Bayu menatapku tanpa berkedip. Amplop di meja itu terbuka. Lembar surat wasiatnya terlihat sebagian, dan dari cara dia memelototiku, jelas sudah dibacanya.
“Jadi kamu udah tahu?” suaranya pelan, tapi tajam seperti pecahan kaca. Aku menelan ludah. “Kamu nemu itu?” “Berhenti main drama.” Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. "Aku baru nerima tadi sore. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa—" “BOHONG!” Bentakannya membuatku tersentak. Suaranya menggetarkan dinding rumah kecil kami. “Bayu…” “Jangan sok polos. Kamu pikir aku nggak tahu kamu deket sama Om Beni dari dulu? Kamu pikir aku nggak ngerti permainan kamu selama ini?” Aku melangkah mundur. Tiga langkah. Hanya itu jarak antara kami sekarang. “Jangan bawa-bawa Om Beni. Dia nggak ada hubungannya.” Bayu tertawa pendek, getir. “Tentu aja dia ada hubungannya. Dialah yang bikin kamu bisa masuk ke keluarga ini, Rani.” Aku mendadak muak. “Kalau kamu masih pikir aku nikahin kamu buat rebut warisan, kamu lebih parah dari yang kuduga.” “Jangan balik nuduh!” Pintu kamar terbuka. Lita berdiri di ambang pintu, memakai piyama bergambar awan. Matanya mengantuk, tapi raut wajahnya tegang. “Bunda… Ayah kenapa marah-marah?” Aku buru-buru mendekat. Menunduk di hadapannya, menyentuh pipinya yang mulai panas karena tangis tertahan. “Nggak apa-apa, sayang. Ayah dan Bunda cuma ngobrol.” Lita memelukku erat. “Bunda jangan nangis, ya…” Kupeluk dia kuat-kuat. “Iya, Nak. Bunda nggak papa. Tidur lagi, ya. Bunda temenin.” Aku menatap Bayu dengan pandangan tajam sebelum masuk kamar. Beberapa jam kemudian, Lita tertidur lagi. Lampu kamar kupadamkan. Aku keluar perlahan, dan menemukan Bayu masih duduk di ruang tamu, memelototi amplop terbuka di pangkuannya. “Kamu puas?” tanyanya lirih tanpa menoleh. “Puas?” aku mengerutkan dahi. “Kamu pikir ini soal puas?” “Kalau kamu mikir aku takut kamu dapet warisan itu, kamu salah.” “Terus?” Bayu menatapku. Matanya merah. Bukan karena tangis, tapi karena terbakar oleh sesuatu yang lebih gelap. “Ayah sengaja ngasih itu ke kamu buat nyiksa aku. Dia tahu aku nggak suka dikontrol, dan dia kasih kuasa itu ke kamu.” “Kalau kamu tahu ayahmu mau nyiksa kamu, kenapa kamu nggak pernah berusaha baikan?” Bayu berdiri. “Karena aku bukan anak emasnya. Aku anak dari istri keduanya. Kamu pikir dia pernah anggap aku pantas? Dia cuma mau nunjukin ke dunia kalau dia bisa jatuhin aku lewat perempuan yang katanya ‘nggak punya siapa-siapa’.” Aku diam. Itu pertama kalinya Bayu membahas soal ibunya sendiri. Selama ini, semua tentang keluarga masa lalunya seperti ruang terkunci yang tak boleh disentuh. “Dan sekarang,” lanjut Bayu, “kamu punya kekuasaan yang seharusnya jadi milikku.” “Bayu, aku nggak pernah minta ini. Aku bahkan nggak tahu sampai surat itu datang.” “Terus kamu bakal nolak warisan itu?” Aku terdiam. Bayu mendengus. “Tuh kan. Akhirnya ketahuan juga.” “Ini bukan soal uang.” “Semua orang yang bilang itu, justru karena mereka lagi ngincar uangnya.” Aku memeluk tubuh sendiri. Dingin mulai merayap ke jari-jari kakiku. Bayu berjalan mendekat. “Kalau kamu sayang sama Lita, jangan bikin langkah bodoh.” Aku menatapnya. “Itu ancaman?” Dia tak menjawab. Hanya mengambil jaketnya dan keluar rumah, membanting pintu sekeras mungkin. Pukul 02.17 dini hari. Aku duduk di dapur, menyalakan laptop lama yang biasa kupakai untuk pesan bahan dapur. Kuambil flashdisk dari sela-sela buku resep, memasangnya perlahan. Folder utama langsung terbuka. Isinya tiga folder berjudul: 1. Rekening Bayu 2. Transfer Misterius 3. Surat dari Hartono (Pribadi) Tanganku gemetar saat mengklik folder ketiga. Isi folder “Surat dari Hartono (Pribadi)” hanya satu file. Nama filenya singkat: UntukRani.p*f Tanganku menggigil saat membukanya. Rani Kartika, Kalau kamu membaca ini, berarti aku sudah tidak ada. Dan mungkin surat wasiatku sudah dikirim padamu. Kamu pasti bingung kenapa aku memilih kamu. Padahal selama ini, aku bersikap dingin padamu. Tapi sebenarnya, aku mengamatimu sejak lama. Kamu satu-satunya orang di rumah ini yang tidak pernah mengambil keuntungan atas namaku. Kamu tidak ambil bagian dalam permainan mereka. Kamu tetap menjadi istri dan ibu, meski tidak dihargai. Aku tidak bisa mempercayakan perusahaan pada anakku sendiri. Bayu bukan orang jahat. Tapi dia lemah. Dia bisa dikendalikan. Dan sudah terlalu sering melakukan kesalahan yang tidak bisa dibiarkan lagi. Aku tahu dia punya rahasia. Beberapa sudah kuketahui, beberapa akan kamu temukan sendiri di dua folder lainnya. Tapi yang perlu kamu tahu, ada seseorang yang lebih berbahaya dari Bayu. Seseorang yang bahkan Bayu sendiri takut padanya. Jika kamu merasa hidupmu mulai terancam, cari perempuan bernama Nindya Putri. Dia tahu segalanya. Tapi hati-hati, karena ada orang lain yang juga sedang mencarinya. Terakhir... aku minta maaf, karena membiarkan kamu sendirian selama ini. Aku tahu kamu kuat. Dan kamu akan membuktikan itu. —Hartono Sasmita Air mataku jatuh pelan. Campur aduk. Antara marah, sedih, dan takut. Tapi satu hal pasti: aku tidak bisa lagi mundur. Aku klik folder Rekening Bayu. Beberapa file excel terbuka. Daftar transaksi. Puluhan juta. Ratusan. Bahkan miliaran rupiah berpindah ke rekening atas nama samaran. Satu catatan kecil muncul di pojok kanan file: Nama samaran: Banu Setiadi Tujuan: Pembayaran "pembersih masalah pribadi." Jantungku berdetak liar. “Pembersih”? Kupaksa klik folder terakhir: Transfer Misterius. Dan di sana, aku menemukan hal yang paling menyesakkan. Salah satu penerima uang terdaftar atas nama... NINDYA PUTRI. Aku langsung berdiri. Flashdisk kucabut cepat. Laptop kututup. Kalau Nindya menerima transfer dari Bayu, maka ada dua kemungkinan: Nindya membohongiku. Dia bukan penyelamat—dia bagian dari permainan ini. Nindya dan Bayu dulu bekerja sama. Tapi sesuatu membuatnya berbalik arah. Pikiranku kacau. Tapi satu hal jelas: Aku sendirian sekarang. Dan siapa pun yang kusebut sekutu… bisa jadi musuh.Ruangan kaca itu dingin. Tapi bukan karena AC.Bayu duduk bersandar dengan tangan menyilang, kakinya menggoyang pelan—gaya khasnya saat sedang menutupi kecemasan. Di seberangnya, aku dan Nindya duduk berdampingan. Di atas meja, ada tiga berkas, satu laptop terbuka, dan flashdisk hitam yang jadi senjata kami hari ini.“Jadi kalian bawa dua satpam cuma buat masuk ke ruangan almarhum ayah saya?” Bayu menyeringai, seolah tak gentar. “Apa kalian pikir kalian pemilik perusahaan ini?”“Perusahaan ini milik Hartono Group,” kataku tenang. “Dan ayahmu hanya pemegang kuasa sementara, yang akan dicabut begitu Lita dewasa. Semua dokumen itu sudah jelas.”“Dan aku ayah Lita,” jawab Bayu cepat. “Yang artinya sampai dia dewasa, aku wali sah. Dan semua urusan hukum waris… jatuh ke tanganku.”Aku menyandarkan punggung. “Itu yang kau pikirkan selama ini, kan? Kau kira aku nggak sadar kenapa kamu tiba-tiba jadi suami paling manis setelah Papa Hartono meninggal. Kau kira aku nggak tahu caramu pasang muka
Gedung Hartono Group menjulang seperti biasanya—megah, berlapis kaca, dan tampak angkuh dalam balutan modernitas.Tak ada yang berubah dari luar. Tapi aku tahu, di dalamnya, ada satu rahasia besar yang dijaga mati-matian: kebenaran tentang siapa yang mengatur segalanya setelah Papa meninggal. Dan siapa yang menjadikanku target utama.Petugas keamanan di lobi tersenyum sopan saat aku menunjukkan kartu tamu. Dia tak tahu, hari ini aku datang bukan sebagai istri Bayu, bukan pula sebagai Rani yang lemah dan patuh.Hari ini aku datang sebagai ahli waris sah yang akan membongkar permainan paling kotor dalam hidupku.Ruang kerja Papa berada di lantai 15. Sudah lama dikunci setelah kematiannya, dan hanya satu atau dua orang yang masih punya akses penuh—termasuk aku.Kartu akses lama yang pernah diberi Papa masih bisa digunakan. Aku bersyukur tak pernah membuangnya.Begitu pintu terbuka, udara dingin menyambut. Debu tipis menyelimuti meja kayu besar. Lukisan klasik masih tergantung di dinding,
Kupandangi pesan itu berkali-kali.“Kamu mulai terlalu dekat ke inti. Jangan sampai anakmu yang jadi gantinya.”Setiap kata terasa seperti pisau yang menancap di kulitku. Ancaman itu jelas. Tapi yang membuatku lebih takut adalah… orang ini tahu caraku berpikir. Tahu bahwa aku tidak akan berhenti. Dan tahu di mana titik terlemahku.Lita.Aku segera menelpon Nindya. Suaraku bergetar meski kutahan sekuat mungkin.“Kita harus bicarakan ini lebih serius. Ada orang lain. Seseorang yang lebih tinggi dari Bayu.”Nindya tidak langsung menjawab. Tapi aku mendengar helaan napas beratnya.“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Aku pernah ketemu dia sekali. Tapi dia bukan tipe yang bisa kamu cari lewat Google. Dia semacam pengatur lalu lintas uang haram di balik jaringan warisan Pak Hartono.”“Jadi Bayu cuma pion?”“Pion yang terlalu percaya diri. Dia pikir bisa kendalikan semuanya. Tapi begitu kamu mulai menyentuh dokumen asli, pihak atas pasti tahu.”Kutarik napas panjang, berusaha tetap waras.“Apa kit
Pagi itu langit mendung, seakan tahu betapa muramnya hatiku.Kami duduk berdampingan di mobil menuju kantor notaris. Di antara kami hanya ada suara radio yang samar dan denting jarum jam dari dasbor.Aku sesekali mencuri pandang ke Bayu. Dia menggenggam setir dengan satu tangan, dan tangan lainnya menopang dagu. Wajahnya serius, tapi tidak gugup. Seolah dia tahu semua akan berjalan sesuai rencananya.Tapi dia tidak tahu, kali ini aku juga punya rencana.Kupastikan flashdisk cadangan terselip rapi di dalam saku blazerku, dan ponsel dalam mode perekam otomatis. Sementara Nindya sudah menunggu di kafe seberang kantor notaris, dengan kamera ponsel menghadap ke arah gedung.“Aku sudah bicara sama Notaris Dina,” kataku membuka percakapan. “Katanya kita bisa pakai surat kuasa sementara sebelum revisi total.”Bayu mengangguk. “Bagus. Supaya cepat.”Kupelajari ekspresinya. Tak ada kecurigaan. Hanya kesabaran aneh yang menyelimuti dirinya—tenang, seperti hewan pemangsa yang tahu mangsanya akan
Aku tak bisa tidur malam itu.Ucapan Nindya terus berputar di kepalaku, seperti rekaman rusak yang tak bisa dihentikan. "Bukan cuma kamu yang diincar. Anakmu juga."Kutatap wajah Lita yang tertidur lelap di sebelahku. Nafasnya teratur. Damai. Tidak seperti pikiranku yang gaduh.Jika benar Bayu melibatkan Lita dalam rencana gilanya, maka ini bukan lagi sekadar konflik rumah tangga. Ini pertempuran. Antara hidup dan mati. Antara orang tua yang melindungi, dan pria yang pernah kupikir bisa jadi ayah.Pagi datang terlalu cepat. Dan Bayu tak ada di rumah.Di meja makan, aku menemukan sepiring roti panggang dan secangkir teh manis hangat.Ada catatan kecil diselipkan di bawah cangkir.“Aku ada rapat sampai sore. Jangan lupa antar Lita vaksin. Jadwalnya jam 10 di klinik Ibu Liana.”Rapi. Hangat. Terlihat seperti perhatian. Tapi sekarang aku tak bisa lagi percaya bahkan pada hal paling sederhana dari pria itu.Di klinik, Lita menangis kecil saat jarum suntik menembus kulit lengannya. Aku meme
Pagi itu, kopi yang kuseduh terasa hambar. Mungkin karena tangan ini masih gemetar, atau karena pikiranku belum benar-benar kembali sejak semalam.Kupandangi flashdisk di telapak tanganku. Benda kecil ini membawa lebih banyak luka dari yang bisa kubayangkan.Bayu belum pulang. Mobilnya tidak ada di garasi. Entah dia menginap di mana, atau sengaja menghindar. Tapi anehnya, aku justru lega.“Bunda…”Aku menoleh. Lita berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan seragam sekolah, tapi ekspresinya tidak seperti biasanya.“Iya, sayang?”“Bunda nangis tadi malam ya?”Aku tercekat. “Enggak, kok. Kenapa tanya begitu?”“Bunda duduk di dapur dari tadi subuh. Aku lihat dari jendela kamar. Tapi Bunda diem aja…”Aku mengusap kepalanya, berusaha tersenyum. “Bunda cuma lagi mikirin banyak hal, sayang. Maaf ya bikin kamu khawatir.”Dia tidak menjawab. Tapi matanya seperti tahu lebih dari yang dia ucapkan. Seperti anak kecil yang sudah terlalu sering melihat ibunya pura-pura kuat.Setelah Lita berangkat s