Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini. "Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati. Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya. "Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo. "Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu. "Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menem
"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar. "Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu? "Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang. "Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!" Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini. Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak m
Tentang Bang Rio. Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku. Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri. Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan. Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh. Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya. "Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Minggu ba
Azan isya sudah berlalu sedari tadi, pantas saja Bang Rio sudah kembali. Mendengar Bang Rio datang. Aku melepas selimut dan bantal, menggendong Alya keluar. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang juga, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?' Begitulah di kampung ini. Aku dan Bang Rio satu kampung, tapi mama sama papa sudah merantau sejak aku kecil. Kami hanya pulang ketika lebaran tiba. Serba salah emang kalau tinggal di kampung. Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah. Entah mengapa sekarang semua berubah. Semua berubah, sejak kami tidak punya apa-apa. Miskin lebih tepatnya. "Ma, besok mandi sungai, Yuk!" ajak Alya sambil terus menyusun warna lego yang sama, sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di
"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi." Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti? Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri. " Maaf, bukan Rio mau belain Rum, mama harusnya gak ngomong begitu. Gak ada yang bilang basi, Ma. Rum murni cuma nanya, Rum heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rum masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku. Ia mendekati Tante Sari yang mukanya ditekuk masam. "Kalau tidak suka ya gak usah dimakan, ingat saja, yang namanya gak punya duit banyak-banyak bersyukur, jangan sampai sombong padahal nihil yang mau disombongin, masa sudah diberi hati minta jantung, masih beruntung ada yang ngasih sambal, daripada makan pakai garam," celoteh Tante Sari tidak berhenti. Aku memilih diam. Cukup jadi penonton perdebatan mertua dan suami. Jika aku masuk dalam perdebatan mereka, tentu saja Tante Sari merasa dapat angin segar untuk kembali menyerang kata. "Mama," pan
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,
"Gilang sudah abang kenal lama lo, dia itu kan teman abang waktu masih kerja di perusahaan yang lama, pas kita baru-baru nikah," "Oh, Rumi gak tau," jawabku. "Iyalah, kan kamu tau nya cuma sama abang," Kerling nakalnya, membuatku tersenyum. "Kasian deh, Abang. Si tamu masih enam hari lagi baru mudik," ucapku membuatnya tertawa. Mengelus pucuk kepala ini dengan lembut sekali. Coba aja Kinanti ngintip. Huwaaa. "Berarti Gilang pernah kerja di kota kita donk, Yang. Kok abang gak pernah cerita ke Rum?" tanyaku menyimpan heran. "Ih, ngapain juga abang ceritain dia ke kamu, Dik. yang ada aneh, Sayang! Lagian kamu kenal abang, 'kan? Abang kurang suka bergaul akrab seperti orang-orang, punya sahabat saling bestian, abang lucu aja gitu.""Nah, itu yang mau Rum tanyain sama abang, sayang! gak suka bergaul akrab tapi kok bisa niat mancing bareng.""Sebenarnya itu niatnya si Rivo, Dik. Kamu tau sendiri si Rivo hobi banget mancing. Abang dengar dia ngajak Rehan anaknya Gilang buat mancing.
"Rum Rum ....""Rio, bertahanlah!" tiba-tiba hening. "Bang Rio kenapa?" teriakku menggigil. Tidak satu orang pun yang mendengar. Ingin rasanya menangis. Jantungku gemuruh hebat. Apa yang terjadi pada suamiku, Tuhan? Mondar mandir melupakan Alya yang sudah duduk sempurna menatap bingung ke arahku."Mama, ngapain kayak setrikaan? maju mundur?" tanya Alya heran. Tanganku gemetar. Kupeluk Alya ketakutan.Napas ini tidak lagi beraturan tarikannya. "Rio terpeleset di kali, ada ular tadi, Rum. Rio ... eh Rio dipatuk, sekarang gak bisa ngomong, tolong, Rum! panggilin keluarga sekarang. Pergi ke rumahku katakan pada Kinanti untuk menyiapkan mobil. Kita bawa Rio ke rumah sakit?" "Apa!" Rio-ku kenapa? Lemas sudah kaki ini. Penjelasan Gilang membuat tubuhku rasa melayang tak berpijak pada Bumi. Suamiku tercinta, lelaki yang begitu mencintai meski dengan cara sederhana. Tuhan ... tolong dia!Dalam keadaan bingung, kalut entah harus melakuka