Kuparkirkan mobil begitu saja kemudian berlari mendatangi kedai. Dengan napas ngos-ngosan, aku berteriak-memanggil Luna, istriku."Lun ...!" Mataku menerawang ke depan dan sekitar. "Sial, tak ada orang di sini! Dia di mana, ya?" ucapku kesal. Ketelusuri semua isi ruangan, tapi tak ada.Kalau seperti ini, aku makin bingung harus ke mana mencari Luna. Kepalaku mulai nyut-nyutan memikirkan keberadaan Luna. Semoga, dia baik-baik saja, gumamku.Setelah sampai, aku turun dari mobil kemudian berjalan gontai masuk ke rumah. Hati ini belum tenang karena belum mendengar kabarnya. Gawai berbunyi. Segera kuraih dan melihatnya.Huf, aku mengira Luna yang menelpon!"Iya, Halo. W*'alaikum salam. Bagaimana, Iwan?""#$@#€=@.""Apa! Bagaimana mungkin? Cepat lakukan tindakan secepatnya. Aku akan segera ke sana." Kututup telepon segera dan menuju mobil. Belum selesai perkara keberadaan Luna, kali ini harus mengurus masalah yang cukup besar di kantor. Gedung pengoperasian dan produksi barang sebagian ter
POV LUNA Kulihat Arga menatapku nanar penuh harap. Aku masih bergeming, mematung dari tempatku berdiri. Posisiku benar-benar dilematis, ikut dengannya yang sudah melangkah ke luar atau menetap di dalam rumah ini bersama ibu dan yang lainnya. Arga, jangan kau buat aku harus memilih seperti ini. Aku tak kuat hidup sendiri di sini dengan bayang-bayang mereka, gumamku sambil berusaha menahan air yang hendak keluar dari ekor mataku. Sungguh sakit! Otakku seakan ingin pecah dihadapkan dua pilihan seperti ini. Aku bingung harus memutuskan pilihan yang mana. Lututku makin lemas menopang tubuhku, mungkin sebentar lagi akan rubuh. Pilihan yang sangat sulit sekali kuputuskan. Memilih ibu - keluarganyalah yang merawat dan membesarkanku dari kecil. Hingga aku bisa menikmati kuliah berkat kebaikan keluarga mereka. Dan akhirnya, di kampuslah aku bertemu Arga, lelaki yang memiliki sejuta pesona, tetapi memilihku menjadi pendampingnya. Membiarkan Arga pergi sendiri, tak mungkin, aku tak mungkin bi
"Silakan diisi berapa biaya yang anda keluarkan untuk membiayainya selama ini. Dan ingat, jangan pernah mengganggu kehidupan Luna lagi."Setelah kuserahkan sebuah cek padanya, kini ia mulai berulah lagi. Sepertinya, yang tadi belum cukup baginya."Apa kau pikir setelah ini semuanya berakhir begitu saja?" ujar ibu.Aku mulai mengendus ketidakberesan. Gelagatnya mulai mencurigakan. Sepertinya, wanita tua di depanku ini akan memerasku karena telah melihat sebuah cek yang sudah kuberikan. Dasar! Dia pikir aku orang yang mudah ditipu daya. Apalagi yang ia inginkan wanita tua ini. Rasanya ingin sekali kumenghardiknya kalau dia bukan seseorang yang dituakan di rumah ini. Aku dan Luna menanti ucapan berikutnya. "Apa lagi yang anda inginkan dari kami?" tanyaku penasaran."Pertanyaan yang bagus! Kembalikan nama baik anak saya setelah kau mempermalukan di depan umum. Kau tahu berapa kerugian yang ditimbulkan karena ulahmu?""Maaf, itu bukan urusan saya. Jangan mengajak saya bernegosiasi dengan
Kami segera meluncur menuju lokasi kebakaran tersebut. Hatiku benar-benar gundah dan tidak bisa fokus mengingat foto tadi. Apa yang sebenarnya Luna sembunyikan dariku. Arghhh, aku menggenggam kedua kepalaku dengan kuat. Ada apa ini. Kenapa aku tidak mencurigai dari awal gelagat Luna saat bertemu Fisal. Aku bisa merasakannya dulu, tapi aku pikir hal wajar bagi wanita. Sial! Kenapa aku kurang peka. Kusandarkan kepala di jok mobil, mencoba menerawang masa-masa dulu bersama Luna. Tak terasa senyum mengembang dari bibirku. Namun, kini hatiku sangat hancur setelah tahu kenyataan tadi. Aku bertekad akan menanyakannya kembali setelah kunjunganku selesai. Di sebelahku Iwan yang sedang mengendarai mobil. Aku menyuruhnya pergi bersamaku. Sedangkan, mobil miliknya ditinggal di rumah tadi. Ada suruhannya yang akan menjemput.Perjalanan menuju perusahaan cabang yang terletak di kota Bandung cukup jauh, waktu yang ditempuh sekitar dua setengah jam. Belum lagi kalau jalanan macet - apalagi pagi
"Oh, Ka Arga, Bisa tolong ...." Eka melihatku bersama Luna melewati mereka."Maaf, tidak, bisa," jawabku memotong ucapannya. Aku tahu Eka akan memintaku untuk melunasinya. "Sebaiknya, kalian jual kembali tas-tas dan perhiasan yang telah kalian beli itu. Tuh, kalung, cincin, dan gelang di tangan ibu, Rita dan juga kamu, kalau dijual bisa melunasi semua utang kalian," sindirku kemudian melangkah, diikuti Luna."Tunggu, Arga!" seru ibu.Kuhentikan langkahku dan berbalik ke arahnya. "Ada apa lagi, Bu?"Ibu menoleh ke Luna, "Luna, kau juga akan pergi dari sini?""Iya, Ma. Saya harus mengikuti suamiku.""Kau yakin? Bagaimana dengan fotomu, apa kau tidak ...." "Aku sudah jelaskan ke Ka Arga. Akan kami selesaikan sendiri masalah itu nantinya."Senyumku tersimpul dengan jawaban Luna. Setidaknya, aku suka keberaniannya kali ini menjawab pertanyaan ibu dengan tegas."Kamu serius? Apa kau tidak khawatir foto itu akan menyebar?" Ibu mulai memainkan kartunya lagi tapi sayang, aku tak sebodoh yang
"Lun, kita ke rumah ibu dulu ya!""Mau ngapain?""Ada beberapa dokumen penting saya yang kutinggalkan di sana. Takutnya, mereka membuangnya!"**"Ini barang-barang siapa?" tanya Luna.Aku dan Luna keheranan melihat banyak barang yang sudah berhamburan di depan rumah setelah kami tiba. Mataku mencoba menerawang ke dalam. Semua terlihat sangat berantakan. Ada apa ini?"Eka ... Rita! Ini tas dan barang-barang kenapa di luar?"Eka dan Rita belum menjawab dan tidak menoleh sedikitpun ke arah kami. Mereka masih tergugu dengan wajah memilukan. Kami menatap mereka bergantian.Aku dan Luna langsung melangkah ke dalam rumah, ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Pak. Ini ada apa, ya?" tanyaku pada seorang lelaki dengan seragam lengkap berwarna cokelat."Maaf, Pak. Rumah ini disita sementara," jawabnya."Disita?""Ya, terlilit utang yang sangat banyak." Aku dan Luna saling berpandangan."Ma, apa sebenarnya yang terjadi?" Luna menanyai Bu Mega yang baru keluar dari kamar."Ini semua
"Sepertinya, aku pernah lihat ibu, tapi di mana?" Lama aku menatapnya hingga membuatnya salah tingkah."Kayaknya salah orang, deh! Mungkin di pesta malam itu kita pernah berpapasan," jawabnya."Mmm ... Iya juga, tapi ... Aku ingat sekarang! Kalau tidak salah, ibunya Adit kan, salah satu karyawan saya?""Kok, Mas, bisa ingat?""Kan kita satu kompleks tempat tinggalnya. Kalau tidak salah, saya sering melihat ibu diantar Adit lewat di depan rumah.""Hihi ... Iya." Ia tersenyum hingga gigi depannya terlihat.Aku berjalan menghampiri Luna yang lebih dulu meninggalkanku. Kuperhatikan dari sini bagaimana Luna mengajari adik-adiknya menata dan menyiapkan makanan. Aku tak menyangka, ia masih mengingat mereka.Kuurungkan niatku menghampiri mereka. Aku mencari tempat yang aman kemudian duduk- memerhatikan mereka dari sini - tak ingin merusak suasana."Aku tak bisa, tak biasa seperti ini." Rita mengeluh dan melepaskan kembali beberapa bahan yang ia pegang."Gak boleh gitu, Rit. Kau harus bisa. U
"Tapi, Ma. Eka gak suka diperlakukan kayak tadi. Apalagi tadi si Arga, lagaknya kayak Bos. Ka Luna juga ikut-ikutan memerintah segala. Ih, nyebelin!" gerutu Eka. "Ehmm ... Sepertinya, aku mendengar namaku disebut atau aku salah dengar?" Aku menuruni anak tangga. "Ka Ar-ga!" Mereka terperangah dengan kedatanganku. Bisa kulihat jelas wajah mereka menegang. "Ingat waktu kalian hanya sebulan. Kalau kalian tidak siap, ya sudah. Saya melepaskannya kembali rumah ini. Semua pilihan ada di tangan kalian. Saya tidak ingin memaksa, tapi kalian sendiri yang meminta," ucapku, hendak berlalu dari mereka. "Ini hanya salah paham, Ga. Ibu akan lebih tegas lagi sama mereka nanti." "Baiklah!" Aku mendengar suara mobil masuk pekarangan rumah. Kulihat sebentar, dua mobil sedang terparkir. Beberapa wanita keluar dari mobil tersebut dengan dandanan yang sungguh menyilaukan mata. Bila kutaksir usia mereka sekitar hampir lima dan empat puluhan tahun. "Samlaikum ... Sore!" "Iya, sebentar!" Bu Mega memb