue, dan sisa makanan berserakan di meja. Minuman keemasan menggenang dalam gelas-gelas kristal yang seharusnya hanya dipakai untuk tamu istimewa.Bukan kekacauan yang membuat Metha terpaku. Melainkan kenyataan bahwa dua perempuan itu benar-benar menikmati momen mereka, seolah rumah ini sudah menjadi milik mereka sepenuhnya.Metha tak berteriak. Ia tidak menghardik. Dengan tenang namun ada sesuatu yang dingin pada tenang itu ia bertepuk tangan pelan. Suaranya, entah kenapa, terasa lebih mengerikan daripada kemarahan.“Oh.” Suaranya datar, tapi setiap suku kata bergetar. “Ada pesta rupanya di sini? Begini kah yang kalian inginkan?”Tepuk tangan itu berhenti, gaungnya masih menempel di udara.Santi terlonjak, wajahnya langsung memucat. Ia terburu-buru berdiri dan memberi isyarat pada Susan







