Share

sudah pasti

...

2

"Mbak, Mas Ahmad kecelakaan di tempat kerja. Sekarang di rumah sakit Medika."

Tanganku lemas seketika. Suamiku ….

Aku gegas pergi. Aku tidak memperdulikan apapun selain keselamatan suamiku yang sedang mencari nafkah. Kabar yang disampaikan Romli membuatku sampai kehilangan akal dan langsung berjalan ke depan, meminta tolong pada tetangga untuk meminjamkan motornya kepadaku.

"Mau ke mana, Nin? Buru-buru amat? Mau ke pasar lagi?" sindir Mbak Mita.

Aku tak menjawabnya. Kupilih tetap melajukan motor dan pergi menuju rumah sakit Medika yang jaraknya berkilo-kilo dari tempatku tinggal. Ya Tuhan, selamatkanlah suami hamba. Meski dia jelek, pendek, dekil, miskin, idup pula. Tapi aku sayang banget sama dia. Dia nggak pernah bentak aku dan maksa aku buat melakukan hal yang aku nggak suka, meski di rumah ibunya sendiri. Kekurangannya hanya satu, dia nggak mau misah dan hidup berdua saja denganku. Alasannya, sayang Ibu. Sudah berulang kali berdebat, akhirnya kalah dengan sogokan uang lembaran biru simpanannya.

Jarak yang lumayan jauh, membuatku harus menempuh perjalanan 1 jam lebih lima belas menit. Cukup membuat wajahku yang glowing bak Nagita Salavina, berubah menjadi Nagita Salahlima. Ah, udah nggak kehitung berapa jumlah debu yang menempel. Yang jelas, aku merasa semua ketidaknyamanan ini kalah dengan kabar yang Romli sampaikan.

Sesampainya di rumah sakit, aku geges menuju ruang informasi pasien. Mencari data pasien atas nama Ahmad Junaidi. Dalam monitor petugas, munculan nama itu dan aku langsung diberitahu nama ruangan dan juga nomor kamar Mas Ahmad.

Aku melangkah dengan cepat, secepat kilat. Sampai di depan pintu, aku merapalkan doa. Pokoknya, doa yang sulit-sulit aku baca. Dari doa makan sampai doa mau tidur, pokoknya apapun doanya aku baca. Berharap, saat masuk nanti aku terbangun dari mimpi buruk ini.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Dek,” panggil Mas Ahmad yang nampak kaget dengan kedatanganku.

Aku melihat ada sang mandor yang sedang di dalam dan juga Romli tentunya.

“Nah, istrimu sudah datang, Mad. Saya pamit dulu, ya? Mau cek pekerjaan sore ini. Semoga kamu lekas sembuh ya.”

Sang Mandor pamit pulang padaku dan Mas Ahmad, sambil menyodorkan amplop putih. Katanya, uang santunan dari Mandornya. Setelah Mas Romli dan Mandor pergi, aku mendekat dan bersalaman pada suamiku.

“Kenapa sih, Mas? Kok sampai kecelakaan kerja seperti ini?” tanyaku lirih sambil memeriksa lukanya. Dia meringis, entah menahan sakit atau hanya ingin bermanja denganku.

“Namanya juga musibah, Dek. Mas juga nggak mau kayak gini. Ibu mana?” tanya Mas Ahmad. Selalu saja begitu. Dia selalu menanyakan ibunya di saat aku dan dia berdua dalam keadaan yang tegang.

“Di rumah.”

“Kamu belum kasih tahu, Dek?”

“Belum, lah, Mas. Nanti yang ada ribet, ini itu kalau kasih tahu Ibu dulu. Nina datang ke sini buat cek keadaan Mas kayak gimana. Kalau hanya luka ringan, baik kita langsung pulang. Kalau luka parah, baru Nina kabari Ibu. Nina nggak mau Ibu khawatir jika tahu Mas kayak gini. NIna aja tadi hampir jantungan denger Mas mengalami musibah di tempat kerja.”

“Ah, masa?” ledek Mas Ahmad.

“Ya…nggak percaya ya sudah. Jadi, kenapa bisa begini? Gimana kata Dokter? Parah nggak? Perlu nginep nggak?” berondongku.

“Itu pertanyaan apa catatan kas bon kamu di warung, Nin? Banyak amat,” seloroh Mas Ahmad.

Aku tersenyum. “Habisnya, aneh aja. Perasaan muka Mas nggak apa. Bisa pulang sekarang?” tanyaku.

Mas Ahmad menggeleng dan membuka selimut rumah sakit bercorak belang dan menunjukan luka di kakinya.

“Kaki Mas patah sebelah. Tadi kejatuhan cor dan harus dioperasi. Tadi udah di cek di lab dan besok harus ditangani,” jawabnya santai.

“Ya Tuhan … suamiku ini memang ya. Luka separah ini ditutupi? Sakit banget ya, Mas?” tanyaku khawatir.

“Nggak. Sakit itu kalau bini cerewet tapi nggak ada lanjarannya. Besok pasti sembuh, cuma … maaf, Mas belum bisa kasih kamu nafkah beberapa waktu. Ini tadi uang dari mandor, kamu simpan buat keperluan sehari-hari sampai Mas sembuh dan bisa bekerja lagi. Semoga cukup,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku tahu suamiku ini sedih, tapi lebih sedih aku yang harus melihat luka Mas Ahmad dan bayangan kehidupan selama Mas Ahmad tak bekerja nanti. Pastilah Ibu mertua dan Mbak Yuni merepet dan semakin menindasku setiap hari. Ah … membayangkan saja rasanya sudah berasa kek makan belimbing wuluh se pohon-pohonnya. Asem!

“Uang pembayaran rumah sakit gimana, Mas?” tanyaku sendu.

“Ada BPJS kan? Kata Pak Mandor tadi, sisa pembayaran pengobatan yang kurang mereka yang bertanggung jawab. Sebagai bentuk solidaritas antar pekerja dan memang keselamatan kerja menjadi tanggung jawab pemimpin proyek. Bersyukur tadi pas kejadian, Pak Mandor ada di sana dan Mas bisa langsung ditangani. Makanya dikasih uang pesangon karena kecelakaan tadi murni kesalahan dari gedungnya yang memang salah bangun dan tidak layak.”

“Kok tidak layak? Rumah lama emangnya?”

“Iya. Jadi bangunan itu diminta direnov ulang dan ternyata memang nggak begitu kuat sudah. Jadinya bata di bagian atas sekalian cornya jatuh mengenai kaki Mas. Untung yang kena kaki, kalau kepala … nggak bisa dibayangkan berapa banyak air matamu menangisi kepergian Mas.”

“Naudzubillah. Ngomongnya yang betul ah! Ngeri Nina dengernya. Jadi malam ini nginap di rumah sakit?” tanyaku memastikan.

“Ya. Tidak mungkin Mas pulang dalam kondisi seperti ini, bukan?”

“Baiklah. Nina hubungi Jani, ya? Biar bisa gantian ke sini. Nina pulang dulu ambil baju ganti dan ngabari Ibu atau Mbak Mita biar datang juga ke sini.”

“Nggak usah. Kamu temani Mas aja di sini. Besok pulangnya. Ini sudah sore, sebentar lagi gelap. Nggak baik juga kalau kamu pulang gelap-gelapan. Tadi ke sini pakai apa?”

“Motornya Nisa, anaknya Bu Waluyo. Habis Nina panik, jadi pinjem motor yang nganggur. Maaf, ya , Mas.”

“Kok nggak pinjem punya Mbak Mita?”

“Malas, ah. Suka banyak pertanyaan. Kan tadi Nina panik jadi pengennya langsung cepat sampai dan melihat keadaan Mas.”

Mas Ahmad hanya tersenyum dan aku merogoh ponselku. Ada 5 panggilan tak terjawab dari Mita dan Jani, pastilah mereka diminta Ibu untuk menghubungiku.

“Mbak Mita nelpon ternyata, tapi Nina nggak denger,” laporku pada Mas Ahmad.

“Telepon balik aja. Mereka pasti sudah tahu dari istrinya Romli.”

Aku mengangguk dan menekan tombol dial. Panggilanku langsung tersambung dan suara bass Mbak Mita langsung membuat kaget gendang telingaku. Aku meloudspeaker panggilan Mbak Mita agar Mas Ahmad dengar sendiri apa yang kakaknya katakan pada istrinya yang baik hati ini.

“Di mana kamu? Suami lagi sekarat, kamu malah ngeluyur. Pake pinjam motor tetangga lagi! Bikin malu saja. Katakan! Di mana kamu?”

Aku sengaja membuat Mas Ahmad berbicara dengan Kakaknya dengan memberikan ponsel itu padanya. Aku enggan menanggapi, yang ada makan ati sendiri.

“Mbak,” panggil Mas Ahmad membuat Mbak Mita langsung diam seketika.

“Loh, ini Ahmad? Atau pacarnya Nina? Wah, nggak beres nih anak. Bu … Ibu! Menantu Ibu lagi pergi menemui pacarnya, Bu!” teriak Mbak Mita.

Seketika aku ingin tertawa. Masa iya, suara adiknya sendiri nggak hafal? Maklum sih, Mas Ahmad kan jarang pegang hp. Mas Ahmad nampak bingung dan memberikan ponselnya padaku.

“Kamu saja yang bilang kalau Mas lagi di rumah sakit. Sepertinya rumah sudah heboh karena hal ini.”

Aku menerima ponselku kembali dan mematikan panggilan teleponnya.

“Kok dimatikan?” tanya Mas Ahmad.

“Biar mereka datang ke sini dan liat Nina yang sudah bersama Mas Ahmad. Lagian, siapa suruh langsung menuduh Nina dan tidak berkata pelan dan baik-baik. Mas juga, jangan diem aja kalau bini lagi difitnah. Sudah tahu fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Kalau Mas diem aja, berarti Mas sudah bikin rencana membunuh Nina pelan-pelan,” cerocosku.

“Astaghfirullah. Nggak lah, Dek. Mas tahu dan kenal kamu. Nggak usah emosi ya, nanggepin Mbak Mita. Dia emang hobi marah-marah, tapi jangan diambil hati.”

“Nggak! Paling tak ambil ginjalnya aja, lalu tak jual ke tengkulak ayam potong,” ucapku asal.

Mas Ahmad hanya tersenyum. Dia tak marah karena dia sangat tahu tabiatku yang sedang emosi. Mengatakan kata-kata sadis padahal jika sudah reda, baiknya bak malaikat baru keluar dari kayangan. Hakyee

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status