Share

Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku
Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku
Author: Maey Angel

kebiasaan

Author: Maey Angel
last update Last Updated: 2023-12-26 02:14:38

"Kemarin habis dari pasar, beli apa aja?" tanya Mita–kakak iparku.

"Kenapa? Kepo banget," selorohku malas.

"Kepo lah. Itu, Ahmad kerja bukan buat kamu habiskan uang gajinya. Pasar kok hampir tiap hari! Nggak kasihan apa? Gaji suami yang hanya kuli, tapi bini pegawean belanja sana sini. Boros!" serunya.

Aku yang sedang memotong bawang berhenti. Mendelik ke arah kakak ipar yang sangat suka membuat tensi naik tanpa permisi. Nggak pagi, siang, sore, nggak seneng banget  liat aku seneng.

"Situ ngiri? Jangan lupa, cicilan panci dibayar. Bukan hanya sibuk ngurusin urusan orang!" semburku lalu pergi dengan segera, meninggalkan pekerjaan yang seharusnya aku harus selesaikan segera.

"Na ….." Suara Ibu Mertua terdengar dari dapur saat aku baru saja hendak mandi. Aku letakkan handuk kembali, memilih mendekat ke arah ibu mertua yang umurnya tidak lagi muda.

"Iya, Bu."

Aku melihat Mbak Mita  yang sedang berada di samping Ibu Mertua, dengan wajah ditekuk dan bersimbah air mata.

"Kamu kebangetan, ya. Kenapa kamu suruh Mita  masak? Sudah tahu dia nggak bisa masak. Kamu mau jadikan anak Ibu budakmu semua? Cukup Ahmad kamu peras tenaganya. Jangan juga anak Ibu yang lain. Ngerti nggak?!" teriak ibu mertua.

Aku melihat Mbak Mita  tersenyum sengit, sambil meninggalkanku di sini dengan ibu mertua.

"Kamu itu numpang. Manut kenapa sama Kakakmu. Suaminya sedang merantau. Tidak kasihankah?" Ucapan Ibu mertua menurun. Mungkin setelah Mbak Mita pergi, demitnya ikut kabur.

"Ya."

"Kalau kesulitan memasak bilang Ibu. Tanya resep kalau bingung," ucapnya lagi sambil merampungkan pekerjaan yang tadi sempat aku tinggalkan.

"Ya."

"Bangun jangan kesiangan. Jam 6 sudah harus matang semua. Suamimu itu kerja jam 7 sudah berangkat, sore juga harus sudah siap makanan ketika pulang bekerja."

"Ya."

"Halaman depan kalau rumput sudah panjang-panjang, bersihkan. Daun-daun kering, buang. Jangan nunggu disuruh!"

"Iya."

Ibu mertua terus saja ngecebrek, salutnya tangannya ikut bekerja cepat secepat mulutnya berbicara. Aku hanya pura-pura sibuk dan mendengarkan, tanpa menyahuti banyak kata. Antisipasi mertuaku mengeluarkan gas yang bisa menimbulkan ledakan kapan saja.

"Sudah, Bu? Biar Nina yang lanjutkan. Ibu lanjutkan lagi pekerjaan Ibu. Tadi sedang apa, Bu? Kok tiba-tiba panggil Nina terus marah-marah?" tanyaku ramah, seramah saat baru bertemu beliau. Ya begitulah, jika dengan kakak-kakak ipar aku berani. Tapi ketika dengan Ibu, jika sedang marah aku memilih diam dan membalasnya dengan ucapan secukupnya yang tidak menambah panjang masalah.

"Ibu tadi lagi rapat di depan sama Bu Waluyo. Bikin malu aja, sampe Yuni nangis gitu. Kamu kebangetan!" seru Ibu yang masih belum mau menghentikan aktivitasnya.

Lanjut aja sih, Bu. Anak mantumu ini memang suka kalau Ibu marah, selesai semua pegawean.

"Rapat? Kok bahasannya kek ibu menteri saja pake acara rapat. Bahas apa?" tanyaku sambil mengemasi perkakas kotor dan mencucinya.

"Kamu ini nggak tahu derita Ibu atau apa?"

"Enggak," jawabku polos. Padahal, aku tahu apa yang selama ini ibu-ibu komplek bicarakan. Pamer mantu. Ah, sudahlah. Kalau begitu aku berasa asma mendadak. Soalnya, Ibu mana mau bicara enak mengenaiku. Ada ada saja pokoknya kurangnya.

"Kamu itu jangan kebanyakan gaya, Na. Tetangga bilang, kamu hobinya ke pasar borong-borong. Kamu juga keseringan pesen paket, sampe kurir hafal rumah ini. Apa kamu gak pengen nabung buat masa depan? Mumpung belum ada anak. Ahmad itu hanya kuli, tapi bukan berarti kita akan selalu jadi orang yang nyaman dengan keadaan susah begini."

Aku matikan kran. Meletakkan piring-piring tanpa menyahuti ucapan Ibu mertua. Percuma. Ibu nggak bakal ngerti.

"Na, denger nggak Ibu ngomong?"

"Iya, Bu. Nina denger."

"Dilakukan, dipraktekan. Jangan hanya iya-iya saja tapi kamu selalu begitu saja tiap hari. Mita  sampai marah-marah liat kamu bergaya bak sosialita. Ahmad itu juga butuh napas," ucap Ibu Mertua.

"Ya. Nanti malam Nina kasih napas buatan," jawabku asal.

"Bu …."

Teriakan Jani membuat Ibu Mertua meletakkan pisau yang dipegangnya. Aku tak heran, pasti ada saja masalah yang dibuat adik iparku itu.

Ya, aku tinggal di rumah mertua bareng dengan adik iparku yang masih sekolah menengah pertama.  Gadis, tapi malasnya minta ampun. Cucian saja, jika bukan aku yang mengomel dia bakal satu bulan nggak dipegangnya. Lagi-lagi, dia mengadu dan aku yang harus membereskannya. Jika kelar urusan dengan Jani, tinggalah urusan dengan Yuni yang rumahnya hanya lima langkah dari rumah ibu mertua. Mertuaku sengaja membangunkan rumah itu agar anak-anaknya tidak jauh tinggal-tinggal dari desanya. Niat hati biar dekat, yang ada tiap hari selalu saja bikin tensi kepala ini dan pastinya, aku.

"Na, belikan pembalut di warung. Jani sakit perut, datang bulan dia. Kasian," titah ibu mertua.

Aku meletakkan pisau dan menadahkan tangan, meminta uang.

"Apa?" tanya ibu bingung.

"Uang lah. Masa udah minta tolong beliin, minta tolong juga bayarin. Enak di Jani, nggak enak di Nina."

"Astaghfirullah. Kenapa sampai Ahmad punya bini begini modelannya," gerutu Ibu seraya merogoh sakunya yang sudah sobek sana sini.

"Nih. Beli yang ada sayapnya kata Jani."

"Ada cekernya sekalian nggak?" tanyaku sedikit kesal.

"Sisanya, beliin Kira*ti!"

Aku melihat uang lembaran merah. Ya, merah bukan nominal besar seperti yang kalian bayangkan ya. Merah sepuluh ribu, gambar pahlawan nasional. Ampun dah! Harga jamu itu aja 7000, sisa tiga ribu. Dapat pembalut empat biji yang rencengan. Aku yakin, Ibu kagak tahu harga barang yang hendak dibeli itu.

"Hadeh, belanja terus. Kurang banyak belanja di pasarnya?" sindir Mbak Mita  dari depan rumahnya.

Aku melengos saja, tanpa menengok ke arahnya. Anggap saja dia makhluk tak kasat mata. Udah cantik kagak, cerewet iya.

Aku gegas kembali setelah mengantongi  belanjaan permintaan ibu, lebih tepatnya pesanan adik iparku. Sepanjang perjalanan aku anteng, nggak tengok kanan apalagi kiri. Takutnya, ketemu demit satu yang suka bikin darting kepala dan kaki.

"Mbak!" teriak Jani.

"Apa," jawabku santai.

"Cepat! Ini sudah banjir," omelnya.

"Bodo amat! Makanya siapin stok kalau udah mepet tanggal, jadi nggak ngerepotin orang terus," ucapku meletakkan kresek di atas meja.

"Ambilin sini, Mbak. Sekalian Napa," perintahnya tanpa malu.

"Ogah! Udah bagus Mbak mau beliin, kagak tahu terimakasih."

"Emakkk!"

Jurus terakhir yang Jani pakai, selalu memanggil ibunya dan aku langsung berlalu masuk kamar dan menguncinya. Menyetel musik di ponsel dan kusambungkan lewat earphone. Aman.

Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Mas Romli terpampang di layar. Gegas aku mengangkatnya karena Romli adalah teman Mas Ahmad yang biasanya sering mengabarkan segala hal terkait pekerjaan. Maklum, suamiku tidak memiliki ponsel sejak kami menikah. Bukan tak ingin, tapi Mas Ahmad bilang tidak ada gunanya menyimpan banyak ponsel. Menambah jumlah biaya pengeluaran.

"Mbak, Mas Ahmad kecelakaan di tempat kerja. Sekarang di rumah sakit Medika."

Tanganku lemas seketika. Suamiku ….

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
untung cuma dalam novel kalau dunia nyata ipar dan mertua udah tak bikin buntung
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    end

    Aku baru tahu ternyata papa sengaja mengundang keluarga besar. Papa merencanakan untuk menghadiahkan kami tiket liburan bersama dengan keluarga besar. Kali ini liburan kami bukan kaleng kaleng. Selain ke tanah suci untuk umrah bersama, Papa juga memberikan liburan ke Dubai dan juga perjalanan wisata keluarga ke kota kota wisata di sekitarnya. Keluarga besar Papa diajak untuk ikut dan niatnya kami akan seminggu di luar negeri untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Semua sengaja mengosongkan waktu bahkan yang membuatku bahagia adalah Papa dan keluarga mama papa yang patungan membiayai semua perjalanan bulan madu ini."Di mana-mana Kalau bulan madu itu ya hanya berdua. Kok bisa-bisanya satu keluarga diikutkan semua?" Tanya Cinta."Emang elo aja yang pengin have fun?" Tanya Fildan. "Memangnya nggak mau ngintip pengantin baru belah duren? Kalau gue sih, hayo aja!" kekeh Fildan."Huu …." Om Yudistira melempar kulit kacang pada Fildan yang jadi sponsor rencana papa liburan bersama."Berhu

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    Kumpul keluarga

    Sejak Mama menampakkan penerimaannya terhadap keberadaanku, aku dan Mama sudah tak lagi seperti air dan minyak. Mama mulai perlahan mau mengajakku mengobrol. Dari hal yang sepele, sampai hal yang cukup pribadi seperti sekarang.“Papa mertua kamu itu, sibuknya minta ampun akhir akhir ini. Mama jadi kesepian dan sebal sama dia,” ucap Mama.“Sabar ya, Ma. Namanya juga aki aki, kalau nggak lambat kerjanya ya … lambat pekanya,” kekehku.“Iya juga ya?”“Huum, kan memang begitu. Mama harus sering doakan Papa, semoga sehat dan bisa selalu ada di sampung kita. Mama nggak mau kan papa kenapa napa?”“Kadang kalau sibuk begini suka kasihan, semua anak anaknya sibuk juga. Untung ada Ashraf yang juga bantu usaha papanya,” ucap Mama.“Bang Ashraf nguli juga?” tanyaku.“Kok nguli?”“Lah, kerja sama Papa namanya nguli lah. Kalau buka usaha sendiri, baru namanya bos,” jawabku.Mama tersenyum, meski hanya sekilas. “Itu juga setelah menikahi kamu, Ashraf mau bantuin Ppaa.”“Eh,, gitu?”“Iya, dari dulu an

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    balik

    "Mama kok bisa kepikiran nyusul ke sini?" tanyaku saat kami sudah kembali dari sawah."Pengin," jawab mama singkat.Aku tersenyum saja. Padahal saat di sawah tadi Mama begitu menikmati pemandangan bahkan bertepuk tangan Saat melihatku mencari banyak Tutut di tengah-tengah sawah yang sedang dipanen padinya. Mama bahkan menggendong Altaf yang saat aku tinggalkan untuk mencari tutut dan memanen genjer yang ada di sekitar tanaman-tanaman padi."Ma, aku harus balik ke rumah sakit. Fildan bilang, dokter yang piket malam mendadak minta libur karena istrinya meninggal.""Innalillahi, kasihan sekali. Iya, ayo! Kita pulang sekarang!" ajak Mama. "Altaf gendong, Ash," perintah mama sembari memberikan Altaf pada Bang Ashraf. Aku tersenyum, perilaku mama yang seperti ini aku anggap menggemaskan karena secara tidak sengaja memintaku untuk pulang dan ikut dengan Mama."Bang," panggilku."Altaf nggak bisa jauh dari ibunya jadi lebih baik kamu berkemas dan ikut Abang pulang. Lain kali kita main lagi

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    Mama?

    Abang abangku sudah kembali ke tempat mereka bekerja karena aja tahu libur mereka sudah habis. Kini tinggallah Aku di rumah ini bersama dengan anakku dan juga Ibu serta Abang Hadi dan istrinya.Pagi ini aku membantu ibu menyiapkan bekal menuju ke sawah. Bang Hadi sedang panen dan aku ingin melihat mereka memanen padi di sawah."Nina ikut ya, Bang," ucapku."Kamu di rumah saja sama Altaf. Di sawah itu panas dan nanti kulit kamu jadi gosong dan jelek. Bisa-bisa nanti suamimu ala pangling saat tahu kamu berubah jadi item dan dekil," balas Bang Hadi."Mana ada seharian di bawah sinar matahari langsung hitam? Lagian dari awal juga udah sama matang. Bosen banget di rumah kalau nggak ada temen ngobrol, Mbak Aminah juga ikut ke pasar sama Nisa. Nina ikut ya, Bang?" rengekku."Udah, Hadi. Biarkan saja adikmu itu. Barangkali dia pengen nyicipin air sawah," sahut Ibu.Ye, akhirnya aku diperbolehkan untuk ikut ke sawah setelah hampir satu minggu aku di rumah ibu. Aku mengajak Altaf dan menggendon

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    ibuku, pahlawanku.

    Ternyata aku yang sudah menikah ini masih diperlakukan seperti bayi oleh Abang abangku. Mereka menanyakan apakah aku bahagia menikah dengan Bang Ashraf, apa aku tercukupi kebutuhannya, apa aku diterima keluarga suamiku. Mereka layaknya ayah yang terlahir kembali dalam hidupku. Malam ini Abang Abangku mengadakan syukuran. Ibu bilang, Bang Cakra naik jabatan dan akan dipindah tugaskan ke luar kota. Ibu tak menangisi atau sedih akan hal ini. Bahkan, Ibu begitu senang dan malah mendoakan agar Bang Cakra bisa sukses dan kembali dengan kabar bahagia.“Bu, Cakra sekalian mau minta izin lamar anak orang tahun ini. Bukan apa, Cakra udah nggak muda. Takutnya ketuaan kalau nunggu sukses dulu. Boleh, Bu?” tanya Bang Cakra di sela sela kami mengemasi sisa sisa makanan di ruang tamu.“Ya Allah, tentu boleh, Nak. Ibu sedang menunggu anak anak ibu ini laku, tapi kalau mau jadi bujang lama juga gak apa apa. Ibu gak pernah melarang anak anak Ibu menikah. Siapa aja, boleh. Asal bisa menerima anak Ib

  • Kubalas Perbuatan Keluarga Suamiku    bahagia

    Aku sampai terbengong saat bangun tidur dan duduk begitu lama di sisi tempat tidur. Hingga suara pintu terbuka dan panggilan kakak ipar mengagetkanku."Aku kira kamu belum bangun, Nin. Ibu tadi berpesan kalau kamu bangun suruh langsung mandi. Tadi ibu udah masakin air anget.""Memang udah sore?""Tadi kan kamu tidur siang lama banget sekarang udah sore."Aku melirik ke arah jam dinding yang ada di sisi lemari dan ternyata memang sudah jam setengah lima. Altaf terlihat sudah tidak ada di sisiku."Altaf ke mana, Mbak?""Tadi dibawa ibu ke warung depan. Kamu tidurnya pules banget sampai nggak denger anaknya nangis."Aku tersenyum dan bangkit dari tempat tidur. Aku langsung mandi terlebih dahulu.Selesai mandi aku langsung shalat ashar dan menyusul ibu yang ternyata sudah pulang dari warung bersama dengan Altaf. Altaf juga sudah mandi dan wangi sepertinya karena sudah berganti pakaian."Anak mama udah ganteng, tadi mandi sama siapa nih?" Tanyaku sambil menciumi pipi Altaf."Tadi nangis ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status