Kami punya salah apa, Tante?
*_IL
Pagi hari, udara sejuk pegunungan membuat perutku lekas lapar, kutatap Rivo dan Alya yang begitu nyenyak tertidur. Untung dua buah hatiku ini tidak rewel dan sangat mudah beradaptasi.
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.35. Pertanda adzan subuh telah lewat lebih dari tiga puluh menit. Sayup kudengar suara perdebatan kecil dari arah dapur.
Bang Rio dan Tante Sari berdebat? tumben? ini langka sejak kurun aku menikah, aku belum pernah melihat maupun mendengar dua ibu dan anak itu bertengkar.
"Bukannya dua bulan lalu mama bilang sertifikat kebun itu sudah diambil dari pihak bank, mama juga bilang kalo uangnya cair buat bayar utang sama Kinanti, dan ini sudah dua tahun enam bulan, Ma! kenapa sekarang masih di bank sertifikatnya?" Meski pelan namun jelas terdengar suara Bang Rio yang biasa kalem sedkit emosi.
Apa? suamiku dan mertua sedang berdebat masalah utang?
Bukannya setoran yang diberikan Bang Rio setiap bulannya mencapai hampir tiga juta. Setelah sembilan tahun lamanya, baru kali ini untuk pertama kali Suamiku protes masalah keuangan pada ibunya. Aku tahu Tante Sari memang pernah menggadaikan sertifikat kebun karet dalam jangka waktu dua tahun waktu itu alasannya untuk masuk sekolah Dini ke sekolah populer. Jadi butuh biaya mahal.
Awalnya karna khawatir keluarganya tidak bisa bayar Bang Rio menolak. Suamiku meminta ibunya menyekolahkan adik-adik ke sekolah baik walau tidak populer.
Tapi, Tante Sari justru punya cara jitu, ia meminjam uang pada Kinanti dan uang itu berbunga sepuluh persen. Karena takut malu, juga bunga yang begitu besar, akhirnya Bang Rio menyetujui pinjaman dua tahun dengan bunga rendah pada salah satu bank BUMN yang meminjamkan dana dengan margin sangat kecil. Apalagi di pedesaan, bunganya lumayan rendah. Aku manut saja apapun yang diberikan Bang Rio pada keluarganya selagi ia mencukupi nafkah kami di rumah.
Aku bahkan tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso santai saja seolah tidak pernah cepat tanggap terhadap kebutuhan anak-anaknya.
"Abang udah gak sayang mama, makanya kena bala, kena kutuk sama Tuhan, tuh gitu akibatnya, sekarang di PHK-'kan!? gitu kalau durhaka, gak mau sedekah sama orangtua, abang tau gak, seorang ibu itu keramat. Rasain sekarang pengangguran."
Ah, itu suara Dini. Ikut-ikutan pula dia? Astagfirulloh. Kasihan Bang Rio.
Abangnya sedang terjatuh malah membahas masalah kapasitas kasih sayang pada orang tua.
"Kamu sekolah yang benar dulu, Din. Gak baik ikut-ikutan urusan orangtua," nasehat Bang Rio masih dengan tutur yang lembut, Sungguh aku yang ingin bar-bar. Napasku sampai naik turun saking menahan emosi,
"Gak inget waktu kecil di asuh mama, disekolahin, dibesarin, mikir kalau mau berdebat sama mama. jangan-jangan istri abang sengaja ya nyuci pikiran abang biar nagih utang ke mama? bukannya abang bilang diikhlasin."
"Abang bukan nagih, Dini. Abang cuma nanya, dua bulan lalu mama bilang sertifikat sudah diambil, utang sudah lunas, sekarang abang nanya ke mama, sertifikat kebun itu ada sama siapa? mama jawabnya belok sana sini. Kalau memang masih ada utang sama siapa? dan untuk apa? abang cuma minta penjelasan dari mama?"
Astagfirulloh. Aku mengusap dada. Sebagai istri aku sangat jengkel, marah, kesal karna aku yang sama sekali tidak tahu masalah, dan selama ini sudah legowo dengan semua tetek bengek keluarga suami malah dituduh macam-macam oleh adik ipar sendiri, dadaku panas, napas ini sesaknya bukan main. Kukepal tangan kuat-kuat.
Belum tau mereka siapa, Rumi!
Untung saja perkara ekonomi tidak membuat aku dan suami setiap hari berdebat seperti kebanyakan rumahtangga.
Kuusap wajah kasar, menghirup udara menenangkan hati, mengepal tangan menahan emosi. Melangkah santai menuju dapur yang hanya berlapis satu dinding dari kamar yang kami tempati. Pintu kamar belakang langsung berhadapan dengan dapur, untuk itu suara mereka sangat terdengar jelas di telingaku. Aku keluar kamar dengan wajah ditekuk lima lipat.
"Apa Rum salah waktu
"Dik," panggil Bang Rio terkejut melihatku yang berdiri di depan pintu menghadap mereka bertiga. Dini dan Tante Sari saling melempar tatapan. Mungkin dalam hati mereka sudah tahu aku mendengar semua, atau bisa jadi sengaja bersuara dengan keras agar aku ikut mendengar. Entah yang mana satu.
"Kok pada kaget? kayak habis ngeghibah massal ya?" tanyaku sarkas. Sengaja mengirim tatapan menerkam pada Dini.
Mereka semua benar-benar lupa daratan. Seenaknya Dini itu menunjuk-nunjuk muka suamiku dengan cincin satu gram mas murni hadiah dari Bang Rio. Apa dia lupa merengek minta belikan cincin itu? untung tidak trantum kayak anak usia dua tahun.\
Tidak tau diri sekali mereka!
"Dik, wudu dulu sana! Subuh dulu, gak baik bangun-bangun ngomongnya ngelantur," ucap Bang Rio mendekat ke arahku merangkul bahuku menuju kamar mandi. Mengusap bahu, berakhir mengelus pucuk kepalaku. Dia memang sosok suami yang selalu berdiri di tengah saat ada dua hati yang saling berperang.
"Sudah jatuh miskin, masih belagu sombong," bisik Dini masih terdengar jelas saat aku melangkah menuju kamar mandi, hendak mencuci muka.
"Abang lupa Rum lagi dapat. Hari ini in sya Allah mandi wajib, jadi gak perlu wudu, hmm, bukannya biasanya abang hafal jadwalnya Rum, biasanya juga nanya melulu ndak sabaran," jawabku sengaja menggoda Bang Rio di depan mereka. Biar mereka tahu, apapun yang terjadi aku amat sangat mencintai suamiku, dan apapun yang terjadi suamiku tidak akan termakan omongan mereka.
"Lapar, Dik? Kalau gitu ayuk makan!" ajak Bang Rio menarik tanganku menuju meja makan. Wajah itu masih sama dengan sembilan tahun lalu, merona kala rayuan maut istri menggoda.
"Abang makan aja duluan, Rum ngerapikan pakaian anak-anak dulu, tadi kaget aja dengar suara ribut, untung Alya gak bangun, kasian 'kan dia masih mau beradaptasi malah gak betah nanti. Meskipun jatuh miskin Rum masih punya saudara kaya raya jika abang ngasih izin kita numpang di rumah saudara Rum saja," ulasku melirik tajam ke arah Tante Sari.
"Mama gak tau lagi, Rio. Kalau uangnya gak ada dalam seminggu ini, kebun bakal disita sama pihak bank. Kemarin mama bilang lunas itu karena papa kamu niat ngelunasin, nyata ... hmm sudahlah, mama capek, kalau kamu masih mau melihat mama hidup, turuti yang mama bilang." Tante Sari berlalu menarik tangan Dini yang berdiri menantang ikut serta.
Aku tidak merespon omongan Tante Sari, biarkan saja urusan mereka dengan suamiku.
"Sini makan sama-sama." Bang Rio membuka tudung saji. Tante Sari benar, hanya ada gulai daun singkong yang ditumbuk campur ikan teri, gulai yang sepertinya dipanasin tadi malam. Bagiku ini enak kok. Bang Rio bukan tipe lelaki pemilih dalam hal makanan.
"Rum beli kerupuk dulu ya, Bang," ucapku sambil masuk ke dalam kamar. Memperbaiki selimut Alya dan Rivo, Membuka koper pakaian yang rencananya hendak kususun, nanti saja susun menyusunnya, kuurungkan sejenak aktivitas merapikan kamat. Sepertinya suamiku lapar, daerah pegunungan, wajar saja. Udara dingin membuat perut cepat keroncongan.
Lebih baik membeli kerupuk untuk teman makan Bang Rio. Cacing di perutku juga sudah berdisko ria, tadi malam tidak sempat makan, hanya Alya dan Rivo yang makan, aku membawa nugget dari rumah. Masak nugget lumayan juga, ah tidak. Ini buat lauk Alya dan Rivo. Aku mengurung niat menggoreng nugget.
Dingin menusuk tulang, kurapatkan jaket. Subuh seperti ini di kampung warung-warung sudah pada buka, bahkan ada yang buka sebelum subuh tiba.
Mili datang ke kamar belakang, ia memang biasa mencolok androidnya di kamar yang biasa kami tempati, terhuyung antara masih ingin tidur tapi bangkit malas-malasan. Biasanya dia paling semangat menyambut kami. Menyapa pun tidak Mili lakukan kali ini. Entah apa yang merasukinya.
Hanya sibuk mengutak ngatik ponsel padahal matanya merem melek, sesekali ponsel di tangannya hampir terjatuh, sedangkan dia antara sadar dengan tidak sadar, aku geleng-geleng kepala.
Ponsel yang ia pegang itu android yang aku belikan setahun lalu untuk memudahkannya mengakses pelajaran. Melihat aku yang ada di kamar, Mili hendak beranjak keluar lagi. Sama sekali tidak menyapa.
"Gak papa baring di situ aja, Mil. Kakak mau ke kedai. Titip Alya bentar, ya!"
Aku menahan punggungnya yang hendak beranjak.
"Hmmm," jawab Mili tanpa mengeluarkan kalimat lain, kemudian tetap beranjak keluar kamar. Aku mendesah, mengusap pelan dadaku sendiri.
Ya Allah, aku bukan manusia baik, kata ibu, aku sedikit lebih barbar di antara saudara lain. Semoga saja aku tidak mengeluarkan jurus bar-barku di sini.
Mengapa mereka semua berubah seratus delapan puluh derajat? Aku gegas keluar rumah, dengan berbagai pikiran berlompatan.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Mili yang dulu begitu dekat kini menjauh, Jini yang suka sekali dengan tawa Alya kini seolah sengaja menjaga jarak dengan putriku. Sedangkan Dini, yang selama ini kuanggap paling dewasa, lebih parah lidahnya, tajam seakan adab santun tak lagi ada.
Ada apa dengan keluarga ini?
Aku yang tidak tau diri karena menumpang? atau mereka yang berpura-pura lupa dengan apa yang kami berikan selama sembilan tahun.
"Dik! abang bisa liat Alya dari dapur, kamu ke warung saja." Lagi-lagi suamiku itu mengalah di antara dua hati,
Entah terbuat dari apa hatimu, Bang? begitu baik pada saudaramu, padahal sudah jelas terlihat mereka tidak menyukai kedatangan kita.
Apa kami kembali saja ke kota?
Bagaimana caranya aku menyampaikan ini pada Bang Rio? kami harus kembali ke kota, ide yang baik. Aku bisa minjam duit pada sahabatku untuk modal jualan apa saja daripada hidup menumpang seperti kain lap. Disepelekan. Dihina. Bahkan dibanding-bandingkan dengan wanita lain.
Sangat menyakitkan. Aku tidak akan membiarkan keluarga kecil kamu terhina.
Lihat saja kalian! akan aku kenalkan diriku sebagai Rena Arumi pada kalian wahai keluarga suamiku!
Kalian jual, aku beli. Tunggu saja! Rena Arumi bukan wanita sembarangan seperti yang kalian kira.
Kata-kata Dini melekat sepanjang jalan menuju warung.
"MISKIN!"
Kita lihat nanti, Dini. Siapa yang kamu maksud miskin.
k
Padahal, aku masih sangat ingat, bagaimana suara Mili yang manja bicara padaku pasca Alya lahir. "Kak, nanti kalo kakak lahirin anak cewek, gak usah cari babysister ya, aku aja, aku suka ngasuh anak cewek, gak bawel, mudah diurus, apalagi ponakan, sekalian belajar jadi ibu," ucapnya manja kala itu. "Lo, kamu kan harus sekolah, Mil?" "Kan udah tamat esde, Kak," "Iya, masa gak masuk SMP?" "Pending dulu setahun, Mili mau cari kerja, tapi mana ada ya, yang sudi mempekerjakan lulusan esde, selain rumah makan pinggir jalan sama jadi pembantu, mama kayaknya gak punya duit kalau Mili masuk SMP Bunda Jaya." "Kenapa harus SMP Bunda Jaya, Mil. Swasta mahal, Negeri banyak juga yang berkualitas," nasehatku kala itu. "Gengsi donk, Kak. Teman-temanku lima puluh persen masuk ke Bunda Jaya. Dua puluh persen ke sekolah negeri populer, rating tertinggi di kecamatan, eh masa aku mau masuk sekolah gorong gorong sih, mending nganggur, tapi jangan nganggur di kampung donk. Kalo aku nganggur di kampung
Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini. "Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati. Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya. "Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo. "Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu. "Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menem
"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar. "Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu? "Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang. "Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!" Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini. Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak m
Tentang Bang Rio. Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku. Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri. Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan. Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh. Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya. "Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Minggu ba
Azan isya sudah berlalu sedari tadi, pantas saja Bang Rio sudah kembali. Mendengar Bang Rio datang. Aku melepas selimut dan bantal, menggendong Alya keluar. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang juga, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?' Begitulah di kampung ini. Aku dan Bang Rio satu kampung, tapi mama sama papa sudah merantau sejak aku kecil. Kami hanya pulang ketika lebaran tiba. Serba salah emang kalau tinggal di kampung. Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah. Entah mengapa sekarang semua berubah. Semua berubah, sejak kami tidak punya apa-apa. Miskin lebih tepatnya. "Ma, besok mandi sungai, Yuk!" ajak Alya sambil terus menyusun warna lego yang sama, sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di
"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi." Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti? Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri. " Maaf, bukan Rio mau belain Rum, mama harusnya gak ngomong begitu. Gak ada yang bilang basi, Ma. Rum murni cuma nanya, Rum heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rum masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku. Ia mendekati Tante Sari yang mukanya ditekuk masam. "Kalau tidak suka ya gak usah dimakan, ingat saja, yang namanya gak punya duit banyak-banyak bersyukur, jangan sampai sombong padahal nihil yang mau disombongin, masa sudah diberi hati minta jantung, masih beruntung ada yang ngasih sambal, daripada makan pakai garam," celoteh Tante Sari tidak berhenti. Aku memilih diam. Cukup jadi penonton perdebatan mertua dan suami. Jika aku masuk dalam perdebatan mereka, tentu saja Tante Sari merasa dapat angin segar untuk kembali menyerang kata. "Mama," pan
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," "Oh, Rumi gak tau," jawabku. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," Kerling nakalnya, membuatku tersenyum. "Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali. Coba aja Kinanti ngintip. Huwaaa. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran. "Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang kurang suka bergaul akrab seperti orang-orang, punya sahabat saling bestian, abang lucu aja gitu.""Nah, itu yang mau Rum tanyain sama abang, sayang! gak suka bergaul akrab tapi kok bisa niat mancing bareng.""Sebenarnya itu niatnya si Rivo, Dik. Kamu tau sendiri si Rivo hobi banget mancing. Abang dengar dia ngajak Rehan anaknya Gilang buat mancing.