"Mas, Aku senang kamu pulang. Rindu rasanya melihatmu setelah beberapa hari tidak pulang ke rumah," ucap Mbak Mita manja. Padahal biasanya wanita itu terlihat galak dengan suaminya dan kali ini terasa aneh karena mendadak menjadi manja dan genit setelah suaminya pulang dengan membawa mobil.Ramli memang bekerja di salah satu perusahaan yang terletak di kota. Biasanya selalu bolak-balik seminggu sekali dan kali ini kepulangannya menjadi istimewa karena dia membawa mobil yang cukup bagus ke rumah."Aneh sekali kalian, biasanya kan aku memang pulang tak menentu." Mas Ramli pun sepertinya heran melihat kelakuan dari istri dan juga keluarganya.Bukan hanya ibu dan Mbak Mita yang heboh melihat kepulangan kakak iparku tetapi Jani juga ikut heboh melihat mobil yang mentereng di depan halaman rumah."Ini sih keren banget! Kakak ipar berapa hari di rumah?" tanya Jani."Lusa aku sudah harus pulang karena mungkin aku akan sering bolak-balik ke rumah dan ke kantor. Sudah difasilitasi mobil dari p
“Kamu nggak ikut, Mas?” tanyaku. Aku lekas ternyata mas Ahmad nggak ikut pergi bersama dengan keluarganya. Dia terlihat tersenyum lalu aku pun duduk di sampingnya."Ikut ke mana?" "Kata tetangga tadi ibu sama Mbak Mita pergi jalan-jalan dengan mobil. Aku kira mas akan ikut," ucapku."Nggak lah, istriku sedang kerja masa aku enak enakan jalan-jalan. Mereka juga kan memang mau cari hiburan sedangkan aku cukup kamu jadi hiburan."Aku tersenyum. "Akhirnya, suamiku waras," kekehku.Mas Ahmad tersenyum. "Lagian kan memang aku nggak bisa jalan dengan baik. Yang ada nanti merepotkan mereka.""Ya nggak papa kalau memang mau refreshing di luar, Mas udah makan?" tanyaku. Melihat kondisi mas Ahmad yang belum juga sembuh-sembuh dari cedera kakinya membuat aku semakin tidak tega untuk menuntutnya banyak hal. Aku abaikan perasaan lelah ketika ditanyai oleh beberapa tetangga tentang kemampuan suamiku dalam mencari nafkah, bahkan adat dari beberapa mereka yang meremehkan kemampuan suamiku. Tuhan
Saat aku memasuki rumah Mbak Mita, mendadak perut rasanya mual. Aroma dari busuknya sampah yang mungkin sudah berhari hari tak dibuang itu membuatku bergidik melihatnya. Aku melepas kerudungku, lalu menjadikannya sebagai masker. Kuikat agar menutupi hidung, juga agar baunya tak membuatku menyerah dengan pekerjaan ini. Kuangkat sampah dan membuangnya ke penampungan sampah belakang rumah. Aku juga melihat tumpukan baju kotor di kamar mandi.Tuhan, jika bukan untuk uang 50 ribu aku ogah membereskannya. Aku hanya meletakkan semua baju kotor itu di dalam keranjang. Tiga keranjang penuh baju baju kotor, aku letakkan di sisi mesin cuci. Aku juga membuang sisa sisa makanan yang sudah membusuk di wastafel. Astaga, manusia satu ini jorok sangat ternyata. Aku pun membersihkan semuanya dalam waktu 30 menit. Ruang tamu, ruang dapur dan juga kamar mandi. Hanya saja, aku tak mencuci pakaian mereka. Enak saja, loudry sebanyak itu juga biayanya lebih dari 50 ribu. Tentu saja tugasku hanya membereska
"Nina!"Pagi hari sekali saat aku baru saja selesai salat subuh suara Ibu sudah bergema mengisi seluruh ruangan di rumah ini. Aku cukup heran karena tidak biasanya ibu sepagi ini sudah bangun, bahkan biasanya sampai aku selesai masak pun itu masih terlelap di kamarnya."Ibumu, Mas. Udah tau tua tapi suaranya kayak toa," ucapku membuat Mas Ahmad tersenyum dan mengecup keningku setelah salat berjamaah bersama."Semoga kamu diberikan kesabaran seluas samudra dan keluasan rezeki setiap hari. Sabar ya?""Asal nggak diminta buat suburin lemak," kekehku sambil mencopot mukena dan melipatnya.Aku keluar menuju ke tempat di mana Ibu memanggilku. Di sana sudah ada Jani yang sedang menangis."Kenapa?" tanyaku pada Ibu dan Jani."Adikmu ini mau sekolah, katanya harus membayar buku dan ibu nggak punya duit. Ibu pinjam sih, 50 ribu" ucap ibu mertuaku."Loh, kemarin kan habis jalan-jalan sama anak kesayangan dan anak paling kaya di keluarga ibu. Kenapa nggak minta saja sama anak menantunya yang kaya
Seperti biasanya, aku berjualan dari rumah ke rumah hingga titik terakhir di sekolah. Kali ini, sengaja aku berjalan dengan pelan agar di sekolah tak harus menyisakan banyak dagangan. Aku berharap hari ini jualanku laris, aku sudah tak sabar untuk membeli hape android yang mungkin bisa membantuku menelpon kakak di seberang desa agar tahu kabar masing masing.Nasib punya kakak laki laki semua. Aku nggak berani cerita nestapaku. Bang Hadi, Bang Cakra dan Bang Angga adalah kakak kakak yang sigap kapan saja akan mendatangi rumah mertuaku jika sampai aku diperlakukan tak baik di sini. Kami memang bukan orang kaya, tapi aku merasa semua saudaraku waras semua. Di antara kami semuanya saling tolong menolong, bahkan saat acara resepsi pernikahanku, semua yang membayar adalah abang abangku.“Mbak Nina,” panggil Bu Waluyo dengan terburu buru.“Iya, Bu. Mau beli sempol?” tanyaku antusias. Biasanya Bu Waluyo yang paling senang icip icip, meski hanya beli satu atau dua tusuk saja tapi sudah alhamdu
Aku mengintip dari jendela kamar dan melihat Mas Ahmad yang sedang diceramahi oleh tukang kredit yang gagal mendapatkan uang dari ibu. Aku tidak heran jika Ibu mendadak tidak ada di rumah karena ibu itu selalu bersembunyi jika tidak bisa membayar hutangnya. Untuk kali ini aku benar-benar mencoba untuk abai dan tidak ingin peduli dengan hutang-hutang ibuku karena semakin aku memberikan keringanan untuk membayar maka ibu akan selalu menindas ku dan meminta uang selalu kepadaku. Bukan aku pelit, tapi jika aku tidak pandai-pandai mengelola uang yang jumlahnya tidak seberapa itu pasti tidak akan cukup untuk makan kami dan juga biaya hidup kami ke depannya."Udah?" Tanyaku saat Mas Ahmad sudah kembali ke kamar dengan wajah yang seperti lipatan belum digosok. Lecek."Udah. Aku pikir Ibu ada di rumah loh tadi," ucap Mas Ahmad."Udah aku cari sampai ke dapur, sumur, kolong jembatan, kolong meja sampai kolong-kolong tikus, nggak ada. Apa mungkin Ibu digondol kolong Wewe?" tanyaku membuat Mas Ah
Aku selesai meracik sempolan untuk jualanku besok pagi. Aku menaruhnya dalam kulkas, lalu masuk ke dalam kamar. Aku hanya melirik pada suamiku yang masih setia menemani ibunya yang masih saja awet merepet. Ya begitulah, Ibu mertuaku seperti tak ada rasa lelah mengomel setiap harinya. Saat diingatkan tentang bahayanya marah marah di usia tua, eh malah tambah marah. Dibilang aku nyumpahin orang tua itu bakalan kualat nantinya. Mas Ahmad terlihat lesu saat masuk ke dalam kamar. Aku pun sudah bersiap untuk mendengarkan keluhannya. Aku yang sudah paham watak suamiku, perlahan mendekat dan tersenyum padanya.“Angga aja televisi sedang salah sinyal dan channel. Mas baik wudhu, kita jamaah di masjid saja. Gimana?” tanyaku.“Di rumah saja lah, Mas lagi malas keluar rumah. Nggak mood, takutnya ucapan ke mana mana.”“Nggak usah dibikin bete sih, Mas. Ibu kan sudah biasa kayak gitu. Biasanya juga Mas yang nasehatin Nina kalau lagi badmood begini. Sekarang wudhu, Nina siapkan pakaiannya.”Mas A
"Lalu, untuk apa kamu ke sini lagi? Aku sudah beristri, kamu juga sudah bersuami bukan?" tanya suamiku. Aku berusaha untuk memperlambat langkahku bahkan berhenti sementara untuk mendengar apa yang menjadi jawaban dari wanita yang terdengar punya hubungan dengan suamiku itu. Penasaran membuatku menjadi wanita setengah kepo yang akhirnya tidak bisa menahan semua rasa yang ada di dalam dada. Entah Kenapa dadaku benar-benar berdebar cepat saat melihat wanita itu datang dan saat melihat obrolan dari semua orang yang ada di depan. seperti akan ada yang terjadi dan itu pasti akan sangat menegangkan jika begini.Cemburu, tentu saja. Apalagi suamiku terlihat sangat tidak biasa saat melihat wanita itu bahkan terkesan seperti mengingat kejadian masa lalu. Mencurigakan!"Suamiku menceraikanku saat ini, Mas. Mengusirku dari rumah karena mengira aku bukan hamil anaknya dan dia sudah menjatuhkan talak dariku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena yang aku kenal hanyalah Mas Ahmad.""Dia ingi