PEMBUAT MASALAH SEBENARNYA "Saya mohon maaf atas kesalahpahaman ini. Mudah-mudahan Ibu berkenan memaafkan keteledoran kami. Jujur saja, hal ini baru pertama kali terjadi di swalayan kami. Mudah-mudahan menjadi pembelajaran yang membuat kami terus berbenah," ucap Umi Hasyim pada wanita yang diketahui bernama Rumi. Wanita itu membulatkan mata tak terima. "Maksud Anda, apakah ini artinya karyawan yang berbuat kesalahan ini lolos tanpa sangsi apapun?" Wulandari, Arini dan security bernama Riki tersengal. Mereka bertiga tak menyangka wanita itu tak kunjung memberikan maaf dan melupakan masalah itu. Dia malah menginginkan hal yang teramat krusial bagi mereka yang masih membutuhkan pekerjaan dari tempat ini. "Mohon maaf, itu masalah intern kami sebagai pemilik tempat ini. Biar saya dan manajemen yang akan mengambil tindakan atas masalah ini," jawab Umi dengan wajah tetap tenang. Hal itu tentu saja membuat ketiga karyawannnya bisa bernapas lega. "Saya akan memberikan ulasan buruk untuk t
Fitnah“Mbak Rista, dipanggil Umi.” Dengan napas tersengal Riki akhirnya berhasil mengejar Rista yang sudah hampir menyalakan sepeda motornya. “Dipanggil Umi sebentar.” Riki menunjuk ke dalam. Lelaki itu mengulangi ucapan karena Rista menatapnya tidak mengerti.“Ada apa?”“Entah.” Riki mengangkat bahu. Dia sengaja tidak memberitahu alasannya karena wajah Rista terlihat sedikit panik.Setelah agak lama berpikir, Rista akhirnya mengikuti Riki. Terlihat sekali wanita itu berat hati memenuhi panggilan pemilik swalayan itu. Namun, bagaimana lagi? Tidak ada alasan dia menolak walau jam kerjanya sudah selesai.“Kamu kenal Bu Rumi?” Umi Hasyim langsung bertanya saat Rista baru saja duduk. “Pembeli yang tadi marah-marah hingga membuat keributan.” Bu Rumi menunjuk layar yang sedang menampilkan adegan Rumi memarahi Wulandari.“Tidak, Bu.” Rista menjawab setelah terdiam sebentar. Dari ujung mata, dia melirik pada Arini dan Wulandari yang duduk di sampingnya. Wanita itu menarik napas panjang. Dia
SenasibUmi Hasyim muda yang sedang menyuapi Harry tersentak. Semangkuk bubur bayi di tangannya terlepas dan tumpah memenuhi lantai. Jempol kaki Dahlia terasa perih karena terkena mangkuk yang jatuh. Dia menatap bingung pada suaminya yang membuang wajah. Tanpa angin tanpa hujan, kalimat talak tiba-tiba dia ucapkan.“Apa maksud Mas menalak Dahlia? Jangan main-main dengan kalimat talak, Mas. Walau diucapkan dengan candaan, dia sah di mata Allah.” Dahlia mengambil Harry yang menangis kencang karena tidak disuapi lagi. Bayi gembul itu baru saja MPASI semingguan ini.“Aku tidak main-main, Dahlia.”“Tidak main-main bagaimana, Mas?” Air mata Dahlia mulai mengalir saat menyadari betapa dingin wajah dan suara suaminya malam ini. Di berjalan cepat mengikuti langkah sang suami yang berjalan menuju kamar.“Mas mau kemana?” Dahlia meletakkan Harry ke dalam box bayi. Umi Hasyim muda dengan cepat memegang tangan suaminya yang mulai memasukkan baju ke dalam tas. Dia benar-benar kebingungan. Hubungan
Selepas Umi menyuruhnya keluar ruangan, Arini berjalan gontai kembali ke tempatnya bekerja. Jam kerjanya tinggal dua jam lagi. Beberapa karyawan yang mengetahui hal yang menimpa Arini menatapnya canggung. Sebagian ada yang abai dan mulai menunjukkan ketidaksukaan padanya, sebagian lagi mencoba tersenyum seraya menguatkan diri wanita itu. Sebisa mungkin Arini tersenyum demi membuatnya terlihat baik-baik saja. Bener sekali apa yang disampaikan Umi tadi. Tak mungkin tempatnya bekerja ini terus menerus memberikan keringanan padanya yang akhirnya berdampak pada karyawan yang lain. Mereka mulai menunjukkan ketidakkesukaannya terhadap perlakuan Umi yang dirasa sedikit berbeda pada hari ini Arini. Tak mungkin membuat Umi yang sudah terlampau baik itu tersudut demi dirinya. Kejadian yang terjadi menunjukkan semuanya. Karyawan mulai berani menunjukkan hal-hal frontal demi menunjukkna protesnya. Rista salah satunya.Dia berani melakukan hal yang masih tetap bisa disangkalnya meski CCTV menun
RAFA BERBOHONG?"Bu Arini?" panggil Bu Kartika setelah Arini berada dalam keheningannya. Mendadak telinganya berdenging mendengar pertanyaan ibu guru anaknya. "Rafa…kenapa dengan anak saya, Bu?" Arini segera menguasai dirinya. "Maaf, Bu. Rafa sudah seminggu ini tidak masuk sekolah. Seluruh temannya tak ada yang tahu alasannya. Apakah Rafa sakit?" Bak disambar petir Arini mendengar pertanyaan Bu Kartika. Tadi pagi dengan jelas Rafa berpamitan padanya seperti biasanya untuk ke sekolah. Dan seminggu? Selama seminggu anaknya tidak berangkat?Arini memegang dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Apa yang dia dengar benar-benar sulit diterima akalnya. "Bu Arini ?" "Ma-af, Bu Kartika. Saya benar-benar minta maaf. Rafa setiap pagi berangkat dari rumah. Bahkan tadi pagi pun dia berangkat. Saya sungguh heran dengan kabar yang Bu Kartika sampaikan." Hening kembali terjalin di antara keduanya. Wanita lanjut usia yang sebentar lagi memasuki usia pensiun itu menarik napas dalam-dalam, seolah
IBU KOS "Waalaikumsalam. Eh? Iya, Mbak, maaf saya lupa. Besok in syaa Allah saya belikan ya, Mbak, saya benar-benar kelupaan. Maaf." Arini masih menatap kepergian tetangganya dengan perasaan tidak enak.Seperti biasa, Ratri sering titip belanja. Namun, dia tadi lupa karena pikirannya kalut. Mulai dari masalah komplain pelanggan sampai masalah Rafa barusan. Setelah menghela napas panjang, Arini akhirnya memutuskan melupakan sejenak permasalahan tentang Rafa. Hari beranjak petang, dia harus masak untuk makan malam.Lepas maghrib, Arini menggoreng satu butir telur terakhir yang dia punya. Setelah membuat sambal bawang, dia langsung menggoreng kerupuk udang. Semua makanan yang dia olah adalah persediaan terakhir. Arini memang biasanya belanja seminggu sekali untuk lauk. Sementara sayur kadang beli matang atau kalau sedang libur dia beli di tukang sayur.“Rafa, makan dulu, Bang." Arini memotong telur menjadi dua. Setengah untuk Rafa dan setengah lagi untuk Naya. Sementara untuknya, Arini c
INTEROGASI RAFA “Ya sudah, saya tunggu bayarannya di rumah.”Arini menarik napas panjang sambil memperhatikan pemilik kost berjalan menjauh. Tidak mungkin dia berencana menunggak dan tidak membayar lalu pindah. Arini paham sekali mencari rupiah sangat susah di zaman ini. Walau dia kesulitan, Arini tidak mungkin menyeret orang lain agar merasakan masalah yang sama.“Mama ….”“Iya, Sayang?” Arini yang sempat terpaku bergegas menutup pintu. Dia menghampiri Naya yang berusaha duduk sendiri. “Kenapa?”“Minum.” Naya menunjuk botol minum miliknya yang terletak di atas meja. Arini segera mengambilkannya. Hatinya kembali nyeri, sudah lama sekali Naya tidak minum susu. Dia hanya bisa membelikan anaknya susu formula sekali-sekali. Kadang, Wulandari membelikan beberapa kotak susu saat mereka gajian.Arini menghapus air mata. Sejak Naya umur empat bulan, ASI-nya tidak keluar lagi. Yuda yang pergi meninggalkannya membuat Arini sempat hampir depresi. Selain kurang makan, faktor pikiran juga menjadi
ALASAN RAFA “Aku sekolah seperti biasa, Ma.” Rafa menunduk dalam-dalam. Baru kali ini dia melihat mamanya begitu emosi.“Bu Kartika tadi sore menelpon Mama. Dia bilang Abang sudah hampir seminggu ini tidak masuk. Jadi, sekarang Mama harus percaya dengan siapa? Bu Kartika yang berbohong atau Rafa?” Arini menarik napas panjang. Dia berusaha mengendalikan emosi. Tanpa sadar dia berteriak pada anaknya tadi.“Rafa sekolah seperti biasa, Ma.”“RAFA!” Arini tersentak mendengar tangisan Naya yang terkejut mendengar teriakannya. Dia langsung berjalan dan memeluk anak nomor duanya. Badan Naya gemetar. Arini menengadah, air matanya tumpah. Karena banyak pikiran, emosinya jadi tidak terkendali. Dia jadi kesulitan mengontrol diri sendiri.Setelah Naya sedikit lebih tenang, Arini memanggil Rafa yang duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Dia langsung memeluk anak lelakinya itu begitu mendekat. Setelah sesak didalam dada sedikit mereda, Arini mencium puncak kepala Rafa cukup lama.“Rafa, Abang tahu