Share

Kubeli Suamiku Dari Keluarganya
Kubeli Suamiku Dari Keluarganya
Penulis: Inoeng Loebis

PHK

"Dik, udah liat surat di atas meja kamar?" tanya Bang Rio padaku. Wajahnya sedikit kuyu, gurat letih tersirat jelas dicetakan pertama mertuaku itu.

"Belum, Bang. Surat darimana?" tanyaku balik, heran.

"Abang untuk sementara standby di rumah, kemungkinan enam bulan ke depan, jika perusahaan membutuhkan, abang dipanggil lagi,"

"Kalau tidak," potongku mengerti maksudnya. Kami akan kembali berada di fase memulai. Pemutusan hubungan kerja sepihak yang acap menghantui karyawan kini di depan mata. harus dihadapi tidak sekadar cerita.

"Kalau tidak, artinya kontrak kita selesai, Dik. Masukin lamaran lagi ke perusahaan lain, artinya proyek perusahaan itu tidak lagi ada yang menang tender di sini," jelasnya panjang. Diam yang cukup lama untuk kami berdua, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia menunduk. Ada sesuatu yang menggenang di dalam matanya.

Aku mendekat. Mengelus lembut punggung tangannya, lalu mengangguk, menatap lamat pahatan rupa Glenn Alinskie di hadapan, begitu teduh, netra sendunya balas menatapku.

Walaupun rupaku tidaklah secantik Chelsea Olivia, aku tahu sang Glenn sangat mencintaiku. Pasti dia bingung mau cari nafkah ke mana lagi? Kota ini digelar minyak di atas, minyak di bawah tapi sayang nasib kami tak seberuntung para ibu rumahtangga di negeri seberang

"Tidak masalah, sayang, untuk sementara anggap saja Tuhan sedang memberi liburan, agar kamu dan aku lebih banyak waktu untuk dua jagoan kita," ucapku tersenyum mengecup lembut pipinya. Genggaman kamu semakin erat. Ia berkali-kali mencium ubun-ubunku.

Netra itu berkaca-kaca. Bukan cuma kami, pandemi ini berkepanjangan, hampir lebih tiga ribu orang dalam satu waktu menerima surat pemutusan hubungan kerja.

"Terimakasih udah jagain anak kita, terimakasih udah capek capek jadi istri abang. Abang belum bisa ngasih kamu apapun, abang belum bisa bahagiakan kamu, Dik!'

air mata itu tumpah, aku teringat beberapa teman yang mendapatkan musibah sama dengan kami. Pemecatan secara sepihak dari perusahaan.

Reni teman kuliahku lari dari suaminya sebab tidak ada lagi mata pencaharian di kota ini. Ia tak sanggup bersabar, godaan lain membuatnya khilaf.

Beno terlilit hutang rentenir, kabur tengah malam meninggalkan rumah kontrakannya yang sudah menunggak tiga bulan, membawa seluruh anak-anaknya masih kecil-kecil, otomatis anak-anak Beno berhenti sekolah. Miris.

Di kelurahan sebelah seorang suami dibunuh istrinya baru pulang kerja hanya karena kolektor kreditan motor mengamuk di rumahnya, lalu sang istri malu jadi tontonan warga, motor ditarik kolektor, gaji suami tak mampu menebus.

Masa pandemi dipotong tiga puluh persen dari gaji biasa. Dini hari warga geger, sang suami terkapar tak bernyawa, istri kabur, walau akhirnya berhasil diamankan polisi. Luar biasa kejadian demi kejadian masa pandemi.

Pandemi ini benar-benar memilukan, entah kapan berakhir.

Aku berusaha untuk tetap senyum, lelaki yang sudah membersamaiku sembilan tahun lebih sedikit ini, sangat aku pahami sedang mode bingung, ke depan hidup kami entah seperti apa.

"Dik, boleh kah abang meminta izin padamu?" ucapnya begitu lembut.

Bang Rio memang sangat ahsan memperlakukanku sejak kalimat sah tersorak dari saksi hingga kini kami hampir berkepala empat kurang tiga tahun lagi.

"Boleh, Sayang. Izin ngapain? tumben pakai izin segala, yang penting bukan poligami," jawabku bersenda, tersenyum membelai jambang tipis yang mulai memanjang.

Ia tertawa kecil menanggapi candaanku.

"Apakah adik rela kita tinggal bareng keluarga abang? untuk menghemat biaya sebelum abang mendapat pekerjaan baru," tanya sekaligus alasan dari keinginan Bang Rio kembali ke kampung. Mataku menangkap resah di bola matanya.

Aku tertawa kecil. Semenit kemudian mengangguk manis. Ucapan hamdalah mengalun dari bibirnya.

"Serius, Sayang. Kamu mau?" Aku mengangguk lagi.

Apa salahnya tinggal di kampung, Alya Rohali gadis kecil kami, yang berusia lima tahun suka sekali bermain di sungai, sedangkan Rivo Richardo, Lajangku yang duduk di kelas dua sekolah dasar sangat dekat dengan kakeknya-bagian Bang Rio.

"Yakin kamu kuat tinggal sama mertua?" tanya Bang Rio tampak ragu. Tentu saja dia ragu, aku besar di kota, sedangkan dia besar di pedesaan, ke kota hanya sebagai perantau mengadu nasib. Untung nasibnya bagus.

Selama ini, aku tidak pernah melihat cacat sifat mertua, mereka sangat baik padaku. Pulang ke kampung, balik ke rumah kami selalu dibawakan oleh-oleh dari rumah mertua, berupa beras, jeruk, cabe dan hasil kebun lainnya.

Suamiku juga sangat baik terhadap keluarganya. Setiap bulan Bang Rio selalu rutin mengirim bantuan belanja pada ibu mertua yang kerap kupanggil Tante. Panggilan karena terbiasa sejak mengenal Bang Rio--sedari gadis.

Ibuku dan mertua satu kampung, satu nenek juga, masih saudara jauh. Ibu perempuan perantau, sedari kecil sudah merantau, pulang hanya ketika lebaran tiba, nah saat lebaran masa remaja aku mulai mengenal Bang Rio di kampung ibu, di sanalah kami berkenalan.

Makanya, ketika Bang Rio datang melamar, menanyakan pada keluargaku untuk mendampingi hidupnya, Ibu langsung mengiyakan, katanya biar bisa pulang kampung dan pengikat keluarga, Suatu keberuntungan mendapat menantu masih satu nenek, perekat hubungan yang hampir terberai. Begitu istilah keluarga kami di saat jalinan akad terjalin.

Aku memang sudah kenal sedari remaja dengan Tante Sari, mamanya Bang Rio. Suamiku itu anak pertama dari empat bersaudara, Dini, Mili dan Jini. Ia menjadi anak paling ganteng di keluarganya, anak satu-satunya lelaki. Untuk itu ia merasa bertanggungjawab atas ibu dan ayahnya. Aku bangga untuk itu. Tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melarang Bang Rio menafkahi keluarganya.

Dini masih sekolah, sebentar lagi kuliah. Jini duduk di kelas dua SMA. Sedangkan Mili tahun ini masuk SMA, ketiganya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sejak sembilan tahun silam Bang Rio selalu membantu menopang ekonomi keluarganya. Membayar semua kebutuhan adik-adiknya. Aku tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso tidak mencukupi biaya keluarganya, sosok mertua yang cukup baik dalam pandangan mataku.

Hingga sembilan tahun menikah kami belum punya rumah, belum punya tanah meski sejengkal, masih tinggal di kontrakan, menghitung bulan demi bulan, aku berusaha untuk tidak berutang, karena akan bingung membayarnya darimana.

Menajemen keuangan benar-benar wajib di hendle dengan apik. Kalau tidak ingin kebobolan seperti Beno.

Ide menumpang sementara kuaminkan. Bukan kah selama ini kami banyak membantu, aku yakin Tante Sari, mertuaku akan menerima kami lapang hati.

Ada sedikit penyesalan di hati. Mengapa dulu tidak kulanjutkan saja kuliahku, saat begini bisa bantu suami. Nasi sudah menjadi bubur. Aku berhenti kuliah saat mengandung Alya, kuliah sebelumnya setahun satu semester, karena Rivo sedang lasak-lasaknya.

Sebenarnya sudah sangat menanggung. Aku bahkan sudah menyelesaikan PPL dan Kukerta. Membawa Rivo bersusah payah. Berjuang bersama, namun akhirnya tepar, bedrest saat Alya nongol di rahim.

Mengalah, cinta itu butuh pengorbanan. Aku mengorbankan pendidikan demi keluarga.

"Kemasi barang-barang kita, Dik. In sya Allah besok berangkat. Tanggal enam sudah masuk bulan baru kontrakan kita, biar jangan lewat tanggal,"

"Tapi, kan belum jelas dari perusahaan, Bang. Masih mengambang. Mana tahu nanti abang dipanggil bagaimana? Bukan Rumi gak mau ke kampung, Lo. Abang jangan suuzon ya, Sayang," usapku pada telapak tangannya.

"Kamu benar, surat itu isinya mengambang, tapi, isu dari HRD menyatakan pasti tidak akan dipanggil, karena perusahaan tempat abang kerja itu kalah tender. Jadi, sangat tipis kemungkinan akan dipanggil lagi, sementara perusahaan lain tidak ada yang membuka lowongan di masa pandemi ini, yang ada pengurangan besar-besaran,"

"Baiklah, Sayang. Semoga yang terbaik untuk kita," ucapku mengangguk, berusaha sekuat tenaga memberi support padanya. Aku tahu Bang Rio tengah Down.

Lamat, kutatap dua bocah yang tengah berbaring lelap di sisi kanan.

"Selamat ya, Nak. Kita akan beradaptasi dengan kampung, semoga betah, tak ada mol di sana, juga tidak mandi bola, apalagi panjat rumah pohon," ucapku berbicara sendiri.

Bang Rio tersenyum melihat tingkahku. Ia mendekat. Menarikku dalam pelukannya, hangat. Setetes bening jatuh mengenai punggung tanganku. Suamiku tercinta menangis. Tidak. Dia tidak boleh down. Kami harus kuat.

"In sya Allah semua akan kita lewati, abang akan bicara sama Papa, ada bagian kebun warisan kakek yang punya papa biar bisa dijual buat buka usaha bengkel lagi. Semoga kita gak lama di kampung." Aku tahu hatinya begitu berat menumpang di rumah orangtuanya sendiri.

Bang Rio sedari remaja sudah terbiasa merantau dan sekolah dengan biaya sendiri tanpa bantuan keluarga,

Sebenarnya kami punya usaha bengkel motor, beberapa bulan lalu, karyawan yang masih satu kampung dengan Bang Rio, terbilang masih saudara, melarikan uang dalam laci yang jumlahnya lumayan untuk beli spare part dan alat-alat motor lainnya.

Tidak dicari. Jelaslah! Biasa, kasus saudara, ya di peti es kan oleh korban sendiri.

Begitulah.

Akhirnya aku menyewakan kembali bengkel itu pada orang lain. Beserta barang-barang di dalamnya kujual abis.

Sisa sewa kusimpan untuk wanti-wanti darurat. Namanya Rino, lajang tanggung alias remaja beranjak dewasa, baru lulus SMK, padahal sangat diberi kepercayaan. Ya sudahlah!

Bukankah tugas istri, mematuhi perintah suami? Bersabar menyikappi keadaan namun tetap waspada.

*_IL

"Assalamualaikum, Mah," Bang Rio memberi ucapan, mengulur tangan, menyalami Tante Sari yang memang sudah menunggu kedatangan kami di ambang pintu. Aku mengikuti Bang Rio, mencium takzim punggung tangan mertuaku. Wanita yang masih tampak awet mudah di usianya yang memasuki lima puluhan itu tersenyum paksa. Apa aku yang terlalu suudzon, mengapa wajah tante Sari tampak tidak suka dengan kedatangan kami?

"Waalaikumussalam. Kamar belakang sudah disiapkan Dini sedari kamu menelpon mau di sini selama enam bulan ke depan," ucap Tante Sari tidak biasanya, ia berbicara sedikit jutek dan tanpa jeda. Matanya sama sekali tak berniat menatap Bang Rio.

Astaghfirullah, apa karena kami tidak membawa rengginang, atau kaleng Khong ghuan isi kacang tojin, mete, kacang arab, kripik pisang dan staf-staf kue kering lainnya.

Aku mengusap dada berusaha berhusnuzon.

Melirik Dini yang baru keluar dari kamar belakang sambil membawa sprei, dengan wajah ditekuk, melewati kami.

Aneh!

Biasanya, Dini dan Mili berebut menyalami abang satu-satunya itu. Jini akan menggendong Alya ke sungai sambil tertawa. Ini adik-adik Bang Rio hanya lewat tanpa menoleh. Bahkan tak menyapaku. Bang Rio melirikku dari ekor matanya. Lirikan yang aku paham agar tenang dan tidak mengambil hati penyambutan ini.

Di mana Om Santoso? Biasanya mendengar kami datang, Lelaki parlente yang masih sangat tampan di usia setengah abad lebih itu sudah stanby di ruang tamu, tidak kemana-mana, ia benar-benar menunggu kedatangan kami.

Sekarang, jangankan menunggu, batang hidung sang Mertua lelaki tidak terlihat keberadaannya. Ada apa ini?

"Kalian istirahat lah! Kalau mau makan gulai di dapur cuma ada daun singkong ditumbuk pakai teri. Beli kerupuk dua ribu di kedai untuk tambahan lauk," ucap Tante Sari menjelaskan seolah kami datang menambah beban saja, dengan langkah' seribu ia beranjak dari hadapan.

Aku kembali melongo.

Apakah karena ...

Banyak pertanyaan tiba-tiba mampir di otak. Penyambutan terhadap keluargaku kali ini, sungguh berbeda dengan penyambutan tahun-tahun lalu.

Bahkan Tante Sari sama sekali tak melirik Alya yang kugendong, atau Rivo yang baru saja berlari mencari teman.

Kami punya salah apa, Tante?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Inoeng Loebis Al-Fath Rayl
... Semangat untuk Rumi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status