Kami punya salah apa, Tante?
*_IL
Pagi hari, udara sejuk pegunungan membuat perutku lekas lapar, kutatap Rivo dan Alya yang begitu nyenyak tertidur. Untung dua buah hatiku ini tidak rewel dan sangat mudah beradaptasi.
Biasanya Alya Rohali sangat rentan terhadap udara dingin tapi kali ini ia tampak senang dan bahagia. Selama perjalanan menuju kampung halaman tak ada keluhan yang putriku lontarkan, semoga saja ketika musim hujan di sini tidak menyebabkan hipotermia bagi Alya.
Kalau Rivo sedari kecil, dia memang sudah terbiasa kubawa ke sana ke sini berjalan jalan naik kendaraan lintas dan Rivo juga yang paling sering kami bawa ke kampung halaman sewaktu masih kecil, berbeda dengan Aliya. Gadis kecilku itu termasuk anak yang jarang dibawa tamasya sewaktu masih balita. Makanya aku takut dia mabuk perjalanan ditambah lagi udara kampung dengan udara di kota sangat jauh suhunya.
Melihat ekspresi wajah Alya ketika sampai di kampung dan juga Rivo, ada sedikit kelegaan di hati, sepertinya mereka baik-baik saja, Bang Rio tampak akur dengan keluarga lainnya, namun mata itu sering memindaiku diam-diam.
Entah apa? Menurutku yang tidak baik saat ini adalah hati dan firasatku. Apa karena pulang kali ini tangan kosong?
Bukankah pepatah mengatakan "melihat seseorang yang tulus kepada kita adalah saat kita sedang tidak memiliki apa-apa, dan melihat orang yang modus kepada kita saat kita sedang memiliki harta."
Tentu saja saat ini, saat yang terbaik melihat Siapa yang modus dan siapa yang tulus kepada keluarga kami.
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.35. Pertanda adzan subuh telah lewat lebih dari tiga puluh menit. Sayup kudengar suara perdebatan kecil dari arah dapur.
Bang Rio dan Tante Sari berdebat? tumben? ini langka sejak kurun aku menikah, aku belum pernah melihat maupun mendengar dua ibu dan anak itu bertengkar.
"Bukannya dua bulan lalu mama bilang sertifikat kebun itu sudah diambil dari pihak bank, mama juga bilang kalo uangnya cair buat bayar utang sama Kinanti, dan ini sudah dua tahun enam bulan, Ma! kenapa sekarang masih di bank sertifikatnya?" Meski pelan namun jelas terdengar suara Bang Rio yang biasa kalem sedkit emosi.
Apa!
Apa aku tidak salah dengar Bang Rio dan Tante Sari sedang berdebat masalah sertifikat rumah. Biasanya suamiku itu paling penurut sama mamanya. Apa ada yang terlewatkan olehku sampai aku tidak tahu? Jangan-jangan kepala suamiku itu sedang terbentur sampai-sampai dia berubah 180° yang biasanya membela sang mama mati-matian. Tante Sari loh itu! kok sekarang tanpa ada gurat kekecewaan dan sedih yang mendalam di wajah Bang Rio.
Apa? Aku mempertajam pendengaran.
Ya Aku tidak salah dengar, Bang Rio dan mamanya sedang berdebat masalah utang?
Bukannya setoran yang diberikan Bang Rio setiap bulannya mencapai hampir tiga juta. Setelah sembilan tahun lamanya, baru kali ini untuk pertama kali Suamiku protes masalah keuangan pada ibunya. Aku tahu Tante Sari memang pernah menggadaikan sertifikat kebun karet dalam jangka waktu dua tahun waktu itu alasannya untuk masuk sekolah Dini ke sekolah populer. Jadi butuh biaya mahal.
Awalnya karena khawatir keluarganya tidak bisa bayar Bang Rio menolak. Suamiku meminta ibunya menyekolahkan adik-adik ke sekolah baik walau tidak populer.
Tapi, Tante Sari justru punya cara jitu, ia meminjam uang pada Kinanti dan uang itu berbunga sepuluh persen. Karena takut malu, juga bunga yang begitu besar, akhirnya Bang Rio menyetujui pinjaman dua tahun dengan bunga rendah pada salah satu bank BUMN yang meminjamkan dana dengan margin sangat kecil. Apalagi di pedesaan, bunganya lumayan rendah. Aku manut saja apapun yang diberikan Bang Rio pada keluarganya selagi ia mencukupi nafkah kami di rumah.
Aku bahkan tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso santai saja seolah tidak pernah cepat tanggap terhadap kebutuhan anak-anaknya. Harusnya anak-anak sekolah itu masih butuh biaya dari ayahnya.
"Abang udah gak sayang mama, makanya kena bala, kena kutuk sama Tuhan, tuh gitu akibatnya, sekarang di PHK-'kan!? gitu kalau durhaka, gak mau sedekah sama orangtua, abang tau gak, seorang ibu itu keramat. Rasain sekarang pengangguran."
Ah, itu suara Dini. Ikut-ikutan pula dia? Astagfirulloh. Kasihan Bang Rio. Seenaknya bilang PHK, selama ini mereka ke mana? 9 tahun loh mereka dibelanjain, masa baru kali ini kena keramat ibunya, dasar licik! aduh ... pulang kali ini benar-benar membuat hatiku nelangsa.
Abangnya sedang terjatuh malah membahas masalah kapasitas kasih sayang pada orang tua. Aku menggeram sendiri.
"Kamu sekolah yang benar dulu, Din. Gak baik ikut-ikutan urusan orangtua," nasehat Bang Rio masih dengan tutur yang lembut, Sungguh aku yang ingin bar-bar. Napasku sampai naik turun saking menahan emosi,
"Gak inget waktu kecil di asuh mama, disekolahin, dibesarin, mikir kalau mau berdebat sama mama. jangan-jangan istri abang sengaja ya nyuci pikiran abang biar nagih utang ke mama? bukannya abang bilang diikhlasin."
"Abang bukan nagih, Dini. Abang cuma nanya, dua bulan lalu mama bilang sertifikat sudah diambil, utang sudah lunas, sekarang abang nanya ke mama, sertifikat kebun itu ada sama siapa? mama jawabnya belok sana sini. Kalau memang masih ada utang sama siapa? dan untuk apa? abang cuma minta penjelasan dari mama?"
Astagfirulloh. Aku mengusap dada. Sebagai istri aku sangat jengkel, marah, kesal karna aku yang sama sekali tidak tahu masalah, dan selama ini sudah legowo dengan semua tetek bengek keluarga suami, malah dituduh macam-macam oleh adik ipar sendiri, dadaku panas, napas ini sesaknya bukan main. Kukepal tangan kuat-kuat.
Belum tau mereka siapa, Rumi!
Untung saja perkara ekonomi tidak membuat aku dan suami setiap hari berdebat seperti kebanyakan rumahtangga.
Kuusap wajah kasar, menghirup udara menenangkan hati, mengepal tangan menahan emosi. Melangkah santai menuju dapur yang hanya berlapis satu dinding dari kamar yang kami tempati. Pintu kamar belakang langsung berhadapan dengan dapur, untuk itu suara mereka sangat terdengar jelas di telingaku. Aku keluar kamar dengan wajah ditekuk lima lipat.
"Apa Rum salah waktu?" tanya aku dengan santai. Wajah Tante Sari dan Rini merona merah seolah ketangkap basah.
"Dik," panggil Bang Rio terkejut melihatku yang berdiri di depan pintu menghadap mereka bertiga. Dini dan Tante Sari saling melempar tatapan. Mungkin dalam hati mereka sudah tahu aku mendengar semua, atau bisa jadi sengaja bersuara dengan keras agar aku ikut mendengar. Entah yang mana satu.
"Kok pada kaget? kayak habis ngeghibah massal ya?" tanyaku sarkas. Sengaja mengirim tatapan menerkam pada Dini.
Mereka semua benar-benar lupa daratan. Seenaknya Dini itu menunjuk-nunjuk muka suamiku dengan cincin satu gram mas murni hadiah dari Bang Rio. Apa dia lupa merengek minta belikan cincin itu? untung tidak trantum kayak anak usia dua tahun.
Tidak tau diri sekali mereka!
"Dik, wudu dulu sana! Subuh dulu, gak baik bangun-bangun ngomongnya ngelantur," ucap Bang Rio mendekat ke arahku merangkul bahuku menuju kamar mandi. Mengusap punggung ini dengan lembut, berakhir mengelus pucuk kepala. Dia memang sosok suami yang selalu berdiri di tengah saat ada dua hati yang saling berperang.
"Sudah jatuh miskin, masih belagu sombong," bisik Dini masih terdengar jelas saat aku melangkah menuju kamar mandi, hendak mencuci muka.
"Abang lupa Rum lagi dapat. Hari ini in sya Allah mandi wajib, jadi gak perlu wudu, hmm, bukannya biasanya abang hafal jadwalnya Rum, biasanya juga nanya melulu ndak sabaran," jawabku sengaja menggoda Bang Rio di depan mereka. Biar mereka tahu, apapun yang terjadi aku amat sangat mencintai suamiku, dan apapun yang terjadi suamiku tidak akan termakan omongan mereka.
"Lapar, Dik? Kalau gitu ayuk makan!" ajak Bang Rio menarik tanganku menuju meja makan. Ia sengaja tidak berlarut dengan drama yang ingin aku ciptakan. Wajah itu masih sama dengan sembilan tahun lalu, merona kala rayuan maut istri menggoda.
"Abang makan aja duluan, Rum ngerapikan pakaian anak-anak dulu, tadi kaget aja dengar suara ribut, untung Alya gak bangun, kasian 'kan dia masih mau beradaptasi malah gak betah nanti. Meskipun jatuh miskin Rum masih punya saudara kaya raya jika abang ngasih izin kita numpang di rumah saudara Rum saja," ulasku melirik tajam ke arah Tante Sari.
Nenek lampir yang sedang melirik tajam ke arahku itu langsung berkaca pinggang dengan mata kanan kiri,
"Mama gak tau lagi, Rio. Kalau uangnya gak ada dalam seminggu ini, kebun bakal disita sama pihak bank. Kemarin mama bilang lunas itu karena papa kamu niat ngelunasin, nyata ... hmm sudahlah, mama capek, kalau kamu masih mau melihat mama hidup, turuti yang mama bilang." Tante Sari berlalu menarik tangan Dini yang berdiri menantang ikut serta.
Apa urusannya sama utang orang lain? dia yang punya utang dia yang maksa buat kami yang bayarin. Gila benar Om Santoso. Untung gak jadi suami Tante Yuni. Aku ngakak sendiri. Nenek lampir oh nenek lampir ...
Maaf ya aku mulai hari ini tidak memanggil Mama atau Tante Sari lagi kayaknya lebih bagus sih sebutan Nenek Lampir, karena aku kesal dengan tindak tanduknya di usia yang sudah lebih dari 50 tahun bukan malah taubat malah makin menjemput ke arah yang tidak baik padahal bukan artis.
Padahal kemarin dia juga sudah menggadaikan ratusan juta rumah ini dan kami sudah menebusnya, sekarang alasan Kinanti, kalau sekali dua kali itu namanya khilaf kalau sudah sampai keseringan begini, buka khilaf lagi, Itu namanya kecanduan, enak saja Dia menyuruh suamiku untuk mengganti segala utang-utangnya, aku nggak ikhlas. Titik.
Aku tidak merespon omongan Tante Sari, biarkan saja urusan mereka dengan suamiku dulu, belakang baru Rumi bertindak.
"Sini makan sama-sama." Bang Rio membuka tudung saji. Tante Sari benar, hanya ada gulai daun singkong yang ditumbuk campur ikan teri, gulai yang sepertinya dipanasin tadi malam. Bagiku ini enak kok. Bang Rio bukan tipe lelaki pemilih dalam hal makanan.
"Dik, sepertinya enak nih kalau makan bareng kerupuk, itu di depan rumah kita, ada toko baru buka kamu bisa beli di situ. Abang pengennya kerupuk yang putih dan yang warna kuning ya,". Berceloteh ria memberikan memberi kertas warna biru untuk aku belikan langsung ke sumbernya.
Mata Tante Sari langsung melotot melihat uang 50.000 yang diberikan bang Rio, haduh ... baru aja uang segini udah melotot aja tu mata.
"Rum beli kerupuk dulu ya, Bang," ucapku sambil masuk ke dalam kamar sejenak. Memperbaiki selimut Alya dan Rivo, Membuka koper pakaian yang rencananya hendak kususun, nanti saja susun menyusunnya, kuurungkan sejenak aktivitas merapikan kamar. Sepertinya suamiku lapar, daerah pegunungan, wajar saja. Udara dingin membuat perut cepat keroncongan.
Lebih baik membeli kerupuk untuk teman makan Bang Rio. Cacing di perutku juga sudah berdisko ria, tadi malam tidak sempat makan, hanya Alya dan Rivo yang makan, aku membawa nugget dari rumah. Masak nugget lumayan juga, ah tidak. Ini buat lauk Alya dan Rivo. Aku mengurung niat menggoreng nugget.
Apalagi nanti sampai anak-anak nenek lampir itu pada tahu kalau aku masak nugget, bisa-bisa habis dalam dua menit, mending nggak usah deh besok-besok aja ketika si Alya sudah minta masakin nugetnya.
Aku keluar dari pintu dapur menuju toko yang dimaksud Bang Rio.
Dingin menusuk tulang, kurapatkan jaket. Subuh seperti ini di kampung warung-warung sudah pada buka, bahkan ada yang buka sebelum subuh tiba.
Aku melihat Mili datang ke kamar belakang, membawa cas ponselnya, memang biasa mencolok androidnya di kamar yang biasa kami tempati, terhuyung antara masih ingin tidur tapi bangkit malas-malasan. Biasanya dia paling semangat menyambut kami. Menyapa pun tidak Mili lakukan kali ini. Entah apa yang merasukinya.
Sudah kubilang, saat terjatuh seperti ini aku bisa melihat mana modus mana tulus.
Ia tampak sibuk mengutak ngatik ponsel padahal matanya merem melek, sesekali ponsel di tangannya hampir terjatuh, sedangkan dia antara sadar dengan tidak sadar, aku geleng-geleng kepala.
Ponsel yang ia pegang itu android yang aku belikan setahun lalu untuk memudahkannya mengakses pelajaran. Melihat aku yang ada di pintu dapur. Mili hendak beranjak keluar lagi. Sama sekali tidak menyapa.
"Gak papa baring di situ aja, Mil. Kakak mau ke kedai. Titip Alya bentar, ya!"
Aku bergeser menahan punggungnya yang hendak beranjak.
"Hmmm," jawab Mili tanpa mengeluarkan kalimat lain, kemudian tetap beranjak keluar kamar. Aku mendesah, mengusap pelan dadaku sendiri.
Bukan aku gak mau membawa Aliya tapi di kampung ini bisa mendadak hujan bisa mendadak cerah takutnya ketika aku bawa Alia keluar malah hujan.
Ya Allah, aku bukan manusia baik, kata ibu, aku sedikit lebih barbar di antara saudara lain. Semoga saja aku tidak mengeluarkan jurus bar-barku di sini.
Mengapa mereka semua berubah seratus delapan puluh derajat ketika saudara mereka terjatuh? Aku gegas keluar rumah, dengan berbagai pikiran berlompatan.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Mili yang dulu begitu dekat kini menjauh, Jini yang suka sekali dengan tawa Alya kini seolah sengaja menjaga jarak dengan putriku. Sedangkan Dini, yang selama ini kuanggap paling dewasa, lebih parah lidahnya, tajam seakan adab santun tak lagi ada.
"Selama orang yang aku idam-idamkan ada di sini, aku yakin semua baik-baik saja."
"Tolong deh, Kakak, gak usah keluar dulu aku tahu kok Kakak memang gak cantik tapi juga gak jelek, Ya siapa tahu kan ada pelakor nyasar. Mending di rumah aja, daripada Bang Rio disambar pelakor," aku ingat Dini pernah mengatakan kalimat itu.
Ada apa dengan keluarga ini?
Aku yang tidak tau diri karena menumpang? atau mereka yang berpura-pura lupa dengan apa yang kami berikan selama sembilan tahun.
"Dik! abang bisa liat Alya dari dapur, kamu ke warung saja." Lagi-lagi suamiku itu mengalah.
Entah terbuat dari apa hatimu, Bang? begitu baik pada saudaramu, padahal sudah jelas terlihat mereka tidak menyukai kedatangan kita.
Apa kami kembali saja ke kota?
Bagaimana caranya aku menyampaikan ini pada Bang Rio? kami harus kembali ke kota, ide yang baik. Aku bisa minjam duit pada sahabatku untuk modal jualan apa saja daripada hidup menumpang seperti kain lap. Disepelekan. Dihina. Bahkan dibanding-bandingkan dengan wanita lain.
Sangat menyakitkan. Aku tidak akan membiarkan keluarga kecil kami terhina.
Lihat saja kalian! akan aku kenalkan diriku sebagai Rena Arumi pada kalian wahai keluarga suamiku!
Kalian jual, aku beli. Tunggu saja! Rena Arumi bukan wanita sembarangan seperti yang kalian kira.
Kata-kata Dini melekat sepanjang jalan menuju warung.
"SuDAH JATUH MISKIN, MASIH BELAGU!"
Kita lihat nanti, Dini. Siapa yang kamu maksud miskin.
AKU ATAU KALIAN!!!
"Ma, Rivo ke mesjid dulu, ya. Ntar abis isya maen ke rumah Rehan lagi," pamit Lajangku membuyarkan lamunan. "Ri ... !" Teriakku. Kehilangan kata, putra satu-satunya telah menghilang di balik pintu. Semoga ini bukan ujian awal untukku. Gulai dan sekarang? Kinanti! "Kenapa,? Kok kamu teriak-teriak manggil si Rivo." Sudah seperti hantu, ibu mertua tiba-tiba nongol di depan pintu. Astaghfirullah. "Gak da, Tante. Si Rivo maen melulu, Rumi pengen dia istirahat. Baru juga sampai, malah keluyuran," jelasku sedikit malas. Air muka Tante Sari kelihatan tidak nyaman, ia menarik bibirnya ke kanan sedikit. Apa yang tengah ia pikirkan? "Heleh, kan dah dibilang si Rivo, ke rumahnya Rehan," timpalnya lagi. "Iya, tapi segan Rumi, Tante. Rivo makan di sana, malam ini kalo maen ke sana lagi, ntar makan lagi, Rumi cuma takut aja, Bang Rio lagi nganggur, jangan sampai anak-anak Rumi nyusahin orang lain," jelasku lagi. "Hadeehh, kamu ini ya Masih syukur ada yang kasih makan! Pake acara se
Setelah mereka pergi, suasana nampak semakin sepi. Bang Rio mengajak kami untuk masuk kembali kedalam rumah. Aku menuturi Bang Rio dari belakang. Hingga sampai di ruang tengah rumah itu, kami duduk bersama. Semua terasa hening. Bang Rio melipat tangannya di atas dada sambil terus diam. Sama seperti yang Aku lakukan. Mili pun tak bisa berbuat lebih selain melihat tingkah mereka yang jadi pendiam. "Kenapa jadi pada diam seperti ini? Bukanya seharusnya kita senang karena mkita menang?" Tanya Mili melirik liar ke dua belah arah. Aku menarik nafas dalam sekali lalu membuangnya hingga dadaku terasa lega. "Aku hanya kasihan melihat Kinanti dan Om Budiman di seret polisi seperti itu," ucapku lirih. Aku memang kesal dan dongkol dengan sikap dan kelakuan dari keduanya. Hingga taut wajah muram tak bisa aku sembunyikan. Tapi, rasa kemanusiaanku tiba-tiba saja muncul. Aku tak bisa bayangkan bagaimana mereka akan menderita di balik jeruji besi. Bang Rio duduk mendekat ke arahku. Dia adalah pria
4.Akhirnya aku berada di posisi ini. Dimana diriku sangat sebal melihat orang yang selalu bertingkah munafik. Merasa diri paling benar, tersenyum baik di hadapan kita namun di belakang aslinya sangat busuk.Aku mengeratkan genggaman tanganku hanya untuk menahan sebuah amarah. Benci dan muak menatap wajah wanita itu, sampai-sampai aku ingin sekali melemparkan sebuah pukulan di pelupuk matanya. Untung saja, aku tipe orang yang tak suka kekerasan.Menyelesaikan masalah ini dengan otak dingin lebih baik dibandingkan harus adanya pertumpahan darah. Bisa diingat oleh semuanya jika masalah besar kita bersangkutan dengan uang, maka jati diri seseorang bisa terlihat jelas. Hal yang sama nampak dari wajah Bang Romi. Matanya memerah setiap kali berhadapan dengan sosok Kinanti. Seperti sudah dijodohkan oleh tuhan, Kinanti bersikap acuh tak acuh percis dengan Budiman yang belum datang. "Jangan berbelit-belit lagi. Sebaiknya, kamu jujur saja. Semua ini a
Aku dan Bang Rio, sedang duduk di ruang tamu rumah. Kami merasa putus asa dalam upaya kami untuk membuktikan bahwa Om Om Budiman dan Kinanti telah melakukan tindakan yang hendak mencelakakan Bang Rio.Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dan Milli, adik iparku, tiba-tiba masuk dengan wajah yang pucat dan serius."Aku punya sesuatu untuk kalian berdua," katanya sambil menyerahkan sejumlah bukti kasus itu kepada kami.Bang Rio dan aku saling pandang, takjub dengan apa yang Milli berikan kepada kami.“Kamu dapatkan semua ini dari mana, Milli?” tanya Bang Rio. Milli menggelengkan kepalanya perlahan, “Abang dan Mbak Rum ga perlu tau, yang jelas semua bukti ini bisa membawa mereka ke terali besi,” katanya. Aku menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Akhirnya aku bisa menemukan keadilan untuk suamiku. “Di dalam sini juga ada bukti-bukti jika Om Budiman memang sudah menyabotase harta yang seharus
Bang Rio duduk di depan pengacara dengan sorot mata yang tajam. Ia merasa gerah dan marah karena sudah terlalu lama ia berdiam tentang masalah keluarganya."Pak, saya butuh bantuan Anda. Saya yakin ada masalah dalam keluarga Budiman," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah folder dari tasnya.Pengacara itu memperhatikan Bang Rio dan menerima folder yang dia tawarkan. Dia membuat catatan dan menanyakan sedikit lebih banyak tentang situasi keluarga Budiman."Saya memiliki banyak bukti yang menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, mereka telah mengambil aset dan harta keluarga saya, termasuk rumah warisan ibu saya. Semua itu dilakukan tanpa sepengetahuan saya dan bahkan tanpa itikad baik," lanjut Bang Rio sambil menatap tajam pengacara tersebut.Pengacara tersebut merasa kagum akan keseriusan Bang Rio dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia lalu bertanya tentang bukti yang dimiliki Bang Rio.Bang Rio kemudian
Mili mengumpulkan semua orang di kampung halaman Bang Rio, termasuk aku dan Bang Rio menyusul Mili ke rumah yang ada di kampung. Ia berkata ada sesuatu yang penting untuk kami ketahui."Tumben Mili buat acara ginian, malah manggil orang sekampung lagi, kira-kira apa yang mau dibahas sama Mili?" Bang Rio bergumam Aku tidak pernah memberitahu pada Bang Rio tentang kerjasama aku dan Mili, aku hanya memberitahu beberapa narasi kerjasama yang tidak urgensi.Ternyata, Mili juga merasa sakit hati dan marah ketika dia mengetahui betapa banyak kesalahan ibunya telah dilakukan terhadap Bang Rio. Awalnya ia pikir ini hanya masalah salah paham, antara menantu dan mertua."Mili kira, kakak sama mama itu hanya misskomunikasi doank, apalagi selama di rumah kampung, Kakak dan mama selalu membahas masalah uang saja, jadi aku sama Dini, ya kirain kalian hanya salah paham tentang keseharian saja, palingan tentang sambal yang mungkin tidak sesuai selera atau Mama yang memang hobi pengen punya menantu kay