LOGINPagi itu, kopi yang kuseduh terasa hambar. Mungkin karena tangan ini masih gemetar, atau karena pikiranku belum benar-benar kembali sejak semalam.
Kupandangi flashdisk di telapak tanganku. Benda kecil ini membawa lebih banyak luka dari yang bisa kubayangkan.
Bayu belum pulang. Mobilnya tidak ada di garasi. Entah dia menginap di mana, atau sengaja menghindar. Tapi anehnya, aku justru lega.
“Bunda…”
Aku menoleh. Lita berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan seragam sekolah, tapi ekspresinya tidak seperti biasanya.
“Iya, sayang?”
“Bunda nangis tadi malam ya?”
Aku tercekat. “Enggak, kok. Kenapa tanya begitu?”
“Bunda duduk di dapur dari tadi subuh. Aku lihat dari jendela kamar. Tapi Bunda diem aja…”
Aku mengusap kepalanya, berusaha tersenyum. “Bunda cuma lagi mikirin banyak hal, sayang. Maaf ya bikin kamu khawatir.”
Dia tidak menjawab. Tapi matanya seperti tahu lebih dari yang dia ucapkan. Seperti anak kecil yang sudah terlalu sering melihat ibunya pura-pura kuat.
Setelah Lita berangkat sekolah, aku masuk ke kamar mandi, menyalakan shower, dan langsung menghidupkan ponsel. Kubuka pesan terakhir dari Nindya.
“Kalau kamu ingin tahu kebenaran, datang malam ini ke Restoran Jambu Lantai 2. Sendiri. Jam 9.”
Pesan itu masih belum kuhapus.
Kupikirkan kembali: apakah dia benar-benar tulus? Atau justru sedang menjebakku?
Tapi hanya dia satu-satunya petunjuk yang kumiliki sekarang.
Aku mengetik pesan baru.
Kita perlu bicara lagi. Aku menemukan nama kamu di salah satu file dalam flashdisk.
Kalau kamu memang bisa dipercaya, buktikan malam ini. Aku pilih tempatnya.Balasan datang sepuluh menit kemudian.
Tulis tempat dan jam. Aku akan datang. Tapi jangan sekali pun bawa orang lain.
Sore hari, aku mengunjungi warnet kecil dekat pasar. Tujuannya bukan untuk akses internet, tapi untuk mencetak semua file dari flashdisk. Aku tidak mau bukti-bukti itu hanya tersimpan digital.
Sementara menunggu file dicetak, aku memeriksa email pribadi. Satu pesan baru masuk dari alamat tidak dikenal.
Subjek: Kau Salah Percaya
Berhenti menggali. Beberapa kebenaran akan lebih baik kalau kamu nggak tahu.
Karena yang kamu pikir musuh, mungkin justru penyelamatmu. Dan yang kamu pikir menyelamatkanmu… sedang menjualmu pelan-pelan.Tidak ada nama pengirim. Hanya satu huruf di akhir pesan:
"B"Deg.
Bayu?
Aku menatap layar ponsel, lama. Lalu kuhapus pesan itu. Aku tidak punya waktu untuk takut. Sekarang bukan waktunya.
Aku kembali ke rumah menjelang magrib. Rumah sepi. Tak ada tanda-tanda Bayu kembali. Tapi entah kenapa, aku merasa dia ada. Mengawasi dari kejauhan. Atau mungkin... sudah tahu ke mana aku pergi hari ini.
Setelah makan malam, aku menyapu ruang tamu, membereskan majalah-majalah usang di rak, dan di antara tumpukan itu, aku menemukan sesuatu yang membuatku membeku.
Ponsel lamaku. Yang hilang sebulan lalu.
Ada di sini. Di rumah. Di rak ini. Di bawah tumpukan majalah bekas yang hanya Bayu yang pernah membereskan.
Aku menyalakannya. Ajaibnya, masih ada sedikit baterai.
Dan di sana, satu notifikasi muncul. Satu pesan yang belum terbaca. Dari nomor asing.
"Kalau kamu masih simpan rekaman itu, pastikan hanya kamu yang bisa akses. Kalau Bayu tahu, kamu selesai."
Rekaman?
Aku membuka galeri. Hanya dua video di dalam folder tersembunyi.
Yang satu berdurasi 2 menit 18 detik.
Dan yang terlihat pertama kali di layar adalah... Bayu. Di dalam ruangan kantor. Bersama dua pria asing. Salah satunya mengenakan masker hitam, duduk membelakangi kamera.
Bayu bicara dengan suara pelan tapi tegas.
“Aku minta ini kelar tanpa jejak. Setelah dia pergi, aku ambil alih semuanya. Termasuk rumah, termasuk saham, semuanya. Dia nggak boleh sempat tanda tangan ulang surat apa pun.”
Deg.
Siapa yang dia maksud?
Bayu terus bicara di video.
“Dia mulai curiga. Kita harus gerak sebelum dia buka mulut. Aku nggak butuh dia hidup buat ngerusak semuanya.”
Suara di belakang kamera bertanya, “Maksudnya dibikin kayak serangan jantung lagi?”
Bayu mengangguk. “Sama seperti waktu itu. Tapi jangan sampai terlalu cepat. Kita butuh waktu buat bersih-bersih.”
Suara pria itu pelan, tapi dingin. “Kalau ada darah, susah nutupnya.”
“Aku nggak peduli caranya. Yang penting dia nggak bangun besok pagi.”
Video berhenti.
Tanganku gemetar. Isi perutku seperti mau keluar semua. Kuletakkan ponsel lama itu di meja. Kututup wajahku dengan tangan.
Wajah siapa yang dimaksud “dia”? Apakah… aku?
Atau orang lain sebelumku?
Pintu depan berbunyi.
Langkah kaki. Bayu.
Aku buru-buru sembunyikan ponsel di bawah bantal sofa. Lalu berusaha duduk santai seolah tak terjadi apa-apa.
Bayu masuk. Bawa plastik berisi nasi goreng dan teh botol. Seolah semuanya baik-baik saja.
“Kita makan bareng, yuk. Aku beliin buat kamu juga,” katanya sambil tersenyum.
Senyum yang sama dengan yang kulihat di video—saat dia bilang seseorang tidak boleh bangun lagi keesokan harinya.
Kupaksakan senyum. “Terima kasih.”
Dia duduk di sampingku. Membuka bungkus makanan. Mengambil sendok. Tapi tangannya sedikit gemetar.
Kuingatkan diriku sendiri untuk tidak gegabah. Belum sekarang. Aku belum punya cukup bukti untuk menyeretnya ke polisi. Belum bisa melindungi Lita juga.
Tapi aku tahu satu hal pasti malam ini:
Bayu bukan cuma pembohong. Dia pemain utama dalam permainan yang lebih gelap dari yang kukira.
Pukul 20.51
Aku bersiap keluar. Kubilang ke Bayu, aku mau belanja ke minimarket. Dia hanya mengangguk. Tapi saat aku mengambil tas, dia bertanya tanpa menoleh:
“Kamu ketemu dia lagi, ya?”
Langkahku berhenti.
“Siapa?”
Bayu menengok, senyumnya tidak sampai ke mata. “Nindya.”
Aku tak menjawab. Hanya keluar rumah dan melangkah cepat.
Restoran itu berada di lantai dua sebuah ruko tua. Sepi. Tak banyak tamu malam itu. Aku melihat Nindya duduk di pojok dekat jendela, wajahnya setengah tertutup topi bulu.
Aku duduk di depannya.
“Kamu bilang kamu bisa dipercaya. Tapi namamu ada di daftar transfer dari Bayu. Jelaskan.”
Nindya menghela napas panjang.
“Karena aku dulu bagian dari rencananya.”
Deg.
“Aku rekan yang dia bayar untuk membungkam satu saksi penting atas kematian ayahnya.”
Kepalaku berdenyut.
“Tapi aku berbalik arah saat dia mulai ngomong soal kamu. Soal Lita. Dia nggak cuma mau ambil uang. Dia mau ambil semuanya.”
Mataku memicing. “Jadi kamu tobat?”
Nindya menyeringai pahit. “Aku selamatin diriku sendiri. Tapi kalau kamu pintar, kamu akan pakai aku sebelum semuanya telanjur terlambat.”
“Terlambat?”
Dia menyandarkan tubuh ke kursi. “Karena sekarang, bukan cuma kamu yang diincar. Anakmu juga.”
Malam itu aku tidak bisa tidur. Lagi. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Hartini yang pucat, suara Bayu yang bergetar, dan tatapan kosong Arka yang mulai retak.Besok adalah hari terakhir. Hari di mana semua kata-kata akan diucapkan, semua argumen akan disampaikan, dan keputusan akan dijatuhkan.Aku duduk di teras belakang rumah Pak Wibowo, menatap langit malam yang gelap. Tidak ada bintang. Hanya awan tebal yang menutupi segalanya—seperti ketidakpastian yang menggantung di atas kepala kami."Tidak bisa tidur juga?"Aku menoleh. Arjuna berdiri di ambang pintu dengan dua gelas teh hangat di tangan. Sudah jadi ritual kami—duduk bersama di malam sebelum hari penting, berbicara tentang apapun kecuali ketakutan kami."Terlalu banyak yang dipikirkan," jawabku sambil menerima gelas dari tangannya.Dia duduk di sampingku. "Bu Ratna bilang pledoinya sudah siap. Dia yakin hakim akan putuskan bersalah.""Tapi tidak ada yang pasti di dunia hukum," ujarku pelan. "Hartini dan Arka punya
Bayu didorong perlahan menuju podium saksi. Setiap gerakan kursi rodanya terdengar keras di ruang sidang yang hening. Paramedis membantunya berdiri—dengan susah payah—agar bisa bersumpah di depan hakim.Tangannya gemetar saat diangkat. Suaranya lemah saat mengucap sumpah. Tapi matanya... matanya penuh tekad yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Setelah selesai bersumpah, dia duduk kembali di kursi roda. Monitor jantung portable yang terpasang di dadanya berkedip pelan—mengingatkan semua orang bahwa dia bisa saja tidak bertahan sampai persidangan selesai.Bu Ratna mendekatinya dengan tatapan lembut. "Saksi, apa Anda yakin bisa melanjutkan? Kondisi kesehatan Anda—""Saya yakin," potong Bayu dengan suara parau tapi tegas. "Ini... ini satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya."Hakim Bambang mengangguk. "Silakan lanjutkan, Jaksa."Bu Ratna membuka berkas. "Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan terdakwa."Bayu menarik napas dalam—terd
Pagi itu aku bangun pukul lima subuh. Tidak bisa tidur lagi. Terlalu banyak yang berputar di kepala—skenario terburuk, kemungkinan-kemungkinan yang bisa salah, wajah-wajah orang yang sudah menderita karena Arka dan Hartini.Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Aku tidak mau bangunkan dia. Biarkan dia tidur sedikit lebih lama di dunia yang masih aman.Di ruang makan, Pak Wibowo sudah duduk dengan setumpuk dokumen di depannya. Wajahnya serius, matanya merah—sepertinya dia juga tidak tidur semalam."Pagi," sapanya tanpa menoleh."Pagi," jawabku sambil menuangkan kopi. "Sudah siap?""Tidak ada yang benar-benar siap untuk hari seperti ini," ujarnya sambil membalik halaman. "Tapi kami sudah lakukan semua yang bisa kami lakukan. Sekarang tinggal eksekusi.""Bagaimana dengan jaksa? Apa mereka benar-benar bisa dipercaya?"Pak Wibowo akhirnya menatapku. "Jaksa Penuntut Umum yang akan tangani kasus ini adalah Bu Ratna Sari—salah satu jaksa
Hari ketiga di klinik Dr. Sari terasa seperti hari yang paling panjang. Kami semua mulai merasakan efek dari terkurung—Lita semakin pendiam, Arjuna lebih gelisah, dan Nyonya Surya yang biasanya tenang mulai tampak lelah.Hanya Bayu yang kondisinya perlahan membaik. Dr. Sari bilang lukanya mulai menutup, infeksinya terkontrol, dan dia sudah bisa makan bubur encer. Tapi dia masih sangat lemah—belum bisa duduk sendiri, apalagi berjalan."Kalau kondisinya terus membaik seperti ini, dia bisa bersaksi di pengadilan," kata Dr. Sari sambil memeriksa chart medis Bayu. "Tapi dia harus dibawa dengan kursi roda. Dan tidak boleh terlalu lama. Maksimal satu jam.""Itu cukup," ujar Pak Wibowo yang datang pagi itu dengan kabar terbaru. "Jaksa sudah atur jadwal persidangan. Empat hari lagi. Hari Senin pukul sepuluh pagi."Empat hari. Kami hanya perlu bertahan empat hari lagi.Tapi empat hari terasa seperti selamanya saat kamu tahu ada orang yang ingin kamu mati.Sore itu, Lita duduk di sampingku di ru
Penangkapan Hartini menjadi berita utama di semua media hanya dalam hitungan jam. Foto wajahnya yang pucat, diborgol, dikawal polisi keluar dari rumah sakit—tersebar di televisi, koran, dan media sosial."RATU BISNIS KOTOR AKHIRNYA TERJERAT" "SKANDAL PEMBUNUHAN DAN KORUPSI DI KELUARGA HARTONO GROUP" "MISTERI KEMATIAN 20 TAHUN LALU AKHIRNYA TERKUAK"Kami menonton berita itu dari kamar hotel dengan perasaan campur aduk. Lega, tapi juga waspada. Karena kami tahu—Arka masih di luar sana."Dia tidak akan diam," kata Arjuna sambil menatap layar televisi. "Hartini ditangkap berarti jalur komunikasinya putus. Dia akan panik. Dan orang yang panik akan jadi lebih berbahaya.""Tapi polisi sudah bergerak," ujarku. "Pak Wibowo bilang mereka juga sedang kejar Arka.""Arka bukan orang bodoh. Dia pasti sudah antisipasi skenario terburuk." Nyonya Surya duduk dengan wajah serius. "Dia pasti punya rencana pelarian. Mungkin sudah keluar negeri sekarang.""Atau," Arjuna menatap kami, "dia masih di sini. M
Kami tidak kembali ke rumah Kotagede. Terlalu berisiko. Nyonya Surya mengarahkan Pak Harto—yang asli, yang berhasil kami temukan terikat di bagasi mobil Pak Danang sebelum dia kabur—untuk menuju ke sebuah hotel kecil di pinggiran kota.Hotel itu sederhana, nyaris seperti losmen. Pemiliknya tidak banyak tanya, hanya memberi kunci kamar dengan tatapan curiga yang ditahan karena Nyonya Surya membayar tunai tiga kali lipat harga normal.Kamarnya kecil. Dua tempat tidur, satu kamar mandi, dan jendela kecil menghadap ke gang sempit. Tapi setidaknya aman. Untuk sementara.Lita langsung kutidurkan. Tubuhnya masih gemetar, matanya bengkak karena menangis. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin sampai ia akhirnya tertidur—tidur yang tidak tenang, penuh gerakan gelisah dan erangan kecil.Setiap kali ia bergerak, aku mengelus rambutnya. Berbisik bahwa semuanya sudah aman. Meski aku sendiri tidak yakin.Di luar kamar, aku mendengar suara Arjuna dan Nyonya Surya berbicara pelan.







