Share

Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami
Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami
Penulis: Turiyah

Bab 1. Oleh-oleh bayi?

“Buka pintunya, Perempuan mandul!“ teriak Ibu mertuaku dari luar.

Sejenak aku memejamkan kedua mata ini mendengar ungkapan yang begitu menusuk hati.

Kuatur napas ini naik turun. Setelah terasa netral gegas aku tinggalkan aktivitas dari mencuci dan langsung berlari menuju ke pintu yang masih terkunci. Tiga hari yang lalu, suamiku dan Ibu Mertua pergi ke Depok tanpa mengajakku. Katanya saudara yang aku tidak tahu ada yang sakit.

Dengan langkah tergopoh-gopoh aku berjalan keluar dengan sesekali tangan ini meraih baju daster yang aku pakai untuk mengeringkan kedua tangan ini.

Kubuka pintu dengan sangat cepat, aku tahu sedikit terlambat saja, Ibu mertuaku pasti akan mengamuk yang tidak karuan.

Mataku membulat sempurna tatkala melihat pemandangan yang berbeda di depan pintu, Bu Mertua dengan muka masam sedang menatapku sembari menggendong seorang bayi dan lalu dengan cepat kualihkan pandanganku ke mas Pram yang nampak cuek sedang menenteng tas besar yang menurutku tas asing.

Kupandanginya mereka bergantian, hanya terlihat mereka berdua. Keningku menyernyit penuh tanda tanya. 

“Bukannya Salim! Malah bengong!“ sentak Ibu mertua yang sontak membuatku tergagap.

Dengan refleks aku langsung meraih tangan ibu dan mencium takzim punggung tangannya lalu bergantian mencium punggung tangannya Mas Pram.

Setelahnya, tatapanku kembali ke arah mereka, belum sempat mulut ini berucap. Ibu mertua langsung menoyor bahuku.

“Heh! Perempuan mandul! Cepat ambil bayi ini! Gantian, Ibu capek!“ suruhnya dengan muka tak enak dipandang.

“Bu, Sherly punya nama, Bu. Sherly Ananda.“ Kutekankan nama panjangku. Aku tidak peduli tatapan yang menghina, mulutnya mencebik, gemas sekali tangan ini untuk menangkup bibir tebal itu.

“Ya, ya, ya, aku tahu namamu. Tapi nama yang cocok untukmu hanya sebutan mandul!“ ujarnya.

“Itu bayi siapa, Bu?“ tanyaku mengalihkan pembicaraan yang hanya akan menyakitkan hati. Rasa curiga kini menguasai diriku, mungkinkah ibu mertua dan suami bersengkongkol mencuri bayi itu dari ibu kandungnya?

Kalau iya begitu kejamnya mereka.

“Setidaknya bukan bayi kamu, lagian mana mungkin bisa punya bayi kalau kamu aja mandul.“ Terus saja ibu mertua melayangkan kata-kata yang begitu tajam, tidak sadarkah dengan kekurangan anak semata wayangnya? 

“Terus, Bu. Terus aja, sebut mandul!“ desisku yang keluar begitu saja.

“Tidak sopan, Kamu ya! Emang benar, Anakku salah pilih memperistri, Kamu!“ teriaknya dengan mata melotot tidak terima.

“Bu, jangan begitu! Sherly kan sudah berusaha, sudah ya, jangan sinis sama dia, kasihan,” lirih Mas Pram yang seakan membela diriku padahal kenyataannya sedang menutupi aibnya sendiri.

“Lain kali ajari istrimu sopan santun, Pram!“ tuntutnya ke anak kesayangan.

“Ya.“ Mas Pram menjawab dengan enggan dan langsung masuk begitu saja meninggalkan kami.

“nih! Gendong! Tangan ibu pegel daritadi nggendong,” suruhnya sembari menyodorkan bayi yang digendong ke arahku.

“Gak maulah, Bu.“ Sengaja aku menunda dan tidak meraih anak itu. Biarkan saja emosinya semakin memuncak ke ubun-ubun. Tau rasa! Salah sendiri ditanya gak dijawab-jawab. Rasa gemas ingin menggendong ku sembunyikan rapat-rapat, setidaknya menahan beberapa saat.

“PRAM!“ teriaknya menggelegar memenuhi ruangan.

Tanganku bersedekap dengan mulut mencebik. Kuhitung mundur 1 sampai 5, sebentar lagi drama akan dimulai lagi.

Selalu begitu, ibunya akan akting dan bertingkah seperti orang yang paling menyedihkan di depan anaknya, sedangkan Mas Pram akan melotot ke arahku dengan gigi yang mengatup rapat.

“Ada apa sih, Bu? Berisik sekali, aku mau tidur, Bu. Capek,” keluh Mass Pram sesampainya di depan Ibunya.

“Lihat! Wanita ular ini! Kurang ajar sekali tidak mau membantu ibu, suruh gendong bayi ini sebentar saja tidak mau!“ sarkasnya dengan jari menuding-nuding ke arahku.

Aku memandangi mereka dengan jengah, tadi mandul sekarang wanita ular. Nanti apa lagi?

“Sher!“ ucap Mas Pram penuh penekanan dan tanpa memandangku. Aku tahu ekspresi itu, dia sedang menahan marah.

Benar saja, drama itu terjadi lagi.

Tak ingin memperpanjang masalah. Aku langsung meraih bayi itu dengan sangat hati-hati. Sungguh bayinya begitu mungil sekali. Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Jujur aku sangat mendambakan suasana seperti ini, tapi itu sepertinya tidak mungkin terjadi.

Aku lalu mengusap pipiku dengan tangan satunya. Mas Pram pun sudah kembali lagi ke kamar. 

“Senang kan? Ya sudah aku mau mandi, istirahat. Capek dari perjalanan. Mulai sekarang kamu yang mengasuhnya ya!“ suruhnya dengan enteng sekali.

“Tapi, Bu. Maaf, Sherly tidak bisa. Sebentar lagi Sherly sibuk apalagi sudah terlanjur tanda tangan kontrak.“

“Halah! Alasan saja, Kamu, kemarin aja gak sibuk, sekarang sibuk! Mau nipu Ibu, Kamu?!“

“Nipu bagaimana sih, Bu?“ 

“La itu, katanya sibuk. Kontrak apa sih yang ditandatangani? Ngada-ngada aja,” cebiknya.

“Itu, Bu. Tanda tangan kerjasama. Jadi aku akan bikin konten tentang produknya dan si pemilik memberi bayaran sesuai dengan harga yang disepakati,” terangku.

“Halah, lagakmu itu lho kayak orang penting, sok ngartis. Muka aja yang sedikit cantik tapi sayang, mandul!“

Aku menghela napas dan menggeleng ke arah perempuan yang pernah mengandung suamiku itu. Memang aku yang salah, aku tidak pernah memberi tahu tentang siapa aku di dunia Maya.

 Asal engkau tahu saja, Bu. Akunku sudah centang biru. Teringat perjuanganku bikin vlog yang jungkir balik di dunia make up. Bahkan saat buat video engkau selalu menyindirku dengan kata-kata yang pedas. 

Aku sengaja tidak memberitahumu tentang pencapaianku, aku tahu engkau dikasih tahu pun bakal percuma, hanya ada nyinyir yang bersemayam dalam dirimu. 

“Maaf, Bu. Bukannya berlagak, tapi memang kenyataannya ada yang mengajak kerjasama dan itu sangat membuatku senang.“

“Kamu gak minta ijin sama Ibu?“ cecarnya dengan muka menegang.

“Harus ya, Bu?“

“Heh, ingat! Kamu itu numpang di sini, jadi Jangan songong! Jadi apapun itu, Kamu wajib lapor!“ gertak ibu mertuaku.

“Maaf, Bu. Tapi sebelumnya sudah ijin Mas Pram dulu dan katanya boleh,”ungkapku.

“Batalkan saja! Itu apa kontraknya! Ibu tidak setuju!“ suruhnya dengan tangan bersedekap.

Keningku seketika berkerut. Ada-ada saja. Giliran duitnya habis mengeluh.

“Mana bisa begitu, Bu. Sherly sudah terlanjur tanda tangan dan itu gak bisa dibatalkan sepihak, apalagi barang endorse dalam masa pengiriman. Lagian bayi ini milik siapa, Bu? Kenapa harus Sherly yang direpotkan?“

Ibu mertuaku hanya bergeming. Sungguh demi apa aku harus seperti ini. Perjuangan mencapai centang biru di I*******m itu tidaklah mudah. Sekarang sudah tinggal menunggu tawaran demi tawaran untuk kerjasama, mana mungkin diabaikan begitu saja. Jatuh bangun aku membangunnya.

Sekian detik Ibu mertua tak menjawab, hanya gerakan mulutnya yang mencebik, nyinyir ke arahku. Aneh.

Tinggal menjawab apa adanya apa susahnya sih?

Tidak lama Ibu mertua langsung pergi begitu saja. Kuamati gerakannya yang menuju ke kamar. 

Aku mendesah, menggeleng dengan penuh ketidakpastian.

Lebih baik aku susul saja mas Pram ke kamar. Semoga saja belum tidur.

Dengan sedikit kesusahan, aku membuka handle pintu dengan siku tangan. 

Aku masuk dan menutup kembali pintu itu dengan mendorong menggunakan kaki.

 Aku melangkah pelan menuju ranjang, dengan sangat hati-hati aku menghenyakkan bokong ini ke pinggir ranjang.

“Mas? Sudah tidurkah?“ tanyaku dengan menggoyangkan badannya dengan tangan satunya.

“Hm.“ Mas Pram hanya menggeliat dan merubah posisi tidurnya. 

“Mas, bangun dong! Perasaanku gelisah daritadi,” rajukku masih mencoba menggoyangkan tubuhnya.

“Ada apa sih, Dek,” lirihnya tanpa berniat untuk beranjak.

“Mas, anak siapa bayi ini?“

“Kamu rawat sajalah, lumayankan bisa ngerasain seperti seorang Ibu,” jawabnya masih diposisi sama. Enggan beranjak.

“Tapi, Mas. Sherly sebentar lagi sudah sibuk banget, saya juga sudah membayar tidak murah untuk tukang foto.“

Mas Pram kini berbalik. Menatapku.

“Sherly Sayangku. Aku mohon sebagai suamimu. Tidak perlu menjadi model apalah itu. Kamu cukup rawat anak ini! Bisa ya?“

“Tapi, Mas. Maaf. Aku juga perlu tahu siapa pemilik bayi ini.“

“Sebenarnya bayi ini dikasih dari saudaranya saudara Ibu, Dek. Beliau janda yang amit-amit tidak mampu merawat bayi ini. Jadinya kami dengan senang hati menerima. Semoga kita bisa dilebihkan rejeki ya untuk ke depannya.“

“Kenapa gak dirawat sama keluarga si janda itu saja, lagian bayi sekecil ini apa sudah disapih?“

Jujur aku bukanlah perempuan malaikat seperti di sinetron kebanyakan. Yang pasti akan menerima anak yang tanpa tau asal muasalnya. 

Aku memikirkan banyak hal.

Bagaimana nanti dengan sifat bawaannya?

Apakah kedepannya aku akan selalu iklas merawatnya?

Bagaimana jika suatu saat nanti ibu itu akan mengambil anaknya ketika aku sedang sayang-sayangnya?

Ah, membayangkan saja sudah menyakitkan.

“Sayang! Please! Aku capek dan ijinkan aku istirahat. Tanyanya besok lagi, Ya!“

“Mas, kenapa kalian melimpahkan bayi ini kepadaku, kalau memang tak sanggup merawat, kenapa tidak dititipkan ke panti asuhan saja, Mas.“ Kini suaraku sudah meninggi. Tak habis pikir aku dengan jalan pikiran mereka.

“Kamu harusnya bersukur, Sayang. Sudah tidak perlu repot-repot kita mencari anak untuk diadopsi. Kamu bisa ngerasain jadi ibu. Cobalah untuk sadar,”jawabnya dengan muka merajuk.

“Heyyy, sadar? Apa, Mas lupa siapa yang mandul di sini? Kenapa malah seakan menuduhku?“ Aku tidak habis pikir dengan lelaki di depanku. Dulunya dia selalu memohon untuk merahasiakan aibnya. Tapi kenapa sekarang malah bisa pongah seperti ini?

Mas Pram akhirnya beranjak, kini dia duduk di depanku. 

“Sayang, maaf ya. Maaf kalau perkataanku tadi menyakitimu. Tapi jujur dalam hati Mas. Ada keraguan tentang hasil periksa dari Dokter,” ungkapnya dengan membelai bayi yang aku gendong.

Aku meneguk ludah. Suara Mas Pram begitu lembut tapi serasa menusuk dalam dada. Sudut netraku menghangat.

“Tapi, Mas. Kita periksa tidak cuma satu Dokter lho. Banyak, Mas! Kenapa bisa begini sih?“ tanyaku lagi untuk mengingatkan.

“Alah, itu akal-akalan Dokter aja, Sayang, biar laku obatnya.“ 

“Tapi, Mas—“

Belum sempat meneruskan kataku mulut ini sudah ditutup oleh jemari Mas Pram.

“Sudah ya, jangan dibahas lagi, Mas capek, Dek.“

Hatiku masih gondok atas kesimpulan Mas Pram

 Belum sempat uneg-unegku keluar semua, Perutku merasakan ada sesuatu yang mengalir dan terasa hangat disertai tangisan bayi yang aku gendong.

Aku meraba daerah pantat, dan astaga!

Bayi ini ngompol. 

Aku yang belum pernah memegang bayi tentu saja kebingungan, cara dan bagaimana menggantikan popok. Alhasil aku harus membangunkan Ibu Mertuaku.

Gegas aku beranjak dan meninggalkan mas Pram menuju ke kamar dimana ibu mertuaku tidur.

“Bu, dedek ngompol, Sherly tidak tau cara menggantikan popok!“ teriakku sembari mengetuk pintu berkali-kali.

Tidak lama pintu itu dibuka oleh empunya.

“Apaan sih, menganggu saja! Dedek itu tad i dipakein Pampers, mana mungkin bisa bocor!“ 

“La ini, bajuku basah. Air darimana kalau bukan dari dedek. Apalagi baunya Pesing.“

Ibu mertuaku langsung mengecek dan benar saja setelahnya dia langsung mengusap telapak tangannya ke bagian bedong yang lain. Pasti basah kena ompol.

Ibu mertua langsung mengambil dedek dari gendonganku dan menaruhnya di ranjang yang sudah dialasi lebih dulu.

“Begini kalau mau mengganti popok, aku ajari! Kamu perhatikan baik-baik. Ini masang Pampersnya miring, jadi bocor. Tapi besok-besok tak usah memakai Pampers, ganti aja dengan pakaian popok biar irit pengeluaran,” ungkap Ibu mertuaku sambil mempraktekkan memakaikan popok.

“Aku penasaran, Bu. Kok bisa teganya di Ibu memberikan anaknya begitu saja. Kalau masalah ekonomi, kenapa gak coba usaha jualan online gitu. Kan bisa sih jadi reseller jadi gak perlu modal. Atau apalah, kenapa cepat sekali putus asanya. Gak kasian apa padahal bayi segini harusnya masih asi Eksklusif,” protesku panjang lebar.

“Kamu itu jangan banyak omong, pokoknya kamu di sini beres-beres rumah, masak dan asuh ini bayi!“

“Bu! Aku ini bukan babu! Sebentar lagi aku bakal punya kesibukan. Tolong jangan dipersulit!“

Ibu mertuaku menatapku dengan tajam seakan mau menguliti hidup-hidup. Aku mencoba menahan diri untuk tak gentar demi sebuah impian. 

Ya impian mempunyai tabungan yang banyak tanpa sepengetahuan suami pun mertua.

Lucu sekali aku disuruh mengasuh tapi tidak tau ibunya yang mana.

Baiklah aku ikuti caramu, Bu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status