Share

Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku
Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku
Penulis: Maey Angel

kebiasaan

"Kemarin habis dari pasar, beli apa aja?" tanya Mita–kakak iparku.

"Kenapa? Kepo banget," selorohku malas.

"Kepo lah. Itu, Ahmad kerja bukan buat kamu habiskan uang gajinya. Pasar kok hampir tiap hari! Nggak kasihan apa? Gaji suami yang hanya kuli, tapi bini pegawean belanja sana sini. Boros!" serunya.

Aku yang sedang memotong bawang berhenti. Mendelik ke arah kakak ipar yang sangat suka membuat tensi naik tanpa permisi. Nggak pagi, siang, sore, nggak seneng banget  liat aku seneng.

"Situ ngiri? Jangan lupa, cicilan panci dibayar. Bukan hanya sibuk ngurusin urusan orang!" semburku lalu pergi dengan segera, meninggalkan pekerjaan yang seharusnya aku harus selesaikan segera.

"Na ….." Suara Ibu Mertua terdengar dari dapur saat aku baru saja hendak mandi. Aku letakkan handuk kembali, memilih mendekat ke arah ibu mertua yang umurnya tidak lagi muda.

"Iya, Bu."

Aku melihat Mbak Mita  yang sedang berada di samping Ibu Mertua, dengan wajah ditekuk dan bersimbah air mata.

"Kamu kebangetan, ya. Kenapa kamu suruh Mita  masak? Sudah tahu dia nggak bisa masak. Kamu mau jadikan anak Ibu budakmu semua? Cukup Ahmad kamu peras tenaganya. Jangan juga anak Ibu yang lain. Ngerti nggak?!" teriak ibu mertua.

Aku melihat Mbak Mita  tersenyum sengit, sambil meninggalkanku di sini dengan ibu mertua.

"Kamu itu numpang. Manut kenapa sama Kakakmu. Suaminya sedang merantau. Tidak kasihankah?" Ucapan Ibu mertua menurun. Mungkin setelah Mbak Mita pergi, demitnya ikut kabur.

"Ya."

"Kalau kesulitan memasak bilang Ibu. Tanya resep kalau bingung," ucapnya lagi sambil merampungkan pekerjaan yang tadi sempat aku tinggalkan.

"Ya."

"Bangun jangan kesiangan. Jam 6 sudah harus matang semua. Suamimu itu kerja jam 7 sudah berangkat, sore juga harus sudah siap makanan ketika pulang bekerja."

"Ya."

"Halaman depan kalau rumput sudah panjang-panjang, bersihkan. Daun-daun kering, buang. Jangan nunggu disuruh!"

"Iya."

Ibu mertua terus saja ngecebrek, salutnya tangannya ikut bekerja cepat secepat mulutnya berbicara. Aku hanya pura-pura sibuk dan mendengarkan, tanpa menyahuti banyak kata. Antisipasi mertuaku mengeluarkan gas yang bisa menimbulkan ledakan kapan saja.

"Sudah, Bu? Biar Nina yang lanjutkan. Ibu lanjutkan lagi pekerjaan Ibu. Tadi sedang apa, Bu? Kok tiba-tiba panggil Nina terus marah-marah?" tanyaku ramah, seramah saat baru bertemu beliau. Ya begitulah, jika dengan kakak-kakak ipar aku berani. Tapi ketika dengan Ibu, jika sedang marah aku memilih diam dan membalasnya dengan ucapan secukupnya yang tidak menambah panjang masalah.

"Ibu tadi lagi rapat di depan sama Bu Waluyo. Bikin malu aja, sampe Yuni nangis gitu. Kamu kebangetan!" seru Ibu yang masih belum mau menghentikan aktivitasnya.

Lanjut aja sih, Bu. Anak mantumu ini memang suka kalau Ibu marah, selesai semua pegawean.

"Rapat? Kok bahasannya kek ibu menteri saja pake acara rapat. Bahas apa?" tanyaku sambil mengemasi perkakas kotor dan mencucinya.

"Kamu ini nggak tahu derita Ibu atau apa?"

"Enggak," jawabku polos. Padahal, aku tahu apa yang selama ini ibu-ibu komplek bicarakan. Pamer mantu. Ah, sudahlah. Kalau begitu aku berasa asma mendadak. Soalnya, Ibu mana mau bicara enak mengenaiku. Ada ada saja pokoknya kurangnya.

"Kamu itu jangan kebanyakan gaya, Na. Tetangga bilang, kamu hobinya ke pasar borong-borong. Kamu juga keseringan pesen paket, sampe kurir hafal rumah ini. Apa kamu gak pengen nabung buat masa depan? Mumpung belum ada anak. Ahmad itu hanya kuli, tapi bukan berarti kita akan selalu jadi orang yang nyaman dengan keadaan susah begini."

Aku matikan kran. Meletakkan piring-piring tanpa menyahuti ucapan Ibu mertua. Percuma. Ibu nggak bakal ngerti.

"Na, denger nggak Ibu ngomong?"

"Iya, Bu. Nina denger."

"Dilakukan, dipraktekan. Jangan hanya iya-iya saja tapi kamu selalu begitu saja tiap hari. Mita  sampai marah-marah liat kamu bergaya bak sosialita. Ahmad itu juga butuh napas," ucap Ibu Mertua.

"Ya. Nanti malam Nina kasih napas buatan," jawabku asal.

"Bu …."

Teriakan Jani membuat Ibu Mertua meletakkan pisau yang dipegangnya. Aku tak heran, pasti ada saja masalah yang dibuat adik iparku itu.

Ya, aku tinggal di rumah mertua bareng dengan adik iparku yang masih sekolah menengah pertama.  Gadis, tapi malasnya minta ampun. Cucian saja, jika bukan aku yang mengomel dia bakal satu bulan nggak dipegangnya. Lagi-lagi, dia mengadu dan aku yang harus membereskannya. Jika kelar urusan dengan Jani, tinggalah urusan dengan Yuni yang rumahnya hanya lima langkah dari rumah ibu mertua. Mertuaku sengaja membangunkan rumah itu agar anak-anaknya tidak jauh tinggal-tinggal dari desanya. Niat hati biar dekat, yang ada tiap hari selalu saja bikin tensi kepala ini dan pastinya, aku.

"Na, belikan pembalut di warung. Jani sakit perut, datang bulan dia. Kasian," titah ibu mertua.

Aku meletakkan pisau dan menadahkan tangan, meminta uang.

"Apa?" tanya ibu bingung.

"Uang lah. Masa udah minta tolong beliin, minta tolong juga bayarin. Enak di Jani, nggak enak di Nina."

"Astaghfirullah. Kenapa sampai Ahmad punya bini begini modelannya," gerutu Ibu seraya merogoh sakunya yang sudah sobek sana sini.

"Nih. Beli yang ada sayapnya kata Jani."

"Ada cekernya sekalian nggak?" tanyaku sedikit kesal.

"Sisanya, beliin Kira*ti!"

Aku melihat uang lembaran merah. Ya, merah bukan nominal besar seperti yang kalian bayangkan ya. Merah sepuluh ribu, gambar pahlawan nasional. Ampun dah! Harga jamu itu aja 7000, sisa tiga ribu. Dapat pembalut empat biji yang rencengan. Aku yakin, Ibu kagak tahu harga barang yang hendak dibeli itu.

"Hadeh, belanja terus. Kurang banyak belanja di pasarnya?" sindir Mbak Mita  dari depan rumahnya.

Aku melengos saja, tanpa menengok ke arahnya. Anggap saja dia makhluk tak kasat mata. Udah cantik kagak, cerewet iya.

Aku gegas kembali setelah mengantongi  belanjaan permintaan ibu, lebih tepatnya pesanan adik iparku. Sepanjang perjalanan aku anteng, nggak tengok kanan apalagi kiri. Takutnya, ketemu demit satu yang suka bikin darting kepala dan kaki.

"Mbak!" teriak Jani.

"Apa," jawabku santai.

"Cepat! Ini sudah banjir," omelnya.

"Bodo amat! Makanya siapin stok kalau udah mepet tanggal, jadi nggak ngerepotin orang terus," ucapku meletakkan kresek di atas meja.

"Ambilin sini, Mbak. Sekalian Napa," perintahnya tanpa malu.

"Ogah! Udah bagus Mbak mau beliin, kagak tahu terimakasih."

"Emakkk!"

Jurus terakhir yang Jani pakai, selalu memanggil ibunya dan aku langsung berlalu masuk kamar dan menguncinya. Menyetel musik di ponsel dan kusambungkan lewat earphone. Aman.

Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Mas Romli terpampang di layar. Gegas aku mengangkatnya karena Romli adalah teman Mas Ahmad yang biasanya sering mengabarkan segala hal terkait pekerjaan. Maklum, suamiku tidak memiliki ponsel sejak kami menikah. Bukan tak ingin, tapi Mas Ahmad bilang tidak ada gunanya menyimpan banyak ponsel. Menambah jumlah biaya pengeluaran.

"Mbak, Mas Ahmad kecelakaan di tempat kerja. Sekarang di rumah sakit Medika."

Tanganku lemas seketika. Suamiku ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
untung cuma dalam novel kalau dunia nyata ipar dan mertua udah tak bikin buntung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status