Jam sudah menunjukkan pukul 20.42 ketika aku sampai di halaman parkir restoran Jambu.
Lampunya remang, sedikit klasik, sepi. Hanya ada tiga mobil lain terparkir di halaman. Jantungku berdetak tidak beraturan sejak perjalanan ke sini. Aku hampir saja membatalkan semuanya.Tapi tidak. Aku harus tahu.
Orang yang mengirim pesan itu tahu terlalu banyak. Tentang surat wasiat. Tentang Bayu. Bahkan memperingatkanku—jangan percaya siapa pun.
Aku melangkah masuk.
Seorang pelayan menyapaku, “Selamat malam, Ibu. Sudah ditunggu di lantai dua.”
Aku menegang. Belum sempat menyebut nama, mereka sudah tahu kedatanganku.
Langkahku naik satu-satu ke tangga kayu. Setiap anak tangga terasa seperti menuntunku masuk ke lorong baru yang belum pernah kusentuh sebelumnya.
Di lantai dua hanya ada satu meja yang terisi. Seorang wanita duduk membelakangiku. Rambutnya lurus sebahu, mengenakan blazer hitam dan celana panjang. Bukan gaya orang biasa.
Ketika aku mendekat, dia menoleh. Usianya mungkin empat puluhan. Tatapannya tajam tapi lembut. Dia seperti seseorang yang biasa mengendalikan situasi.
“Kamu Rani?” tanyanya.
“Iya. Anda yang mengirim pesan itu?”
Dia mengangguk dan menyodorkan tangannya.
“Aku Nindya. Aku mantan sekretaris pribadi Pak Hartono. Ayah mertuamu.”
Aku duduk perlahan. Mulutku seperti kering.
“Aku tahu kamu pasti bingung kenapa nama kamu muncul dalam surat wasiat itu,” lanjutnya. “Tapi kamu harus tahu, itu bukan keputusan sembarangan. Pak Hartono mempercayakan seluruh asetnya padamu. Bukan pada Bayu. Bukan pada siapa pun di keluarganya.”
“Kenapa?” suaraku nyaris tak terdengar. “Kami bahkan... tidak dekat. Dia tidak pernah menyukaiku.”
Wajah Nindya berubah serius.
“Itu yang terlihat, Rani. Tapi Pak Hartono bukan orang bodoh. Dia tahu siapa anaknya. Dan dia tahu siapa kamu.”
Aku tercekat.
“Ada yang disembunyikan dari kamu. Termasuk soal... kematian Pak Hartono sendiri,” ucap Nindya lirih.
Mataku membelalak. “Apa maksudmu? Dia kan... meninggal karena jantungnya kambuh, bukan?”
Nindya menggeleng.
“Dia memang punya riwayat jantung. Tapi hasil visum yang asli tidak sama dengan hasil yang dikeluarkan ke publik.”
Aku menahan napas.
“Ada orang dalam keluarga itu yang menginginkan dia mati lebih cepat. Dan kamu... adalah bagian dari rencana yang ingin disingkirkan sejak awal.”
Aku menatap Nindya dengan campuran takut, bingung, dan curiga.
“Maaf... maksud Anda... seseorang membunuh Pak Hartono?”
“Bukan saya yang bilang begitu,” jawabnya tenang. “Tapi visum asli yang disimpan oleh notaris pribadi Pak Hartono menyebutkan adanya indikasi racun. Dosis kecil, tapi cukup mempercepat kematian seseorang yang punya penyakit jantung.”
Tubuhku kaku.
“Siapa?” bisikku.
“Belum pasti. Tapi salah satu orang yang paling berkepentingan agar kamu tidak mendapat warisan... sedang tidur sekamar denganmu tiap malam.”
Aku membeku.
“Bayu?” bisikku.
Nindya tidak menjawab. Tapi matanya cukup untuk membenarkan dugaanku.
“Aku nggak percaya. Dia memang keras, sering kasar, tapi... membunuh ayahnya sendiri?”
“Kamu yakin kamu mengenalnya, Rani?” Nindya mencondongkan tubuhnya. “Delapan tahun menikah, tapi kamu bahkan nggak tahu dia punya rekening atas nama palsu. Nggak tahu dia sudah menyembunyikan tanah warisan sejak tiga tahun lalu. Nggak tahu kalau dia—”
“Cukup!”
Aku berdiri. Emosiku naik.
“Apa motif kamu ngasih tahu semua ini ke aku? Kamu siapa sebenarnya? Mantan sekretaris? Atau ada urusan pribadi sama Bayu?”
“Duduk.” Suaranya tetap tenang, tapi tajam.
“Aku menyelamatkanmu, Rani. Kalau kamu nggak percaya aku, kamu akan jadi korban selanjutnya. Bukan cuma surat wasiat yang mereka incar. Tapi hidupmu.”
Aku perlahan duduk kembali. Tak bisa berpikir. Dunia seolah runtuh.
Nindya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah flashdisk.
“Di sini ada bukti aliran dana mencurigakan atas nama Bayu. Nomor rekeningnya cocok dengan data dari notaris.”
“Aku harus lihat sendiri,” ujarku pelan.
“Kamu akan lihat. Tapi jangan buka ini di rumah. Jangan lewat ponselmu. Dan yang paling penting: jangan bilang siapa pun kamu bertemu denganku malam ini.”
Aku memegang flashdisk itu seperti memegang bom.
“Kamu harus cepat. Bayu mungkin sudah tahu kamu menerima surat wasiat itu. Dan kalau dia tahu kamu datang ke sini…”
Nindya berdiri.
“…kamu nggak akan sempat datang ke pertemuan berikutnya.”
Sesampainya di rumah, rumah tampak gelap dari luar. Hanya lampu teras yang menyala. Tapi saat aku membuka pintu, kulihat Bayu duduk di ruang tamu. Tegak. Menatap lurus padaku.
“Dari mana kamu?”
Suaranya dingin.
Keringat mengalir di pelipisku. Aku belum sempat menjawab, ketika mataku tertuju pada sesuatu di meja: amplop surat wasiat yang tadi kusembunyikan.
Terbuka.
Ruangan kaca itu dingin. Tapi bukan karena AC.Bayu duduk bersandar dengan tangan menyilang, kakinya menggoyang pelan—gaya khasnya saat sedang menutupi kecemasan. Di seberangnya, aku dan Nindya duduk berdampingan. Di atas meja, ada tiga berkas, satu laptop terbuka, dan flashdisk hitam yang jadi senjata kami hari ini.“Jadi kalian bawa dua satpam cuma buat masuk ke ruangan almarhum ayah saya?” Bayu menyeringai, seolah tak gentar. “Apa kalian pikir kalian pemilik perusahaan ini?”“Perusahaan ini milik Hartono Group,” kataku tenang. “Dan ayahmu hanya pemegang kuasa sementara, yang akan dicabut begitu Lita dewasa. Semua dokumen itu sudah jelas.”“Dan aku ayah Lita,” jawab Bayu cepat. “Yang artinya sampai dia dewasa, aku wali sah. Dan semua urusan hukum waris… jatuh ke tanganku.”Aku menyandarkan punggung. “Itu yang kau pikirkan selama ini, kan? Kau kira aku nggak sadar kenapa kamu tiba-tiba jadi suami paling manis setelah Papa Hartono meninggal. Kau kira aku nggak tahu caramu pasang muka
Gedung Hartono Group menjulang seperti biasanya—megah, berlapis kaca, dan tampak angkuh dalam balutan modernitas.Tak ada yang berubah dari luar. Tapi aku tahu, di dalamnya, ada satu rahasia besar yang dijaga mati-matian: kebenaran tentang siapa yang mengatur segalanya setelah Papa meninggal. Dan siapa yang menjadikanku target utama.Petugas keamanan di lobi tersenyum sopan saat aku menunjukkan kartu tamu. Dia tak tahu, hari ini aku datang bukan sebagai istri Bayu, bukan pula sebagai Rani yang lemah dan patuh.Hari ini aku datang sebagai ahli waris sah yang akan membongkar permainan paling kotor dalam hidupku.Ruang kerja Papa berada di lantai 15. Sudah lama dikunci setelah kematiannya, dan hanya satu atau dua orang yang masih punya akses penuh—termasuk aku.Kartu akses lama yang pernah diberi Papa masih bisa digunakan. Aku bersyukur tak pernah membuangnya.Begitu pintu terbuka, udara dingin menyambut. Debu tipis menyelimuti meja kayu besar. Lukisan klasik masih tergantung di dinding,
Kupandangi pesan itu berkali-kali.“Kamu mulai terlalu dekat ke inti. Jangan sampai anakmu yang jadi gantinya.”Setiap kata terasa seperti pisau yang menancap di kulitku. Ancaman itu jelas. Tapi yang membuatku lebih takut adalah… orang ini tahu caraku berpikir. Tahu bahwa aku tidak akan berhenti. Dan tahu di mana titik terlemahku.Lita.Aku segera menelpon Nindya. Suaraku bergetar meski kutahan sekuat mungkin.“Kita harus bicarakan ini lebih serius. Ada orang lain. Seseorang yang lebih tinggi dari Bayu.”Nindya tidak langsung menjawab. Tapi aku mendengar helaan napas beratnya.“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Aku pernah ketemu dia sekali. Tapi dia bukan tipe yang bisa kamu cari lewat Google. Dia semacam pengatur lalu lintas uang haram di balik jaringan warisan Pak Hartono.”“Jadi Bayu cuma pion?”“Pion yang terlalu percaya diri. Dia pikir bisa kendalikan semuanya. Tapi begitu kamu mulai menyentuh dokumen asli, pihak atas pasti tahu.”Kutarik napas panjang, berusaha tetap waras.“Apa kit
Pagi itu langit mendung, seakan tahu betapa muramnya hatiku.Kami duduk berdampingan di mobil menuju kantor notaris. Di antara kami hanya ada suara radio yang samar dan denting jarum jam dari dasbor.Aku sesekali mencuri pandang ke Bayu. Dia menggenggam setir dengan satu tangan, dan tangan lainnya menopang dagu. Wajahnya serius, tapi tidak gugup. Seolah dia tahu semua akan berjalan sesuai rencananya.Tapi dia tidak tahu, kali ini aku juga punya rencana.Kupastikan flashdisk cadangan terselip rapi di dalam saku blazerku, dan ponsel dalam mode perekam otomatis. Sementara Nindya sudah menunggu di kafe seberang kantor notaris, dengan kamera ponsel menghadap ke arah gedung.“Aku sudah bicara sama Notaris Dina,” kataku membuka percakapan. “Katanya kita bisa pakai surat kuasa sementara sebelum revisi total.”Bayu mengangguk. “Bagus. Supaya cepat.”Kupelajari ekspresinya. Tak ada kecurigaan. Hanya kesabaran aneh yang menyelimuti dirinya—tenang, seperti hewan pemangsa yang tahu mangsanya akan
Aku tak bisa tidur malam itu.Ucapan Nindya terus berputar di kepalaku, seperti rekaman rusak yang tak bisa dihentikan. "Bukan cuma kamu yang diincar. Anakmu juga."Kutatap wajah Lita yang tertidur lelap di sebelahku. Nafasnya teratur. Damai. Tidak seperti pikiranku yang gaduh.Jika benar Bayu melibatkan Lita dalam rencana gilanya, maka ini bukan lagi sekadar konflik rumah tangga. Ini pertempuran. Antara hidup dan mati. Antara orang tua yang melindungi, dan pria yang pernah kupikir bisa jadi ayah.Pagi datang terlalu cepat. Dan Bayu tak ada di rumah.Di meja makan, aku menemukan sepiring roti panggang dan secangkir teh manis hangat.Ada catatan kecil diselipkan di bawah cangkir.“Aku ada rapat sampai sore. Jangan lupa antar Lita vaksin. Jadwalnya jam 10 di klinik Ibu Liana.”Rapi. Hangat. Terlihat seperti perhatian. Tapi sekarang aku tak bisa lagi percaya bahkan pada hal paling sederhana dari pria itu.Di klinik, Lita menangis kecil saat jarum suntik menembus kulit lengannya. Aku meme
Pagi itu, kopi yang kuseduh terasa hambar. Mungkin karena tangan ini masih gemetar, atau karena pikiranku belum benar-benar kembali sejak semalam.Kupandangi flashdisk di telapak tanganku. Benda kecil ini membawa lebih banyak luka dari yang bisa kubayangkan.Bayu belum pulang. Mobilnya tidak ada di garasi. Entah dia menginap di mana, atau sengaja menghindar. Tapi anehnya, aku justru lega.“Bunda…”Aku menoleh. Lita berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan seragam sekolah, tapi ekspresinya tidak seperti biasanya.“Iya, sayang?”“Bunda nangis tadi malam ya?”Aku tercekat. “Enggak, kok. Kenapa tanya begitu?”“Bunda duduk di dapur dari tadi subuh. Aku lihat dari jendela kamar. Tapi Bunda diem aja…”Aku mengusap kepalanya, berusaha tersenyum. “Bunda cuma lagi mikirin banyak hal, sayang. Maaf ya bikin kamu khawatir.”Dia tidak menjawab. Tapi matanya seperti tahu lebih dari yang dia ucapkan. Seperti anak kecil yang sudah terlalu sering melihat ibunya pura-pura kuat.Setelah Lita berangkat s