Benar, hanya sekali kamu melakukan perbuatan zina dengan perempuan lain di dalam ikatan pernikahan ini. Itu yang kutahu, dan aku meyakini itu. Tapi kamu lupa, bukankah sebesar apa pun kesalahanmu, kukatakan akan memaafkan kecuali persingkuhan? Kau tahu itu sesaat setelah kau ucapkan ijab qobul. Baru lima tahun, apa kau lupa?
"Dek!"
Aku mengangkat kedua tanganku di depan wajah, mengisyaratakan tak mau lagi mendengar alasan apa pun dari sosok di depanku yang telah menalak beberapa saat yang lalu.
"Aku menerima masa lalu, tapi maaf, aku tak bisa menerima pengkhianatan setelah ada ikatan halal di antara kita."
"Jangan munafik, Dek! Kamu masih mencintaiku."
Shit
"Omong kosong macam apa, huh?"
"Aku hanya melakukan sekali, tapi kamu begitu murka. Apa kamu pikir, kamu Tuhan hingga bisa menghakimiku seperti ini?"
"Dia hamil darah dagingku, Cha!"
"Darah daging yang belum Tuhan beri dalam ikatan halal kita, tapi kau dapatkan dari perbuatan hina!" tegasku.
"Sekali lagi, aku hanya melakukannya dengan perempuan itu."
"Kau lakukan hanya dengan wanita suci itu, tapi berkali-kali. Apa bedanya kamu dengan laki-laki pemuja selangkangan di luar sana?"
"Tutup mulutmu, Cha!"
Bahkan, dia mencoba memperjelas kesalahannya dengan membentakku sekali lagi, dua kali, tiga kali? Entah, karena aku pun sudah lupa. Mencoba mencari pembenaran dengan mengatakan hanya sekali melakukan perbuatan bejat itu dengan perempuan yang kini tengah mengandung darah dagingnya, dalam ikatan biologis.
"Icha!"
"Kamu sudah tidak berhak untuk membentakku!"
Aku segera berlalu dari laki-laki yang beberapa menit lalu membuat hubunganku dengannya tak lagi halal.
Dia beranjak mengejar dan berhasil menarik ujung jilbabku.
"Berhenti atau...."
"Atau apa?"
"Aku akan mengusirmu dari rumah ini."
"Tak perlu mengotori mulutmu untuk membuat aku enyah dari hadapanmu!"
"Wanita tak tahu diri!"
Aku berbalik menghadap wajahnya.
"Iya, kamu benar! Aku wanita tak tahu diri yang mau saja kauhalalkan hanya demi mengakhiri petualangan liarmu dengan wanita kotor di luar sana. Aku wanita tak tahu diri yang rela mengubur impian membangun mahligai rumah tangga bersama imamku. Kau sosok yang membuat aku menjadi wanita tak tahu diri."
Aku hampir tak punya air mata selama menjadi makmumnya. Aku sudah membuang air mataku dan mengalirkannya entah ke mana bermuara. Yang jelas, air mata itu tak lagi ada.
"Aku akan menceraikanmu segera."
"Berhenti memperjelas semua karena memang tak ada hubungan lagi di antara kita."
"Selama masa iddah, aku masih berhak atasmu dan kupastikan kamu akan menyesal!"
"Sudah ngancamnya, laki-laki bermulut perempuan?"
"Wanita j*l*ng!"
"Apa? Katakan sekali lagi!"
"Wanita murahan!"
"Kamu yang menjadikanku aku murahan. Kau yang membuatku menjadi wanita murahanmu berbalut akad nikah. Bahkan mulutmu lebih kotor dari perbuatanmu."
"Ludah baru kaubuang, seenaknya saja kau jilat kembali. Kau sudah mengusirku, untuk apa kau menahan dengan dalih masa iddah?"
"Aku sudah jijik melihatmu, JIJIK SEKALI!"
"Pergi sekarang juga dari rumahku!" teriaknya.
Aku berlalu dari hadapannya menuju pojok ruang tamu, di mana aku meletakkan koper yang berisi pakaian. Aku sudah menyiapkan sejak dua hari yang lalu, saat aku mendapatinya tengah bergumul dengan perempuan jalang itu. Lihatlah! Untuk menyebutkan namanya saja aku lidahku sudah kelu.
Kuseret koper itu menuju ke luar rumah, di mana sebuah mobil sport mewah telah menunggu. Sementara dia yang kemarin masih berstatus suamiku, berlalu menuju kamarnya.
Senyum miris terukir di bibir sesosok yang baru saja keluar dari mobil berwarna silver itu.
"Kita ke mana?" tanyanya setelah kami duduk berdampingan di jok depan."
"Antar aku ke rumah Ibuku!"
Sosok di sebelahku nampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk pasrah.
"Baiklah."
Mobil pun melaju membelah senja menuju kediaman wanita yang telah memberikan status anak padaku.
***
Tujuh bulan setelah kepergianku, tak ada kabar apa pun dari mantan suamiku. Ya, mantan, karena selembar akta cerai telah berada di tangan, seminggu yang lalu.
[Kumohon, Cha, tanda tangani pernyataan kau bersedia dimadu]
Pesannya masuk bahkan setelah aku menjadi mantan istrinya. Kupastikan lagi tanggal dan jam pesan itu masuk. Baru saja.
[Memangnya aku masih peduli?]
[Tolonglah, Nora sebentar lagi akan melahirkan. Anakku butuh nama kedua orang tuanya di dalam akta lahirnya]
[Sekali lagi, APA PEDULIKU?]
Lihatlah sekali lagi, dia menghawatirkan anak hasil perzinahannya tanpa nama ayah ibunya dalam akta lahir. Dan kamu tidak tahu, bahkan selamanya kamu tidak akan aku beri tahu bahwa hari ini, detik ini, aku sedang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan anakku, bukan anakmu, KARENA AKU MEMBENCIMU!
Kumatikan gawaiku dan kubuang simcard itu. Aku dan kamu sudah SELESAI.
Lara Hati Icha
#1#repost#kubawa_benihmu_saat_kau_menalakku
***
Benar, hanya sekali kamu melakukan perbuatan zina dengan perempuan lain di dalam ikatan pernikahan ini. Itu yang kutahu, dan aku meyakini itu. Tapi kamu lupa, bukankah sebesar apa pun kesalahanmu, kukatakan akan memaafkan kecuali persingkuhan? Kau tahu itu sesaat setelah kau ucapkan ijab qobul. Baru lima tahun, apa kau lupa?
"Dek!"
Aku mengangkat kedua tanganku di depan wajah, mengisyaratakan tak mau lagi mendengar alasan apa pun dari sosok di depanku yang telah menalak beberapa saat yang lalu.
"Aku menerima masa lalu, tapi maaf, aku tak bisa menerima pengkhianatan setelah ada ikatan halal di antara kita."
"Jangan munafik, Dek! Kamu masih mencintaiku."
Shit
"Omong kosong macam apa, huh?"
"Aku hanya melakukan sekali, tapi kamu begitu murka. Apa kamu pikir, kamu Tuhan hingga bisa menghakimiku seperti ini?"
"Dia hamil darah dagingku, Cha!"
"Darah daging yang belum Tuhan beri dalam ikatan halal kita, tapi kau dapatkan dari perbuatan hina!" tegasku.
"Sekali lagi, aku hanya melakukannya dengan perempuan itu."
"Kau lakukan hanya dengan wanita suci itu, tapi berkali-kali. Apa bedanya kamu dengan laki-laki pemuja selangkangan di luar sana?"
"Tutup mulutmu, Cha!"
Bahkan, dia mencoba memperjelas kesalahannya dengan membentakku sekali lagi, dua kali, tiga kali? Entah, karena aku pun sudah lupa. Mencoba mencari pembenaran dengan mengatakan hanya sekali melakukan perbuatan bejat itu dengan perempuan yang kini tengah mengandung darah dagingnya, dalam ikatan biologis.
"Icha!"
"Kamu sudah tidak berhak untuk membentakku!"
Aku segera berlalu dari laki-laki yang beberapa menit lalu membuat hubunganku dengannya tak lagi halal.
Dia beranjak mengejar dan berhasil menarik ujung jilbabku.
"Berhenti atau...."
"Atau apa?"
"Aku akan mengusirmu dari rumah ini."
"Tak perlu mengotori mulutmu untuk membuat aku enyah dari hadapanmu!"
"Wanita tak tahu diri!"
Aku berbalik menghadap wajahnya.
"Iya, kamu benar! Aku wanita tak tahu diri yang mau saja kauhalalkan hanya demi mengakhiri petualangan liarmu dengan wanita kotor di luar sana. Aku wanita tak tahu diri yang rela mengubur impian membangun mahligai rumah tangga bersama imamku. Kau sosok yang membuat aku menjadi wanita tak tahu diri."
Aku hampir tak punya air mata selama menjadi makmumnya. Aku sudah membuang air mataku dan mengalirkannya entah ke mana bermuara. Yang jelas, air mata itu tak lagi ada.
"Aku akan menceraikanmu segera."
"Berhenti memperjelas semua karena memang tak ada hubungan lagi di antara kita."
"Selama masa iddah, aku masih berhak atasmu dan kupastikan kamu akan menyesal!"
"Sudah ngancamnya, laki-laki bermulut perempuan?"
"Wanita j*l*ng!"
"Apa? Katakan sekali lagi!"
"Wanita murahan!"
"Kamu yang menjadikanku aku murahan. Kau yang membuatku menjadi wanita murahanmu berbalut akad nikah. Bahkan mulutmu lebih kotor dari perbuatanmu."
"Ludah baru kaubuang, seenaknya saja kau jilat kembali. Kau sudah mengusirku, untuk apa kau menahan dengan dalih masa iddah?"
"Aku sudah jijik melihatmu, JIJIK SEKALI!"
"Pergi sekarang juga dari rumahku!" teriaknya.
Aku berlalu dari hadapannya menuju pojok ruang tamu, di mana aku meletakkan koper yang berisi pakaian. Aku sudah menyiapkan sejak dua hari yang lalu, saat aku mendapatinya tengah bergumul dengan perempuan jalang itu. Lihatlah! Untuk menyebutkan namanya saja aku lidahku sudah kelu.
Kuseret koper itu menuju ke luar rumah, di mana sebuah mobil sport mewah telah menunggu. Sementara dia yang kemarin masih berstatus suamiku, berlalu menuju kamarnya.
Senyum miris terukir di bibir sesosok yang baru saja keluar dari mobil berwarna silver itu.
"Kita ke mana?" tanyanya setelah kami duduk berdampingan di jok depan."
"Antar aku ke rumah Ibuku!"
Sosok di sebelahku nampak berpikir sebelum akhirnya mengangguk pasrah.
"Baiklah."
Mobil pun melaju membelah senja menuju kediaman wanita yang telah memberikan status anak padaku.
***
Tujuh bulan setelah kepergianku, tak ada kabar apa pun dari mantan suamiku. Ya, mantan, karena selembar akta cerai telah berada di tangan, seminggu yang lalu.
[Kumohon, Cha, tanda tangani pernyataan kau bersedia dimadu]
Pesannya masuk bahkan setelah aku menjadi mantan istrinya. Kupastikan lagi tanggal dan jam pesan itu masuk. Baru saja.
[Memangnya aku masih peduli?]
[Tolonglah, Nora sebentar lagi akan melahirkan. Anakku butuh nama kedua orang tuanya di dalam akta lahirnya]
[Sekali lagi, APA PEDULIKU?]
Lihatlah sekali lagi, dia menghawatirkan anak hasil perzinahannya tanpa nama ayah ibunya dalam akta lahir. Dan kamu tidak tahu, bahkan selamanya kamu tidak akan aku beri tahu bahwa hari ini, detik ini, aku sedang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan anakku, bukan anakmu, KARENA AKU MEMBENCIMU!
Kumatikan gawaiku dan kubuang simcard itu. Aku dan kamu sudah SELESAI.
Diraihnya Rosa dalam gendongan Hendar. Ia peluk bocak cantik yang gurat wajahnya sangat mirip dengan Dewi itu erat, seakan ia tak akan bertemu lagi dengan buah hati tercintanya itu."Papa ...." ucap Rosa."Papa sayang Rosa."Diciuminya wajah Rosa bertubi-tubi."Ocha cayang Papa uga.""Jangan nakal, baik-baik sama Ayah Hendar sama Ibu Erna, ya?"Rosa mengangguk sambil mengerjab-ngerjab lucu.Masih teringat perbincangan itu dua belas tahun yang lalu antara dirinya dan papa kandung Rosa, majikannya.Sejak saat itu, Aditya tak memperbolehkan lagi Hendar dan istrinya bekerja di rumahnya, tapi sebagai gantinya ia tetap memberi gaji kepada mereka karena mengasuh Rosa.Hendar terhenyak dari lamunan saat Icha memegang lengannya."Kak Rosa nggak apa-apa. Bantu Ibu siapkan makan, gih! Biar Ayah yang bujuk Kak Rosa."Icha pun berlalu menuju dapur dan mendapati Bu Erna sedang memotong sayur. Tok! Tok! Tok!"Buka pintunya, Nak! Ini Ayah," panggil Hendar."Ayah jahat! Rosa benci Ayah!" seru Rosa da
"Apa ada hal penting yang sehingga Pak Aditya mengutus Anda ke mari?""Itu tujuan saya ke mari, Pak.""Maksud Bapak?""Saya diminta Pak Adit untuk mengambil Non Rosa ....""Kenapa bukan Pak Adit dan Bu Dewi yang datang ke mari?""Pak Adit ....""Pak Adit kenapa?" tanya Hendar."Keluarga Pak Adit sedang ada masalah cukup berat, Pak.""Maksudnya?""Depresi Nyonya Dewi hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik, dan Non Yoshi juga sakit ....""Innalillaahi ....""Non Yoshi sakit apa?""Saya tidak tahu persis, Pak. Pak Adit tidak mengatakan detailnya. Beliau hanya mengatakan akan mengusahakan pengobatan untuk Nyonya Dewi dan putrinya jauh dari sini, dan Pak Adit ingin Non Rosa ikut serta""Beri kami waktu untuk bicara dengan Rosa.""Tapi berapa lama, Pak? Pak Adit meminta secepatnya untuk membawa Non Rosa.""Secepatnya akan kami kabari."Tanpa Hendar sadari, Rosa mendengar pembicaraan ayah dan tamunya di balik pintu ruang tengah. Tiba-tiba raut wajahnya berubah."Kak ...!
Sikap aneh yang ditunjukkan oleh Dewi, menurut dokter yang menanganinya, merupakan gejala yang umum ditunjukkan oleh seorang ibu pascamelahirkan. Jika kehamilan ibaratnya roller coaster yang mengaduk-aduk emosi, pasca melahirkan mungkin lebih tepat seperti tornado yang mengacaukan emosi. Perubahan suasana hati, kekesalan yang tiba-tiba menyerang, tangisan yang seringkali tak beralasan, adalah hal-hal yang mungkin sorang ibu rasakan tanpa bisa dikendalikan. Melahirkan menyebabkan tubuh seorang ibu melalui beberapa penyesuaian hormon yang terkadang sangat 'liar'. Di sisi lain, saat harus berjuang berdamai dengan perubahan hormon tersebut, ada si Kecil yang masih sangat membutuhkan perhatian sang ibu. Hal ini menimbulkan pergolakan yang menyebabkan perasaan sedih, stres, dan gelisah atau yang disebut dengan postpartum depression (PPD).Postpartum Depression atau PPD, adalah suatu bentuk depresi klinis yang dimulai setelah kelahiran bayi. Gejala umumnya meliputi : kehilangan selera mak
Siapakah Rosa, sehingga ia begitu berarti untuk Josh dan hidupnya?Flashback onDua gadis kecil berlari-lari di hamparan pasir di sepanjang pantai saat senja hari. Keduanya tertawa lepas mengiringi tenggelamnya sang surya menuju peraduan di ufuk barat.Sementara di bangku panjang terbuat dari bambu yang berjajar di antara deretan pohon cemara, tampak seorang laki-laki memperhatikan kedua gadis itu seraya menyunggingkan senyumnya. Menyesap kopi hitam yang dipesan di warung tak jauh dari tempatnya duduk, ia sandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya tak lepas mengawasi keduanya.Terengah-engah kedua gadis yang beranjak remaja itu menghampiri laki-laki berusia 38 tahun itu."Icha capek, Ayah," keluh anak gadis yang lebih kecil. Diraihnya gelas berisi es teh di depan laki-laki yang dipanggilnya ayah."Kak Rosa juga capek," timpal gadis yang lebih besar.Keduanya menghenyakkan tubuh di samping kanan kiri ayah mereka. Mereka menyandarkan kepala di kedua bahu ayahnya."Sudah cukup main
"Sampai kapan aku harus menunggu, Lan?" gerutu Nora kesal."Nunggu apa?""Perutku sudah membesar, tapi kau tak kunjung menikahiku secara sah." Nora mulai kesal dengan sikap Herlan."Aku juga bingung, Nora! Keberadaan Icha saja aku tak tahu." Herlan tak kalah kesal karena Nora terus mendesaknya."Tanya Josh! Dia pasti tahu keberadaan perempuan memyebalkan itu.""Mau cari mati tanya Josh, hah?" geram Herlan. Matanya tajam menyorot istri keduanya itu."Turunkan gengsimu. Apa salahnya ngomong baik-baik sama dia? Bila perlu kau mengiba di kakinya.""Sinting kamu! Bila dia tahu aku mencari Icha hanya untuk menceraikannya, apa kamu bisa menjamin aku akan hidup, hah?""Lalu bagaimana nasibku, Lan?""Seandainya sampai anak ini lahir kau belum menikahiku secara resmi, gimana Lan?" Sambung Nora."Pusing aku, Nora. Bisa nggak mulutmu itu diam sebentar?"'Kemungkinan terburuk, kamu hanya akan menjadi istri kedua jika Icha mau menandatangani surat pernyataan bersedia dimadu. Itu pun harus melalui s
Josh melenggang meninggalkan rumah orang tua Herlan menuju mobilnya. Saat hendak membuka pintu mobil, gawai di saku celananya bergetar.Panggilan dari Ina. Saat hendak mengangkat, panggilan terputus.[Kakak, Kak Icha pingsan]Pesan dari Ina.Tanpa membuang waktu, Josh segera memasuki mobilnya dan segera melaju dengan kecepatan tinggi. Dia berbalik arah menuju kediaman ibu Icha.Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Josh sampai. Ia turun dari mobil dan segera berlari menuju ke dalam. Dilihatnya Icha terbaring di sofa dengan wajah pucat. Di sampingnya, Bu Erna dan Ina berusaha menyadarkan Icha dengan mengoles minyak kayu putih di ujung hidung Icha."Icha kenapa?" tanya Josh panik."Tadi Kak Icha ke kamar mandi, terus muntah-muntah. Pas aku susul, dia sudah pingsan di depan kamar mandi," terang Ina."Kakak akan telpon dokter."Ina hanya mangangguk.Josh merogoh ponsel di saku kemejanya kemudian mencari kontak seseorang. Dokter Fahmi, dokter keluarga Josh.Berulang kali Josh memencet tand