Share

5. Tanggal di Kalender

last update Last Updated: 2025-07-07 20:35:10

Aku tak bisa tidur malam itu.

Ucapan Nindya terus berputar di kepalaku, seperti rekaman rusak yang tak bisa dihentikan. "Bukan cuma kamu yang diincar. Anakmu juga."

Kutatap wajah Lita yang tertidur lelap di sebelahku. Nafasnya teratur. Damai. Tidak seperti pikiranku yang gaduh.

Jika benar Bayu melibatkan Lita dalam rencana gilanya, maka ini bukan lagi sekadar konflik rumah tangga. Ini pertempuran. Antara hidup dan mati. Antara orang tua yang melindungi, dan pria yang pernah kupikir bisa jadi ayah.

Pagi datang terlalu cepat. Dan Bayu tak ada di rumah.

Di meja makan, aku menemukan sepiring roti panggang dan secangkir teh manis hangat.

Ada catatan kecil diselipkan di bawah cangkir.

“Aku ada rapat sampai sore. Jangan lupa antar Lita vaksin. Jadwalnya jam 10 di klinik Ibu Liana.”

Rapi. Hangat. Terlihat seperti perhatian. Tapi sekarang aku tak bisa lagi percaya bahkan pada hal paling sederhana dari pria itu.

Di klinik, Lita menangis kecil saat jarum suntik menembus kulit lengannya. Aku memeluknya, mengusap punggungnya lembut. Dia masih gemetar.

“Bunda, kenapa Ayah kelihatan marah terus ya akhir-akhir ini?” tanyanya lirih saat kami duduk di bangku tunggu.

Aku tersenyum hambar. “Mungkin Ayah lagi banyak pikiran, sayang.”

“Dia suka ngeliatin Bunda pas Bunda tidur. Aku lihat malam-malam.”

Napas aku tercekat.

“Lihat dari mana?”

“Dari celah pintu kamar. Aku kebangun pas pipis.”

Aku tak menjawab. Tapi seluruh bulu kudukku berdiri.

Sepulang dari klinik, aku memberanikan diri membuka kembali file rekaman di ponsel lamaku. Kali ini file kedua.

Isinya pendek. Hanya satu menit.

Bayu duduk di ruang tamu—ruang yang sekarang kutempati. Dan ada suara anak kecil di latar belakang. Terdengar seperti Lita.

Bayu bicara pelan ke seseorang yang tidak terlihat dalam frame.

“Aku udah siapin semuanya. Kalau dia menolak tanda tangan, kita pakai rencana B.”

Lalu terdengar langkah kaki kecil mendekat. Bayu menoleh dan tersenyum.

“Hai, Sayang. Kamu udah makan?”

Suara Lita menjawab pelan. “Belum.”

“Ayah suapin, ya.”

Lalu video berhenti.

Dadaku sesak. Tanganku dingin.

Bayu menjadikan Lita topengnya. Senjata yang paling tak terduga.

Aku harus bergerak sebelum dia lebih dulu.

Malam harinya, aku duduk di kamar dengan laptop menyala dan kertas-kertas hasil cetakan file flashdisk berserakan di sekelilingku.

Aku mulai menyusun timeline.

Tiga bulan lalu, ayah Bayu meninggal dalam kondisi mencurigakan.

Sebulan kemudian, aku kehilangan ponsel yang ternyata disembunyikan.

Dua minggu lalu, surat wasiat tiba.

Tiga hari terakhir, Bayu mulai gelisah, ponsel selalu di sakunya, bahkan saat mandi.

Tapi ada satu yang paling menggangguku:

Tanggal 14 di kalender dinding dapur dilingkari spidol merah. Tidak ada catatan. Hanya lingkaran tebal dengan coretan kecil: "Selesai."

Hari ini tanggal 12. Itu berarti aku punya dua hari sebelum sesuatu terjadi.

Aku mengirim pesan ke Nindya.

Apa kamu tahu ada rencana Bayu tanggal 14?

Balasannya cepat.

Aku nggak yakin. Tapi dulu dia pernah bilang: “Tanggal 14 aku bebas.”

Bebas?

Apa maksudnya? Bebas dari aku?

Bebas dari tanggung jawab?

Atau… bebas dari saksi hidup?

Ponselku berdering. Nomor tak dikenal.

“Halo?”

“Bu Rani?” suara di seberang berat, pria. “Ini dari klinik Ibu Liana. Kami ingin konfirmasi sesuatu.”

“Ya?”

“Tadi siang, ada seseorang datang mengaku sebagai Ayah dari Lita, dan meminta salinan data imunisasi. Kami tidak menyerahkan karena Ibu belum mengonfirmasi. Apakah itu benar Ayahnya?”

Aku berdiri reflek. “Tidak. Jangan berikan apa pun. Kalau dia datang lagi, tolong hubungi saya langsung.”

“Baik, Bu. Maaf, kami hanya mengikuti prosedur.”

Kututup telepon. Tangan dingin. Lutut lemas.

Untuk apa Bayu mengambil data imunisasi anak kami? Untuk menyamakan rekam medis? Atau untuk sesuatu yang lebih gelap?

Aku tak tahu.

Tapi satu hal pasti.

Bayu bergerak cepat.

Dan aku harus lebih cepat.

Malam semakin larut. Rumah sunyi. Hanya suara detak jam dinding dan nafas Lita di kamar sebelah yang menenangkan.

Tapi aku tidak bisa tidur.

Ponselku berbunyi. Kali ini dari Nindya.

“Aku tahu kamu takut. Tapi kalau kamu mau pukul duluan, aku punya caranya.”

“Apa?”

“Ajak dia ke rumah notaris. Ajak dia revisi surat perjanjian waris. Lihat reaksinya. Aku akan tunggu di seberang. Kalau dia panik, kita rekam. Itu langkah pertama.”

“Dia nggak akan mau.”

“Maka bikin dia mau. Gunakan yang paling dia pedulikan.”

Aku menatap layar ponsel. Lalu menoleh ke foto Lita di meja.

"Yang paling dia pedulikan"—atau lebih tepatnya, yang dia gunakan untuk menyamarkan wajah aslinya.

Esok paginya, aku berdandan rapi. Mengenakan baju terbaikku. Menyiapkan sarapan dengan hati-hati.

Bayu turun, masih dengan wajah manisnya yang palsu.

“Ada perlu?” tanyanya.

“Aku sudah putuskan.”

“Putuskan apa?”

“Aku mau kita ke notaris. Aku mau revisi surat warisan.”

Wajahnya menegang.

“Kenapa mendadak?”

“Karena aku tahu kamu nggak nyaman kalau aku pegang semua. Aku nggak mau rumah tangga kita jadi rusak hanya karena ini.”

Bayu menatapku lama. Seperti sedang menimbang sesuatu.

Lalu dia tersenyum kecil.

“Oke. Kita ke notaris hari ini.”

Deg.

Dia menyetujui.

Tapi bukan itu yang membuat jantungku berpacu.

Melainkan tatapan matanya yang berubah… seolah berkata:

"Akhirnya kamu menari juga di atas lantai yang kupasang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   28: Pertarungan Terakhir

    Malam itu aku tidak bisa tidur. Lagi. Setiap kali memejamkan mata, aku melihat wajah Hartini yang pucat, suara Bayu yang bergetar, dan tatapan kosong Arka yang mulai retak.Besok adalah hari terakhir. Hari di mana semua kata-kata akan diucapkan, semua argumen akan disampaikan, dan keputusan akan dijatuhkan.Aku duduk di teras belakang rumah Pak Wibowo, menatap langit malam yang gelap. Tidak ada bintang. Hanya awan tebal yang menutupi segalanya—seperti ketidakpastian yang menggantung di atas kepala kami."Tidak bisa tidur juga?"Aku menoleh. Arjuna berdiri di ambang pintu dengan dua gelas teh hangat di tangan. Sudah jadi ritual kami—duduk bersama di malam sebelum hari penting, berbicara tentang apapun kecuali ketakutan kami."Terlalu banyak yang dipikirkan," jawabku sambil menerima gelas dari tangannya.Dia duduk di sampingku. "Bu Ratna bilang pledoinya sudah siap. Dia yakin hakim akan putuskan bersalah.""Tapi tidak ada yang pasti di dunia hukum," ujarku pelan. "Hartini dan Arka punya

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   27: Pengakuan Seorang Anak

    Bayu didorong perlahan menuju podium saksi. Setiap gerakan kursi rodanya terdengar keras di ruang sidang yang hening. Paramedis membantunya berdiri—dengan susah payah—agar bisa bersumpah di depan hakim.Tangannya gemetar saat diangkat. Suaranya lemah saat mengucap sumpah. Tapi matanya... matanya penuh tekad yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Setelah selesai bersumpah, dia duduk kembali di kursi roda. Monitor jantung portable yang terpasang di dadanya berkedip pelan—mengingatkan semua orang bahwa dia bisa saja tidak bertahan sampai persidangan selesai.Bu Ratna mendekatinya dengan tatapan lembut. "Saksi, apa Anda yakin bisa melanjutkan? Kondisi kesehatan Anda—""Saya yakin," potong Bayu dengan suara parau tapi tegas. "Ini... ini satu-satunya hal yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya."Hakim Bambang mengangguk. "Silakan lanjutkan, Jaksa."Bu Ratna membuka berkas. "Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan terdakwa."Bayu menarik napas dalam—terd

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   26: Hari Pembuktian

    Pagi itu aku bangun pukul lima subuh. Tidak bisa tidur lagi. Terlalu banyak yang berputar di kepala—skenario terburuk, kemungkinan-kemungkinan yang bisa salah, wajah-wajah orang yang sudah menderita karena Arka dan Hartini.Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Aku tidak mau bangunkan dia. Biarkan dia tidur sedikit lebih lama di dunia yang masih aman.Di ruang makan, Pak Wibowo sudah duduk dengan setumpuk dokumen di depannya. Wajahnya serius, matanya merah—sepertinya dia juga tidak tidur semalam."Pagi," sapanya tanpa menoleh."Pagi," jawabku sambil menuangkan kopi. "Sudah siap?""Tidak ada yang benar-benar siap untuk hari seperti ini," ujarnya sambil membalik halaman. "Tapi kami sudah lakukan semua yang bisa kami lakukan. Sekarang tinggal eksekusi.""Bagaimana dengan jaksa? Apa mereka benar-benar bisa dipercaya?"Pak Wibowo akhirnya menatapku. "Jaksa Penuntut Umum yang akan tangani kasus ini adalah Bu Ratna Sari—salah satu jaksa

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   25: Malam yang Panjang

    Hari ketiga di klinik Dr. Sari terasa seperti hari yang paling panjang. Kami semua mulai merasakan efek dari terkurung—Lita semakin pendiam, Arjuna lebih gelisah, dan Nyonya Surya yang biasanya tenang mulai tampak lelah.Hanya Bayu yang kondisinya perlahan membaik. Dr. Sari bilang lukanya mulai menutup, infeksinya terkontrol, dan dia sudah bisa makan bubur encer. Tapi dia masih sangat lemah—belum bisa duduk sendiri, apalagi berjalan."Kalau kondisinya terus membaik seperti ini, dia bisa bersaksi di pengadilan," kata Dr. Sari sambil memeriksa chart medis Bayu. "Tapi dia harus dibawa dengan kursi roda. Dan tidak boleh terlalu lama. Maksimal satu jam.""Itu cukup," ujar Pak Wibowo yang datang pagi itu dengan kabar terbaru. "Jaksa sudah atur jadwal persidangan. Empat hari lagi. Hari Senin pukul sepuluh pagi."Empat hari. Kami hanya perlu bertahan empat hari lagi.Tapi empat hari terasa seperti selamanya saat kamu tahu ada orang yang ingin kamu mati.Sore itu, Lita duduk di sampingku di ru

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   24: Balas Dendam yang Tertunda

    Penangkapan Hartini menjadi berita utama di semua media hanya dalam hitungan jam. Foto wajahnya yang pucat, diborgol, dikawal polisi keluar dari rumah sakit—tersebar di televisi, koran, dan media sosial."RATU BISNIS KOTOR AKHIRNYA TERJERAT" "SKANDAL PEMBUNUHAN DAN KORUPSI DI KELUARGA HARTONO GROUP" "MISTERI KEMATIAN 20 TAHUN LALU AKHIRNYA TERKUAK"Kami menonton berita itu dari kamar hotel dengan perasaan campur aduk. Lega, tapi juga waspada. Karena kami tahu—Arka masih di luar sana."Dia tidak akan diam," kata Arjuna sambil menatap layar televisi. "Hartini ditangkap berarti jalur komunikasinya putus. Dia akan panik. Dan orang yang panik akan jadi lebih berbahaya.""Tapi polisi sudah bergerak," ujarku. "Pak Wibowo bilang mereka juga sedang kejar Arka.""Arka bukan orang bodoh. Dia pasti sudah antisipasi skenario terburuk." Nyonya Surya duduk dengan wajah serius. "Dia pasti punya rencana pelarian. Mungkin sudah keluar negeri sekarang.""Atau," Arjuna menatap kami, "dia masih di sini. M

  • Kubalas Pengkhianatan Suamiku   23: Pecahan yang Tersisa

    Kami tidak kembali ke rumah Kotagede. Terlalu berisiko. Nyonya Surya mengarahkan Pak Harto—yang asli, yang berhasil kami temukan terikat di bagasi mobil Pak Danang sebelum dia kabur—untuk menuju ke sebuah hotel kecil di pinggiran kota.Hotel itu sederhana, nyaris seperti losmen. Pemiliknya tidak banyak tanya, hanya memberi kunci kamar dengan tatapan curiga yang ditahan karena Nyonya Surya membayar tunai tiga kali lipat harga normal.Kamarnya kecil. Dua tempat tidur, satu kamar mandi, dan jendela kecil menghadap ke gang sempit. Tapi setidaknya aman. Untuk sementara.Lita langsung kutidurkan. Tubuhnya masih gemetar, matanya bengkak karena menangis. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin sampai ia akhirnya tertidur—tidur yang tidak tenang, penuh gerakan gelisah dan erangan kecil.Setiap kali ia bergerak, aku mengelus rambutnya. Berbisik bahwa semuanya sudah aman. Meski aku sendiri tidak yakin.Di luar kamar, aku mendengar suara Arjuna dan Nyonya Surya berbicara pelan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status