Share

Sepuluh Juta

Padahal, aku masih sangat ingat, bagaimana suara Mili yang manja bicara padaku pasca Alya lahir.

"Kak, nanti kalo kakak lahirin anak cewek, gak usah cari babysister ya, aku aja, aku suka ngasuh anak cewek, gak bawel, mudah diurus, apalagi ponakan, sekalian belajar jadi ibu," ucapnya manja kala itu.

"Lo, kamu kan harus sekolah, Mil?"

"Kan udah tamat esde, Kak,"

"Iya, masa gak masuk SMP?"

"Pending dulu setahun, Mili mau cari kerja, tapi mana ada ya, yang sudi mempekerjakan lulusan esde, selain rumah makan pinggir jalan sama jadi pembantu, mama kayaknya gak punya duit kalau Mili masuk SMP Bunda Jaya."

"Kenapa harus SMP Bunda Jaya, Mil. Swasta mahal, Negeri banyak juga yang berkualitas," nasehatku kala itu.

"Gengsi donk, Kak. Teman-temanku lima puluh persen masuk ke Bunda Jaya. Dua puluh persen ke sekolah negeri populer, rating tertinggi di kecamatan, eh masa aku mau masuk sekolah gorong gorong sih, mending nganggur, tapi jangan nganggur di kampung donk. Kalo aku nganggur di kampung ishh bakal jadi ghibah tujuh hari tujuh bulanan, Mending ikut kakak ke kota, 'kan gak bakal ada yang tau aku gak nyambung sekolah."

"Sayang donk, Mil. Setahun kamu harus lalui tanpa sekolah, Coba aja yang di negeri yang kamu bilang kualitasnya bagus itu," saranku sebagai kakak ipar masih menginginkan yang terbaik untuknya.

"Sama aja kayak swasta, Kak. namanya doank negeri, masuknya mahal. Banyak nepotisme. Minimal jadi anak kepala desa baru bisa masuk ke sana."

"Bukannya sekarang sistem rayon ya, Mil?" tanyaku heran. Mili sedikit ngotot. Anak sekarang emang lebih mengedepankan gengsi.

"Sistem? Sistem apa-an, buktinya banyak juga tu yang masuk jalur belakang, jalur belakang uangnya harus besar, mana ada duit papa, kakak kayak gak tau papa aja, bagi dia yang penting sekolah, dapat rangking, ya sudah."

"Entar kalau teman-teman Mili tau, kamunya gak sekolah, mana tau nih, tiba-tiba ada yang main ke kota, trus liat kamu, nanya-nanya di mana sekolah, apa gak jadi bahan ghibah juga akhirnya?"

"Kalo itu gampang-lah. Tinggal boong dikit doank ."

"Kalo boongnya ketauan?" tanyaku geleng kepala melihat tingkah ipar yang kelewat pasang gengsi.

"Gak papa, Kak. Itu urusanku. Yang penting aku di kota kerja dulu, dapat duit, bisa beli apa yang aku mau, baru mikirin sekolah. Liat aja tu, temanku di sini ... esde aja udah megang hape, eh aku. Jangankan hape, jajan aja jarang banget. Apalagi sejak Kak Dini masuk SMA. Disuruh masuk pesantren gak mau, katanya gak gaul. Akhirnya tiap hari dia harus pegang duit buat ongkos PP, jajan di SMA mahal dan banyak pengeluaran lagi, tau aja SMA sekarang, dah kayak anak kuliahan tugas-tugasnya. Sedangkan aku malu sama teman-teman! gak pernah pegang uang," jelasnya panjang lebar.

"Ya udah gini aja. Kamu kakak sekolahin di sini mau?" tawarku kemudian. Kasihan juga. Itung-itung aku punya teman di rumah.

"Benar, Kak!" teriaknya antusias.

Benar, keesokan harinya, Mili beneran datang ke rumah. Ia datang sendirian ke kota.

Hampir setahun dia ikut dengan kami. Tanpa kusuruh dan tanpa diminta, Ia merasa betah alias kerasan. Katanya nyaman di rumahku.

Kudaftarkan Mili ke sekolah SMP negeri yang ada di kota. Ia senang bukan main.

Tidak enak rasanya, sudah jauh-jauh datang, ia tidak kuservice layaknya sedarah serahim, apalagi dia adalah adik kandung suamiku. Mili sangat lihai membantu, gesit plus ulet, memang super rajin mengasuh baby Alya. Pulang sekolah ia langsung ikut menolong urusan dapur dan banyak hal lainnya.

Sebab sungkan, meskipun dia kusekolahkan, setiap bulan Mili kuberi 'gaji'.

Memang tidak dibahasakan gaji, dia adik suamiku, tidak mungkin kuanggap pembantu apalagi babysister. Berapa biasanya orang lain membayar pembantunya maka kulebihkan sedikit untuk Mili.

Ia sangat bahagia tinggal di rumah. Kalau bukan karena permintaan Tante untuk pulang, karena panen raya telah datang.

Mili betah mengasuh Alya. Bahkan ia menggerutu ketika Tante Sari menelpon menyuruh pulang, tak ada teman mertua ketika panen raya datang.

"Ih, aku kesal sama mama. Padahal di kampung banyak yang bisa nolongin nginjak, terus jemur gabah, panas poll makin item akunya, ke mesin lagi, mana yang kerja di mesin genit. Cape tau, Kak. Kok harus dipaksa pulang, sih," protesnya. Curhat padaku sambil mencebik gusar.

Masih setahun. Akhirnya aku mengurus surat pindah Mili pada libur lebaran, Ia kembali ke kampungnya dengan kami antar. Sekalian lebaran juga.

Tante Sari terkejut ketika melihat Mili pulang dengan leher berisi kuning-kuning berkilau, begitu juga dengan pergelangan dan jari-jarinya.

Iya--gaji Mili tidak pernah berkurang, karena kebutuhannya semua kupenuhi. Aku selalu menasehatinya agar uang yang kuberi dibelikan barang saja, kelak butuh, ada simpanan yang mudah dijual.

"Eh, kalau tau kamu digaji sama si Rumi, mending sekolah di sana aja, kok kamu gak bilang si Rumi bayar kamu di sana?" protes Tante Sari pada Mili yang kesal saat itu.

"Ih, mama, kan mama yang maksa aku pulang, nama aku udah dicoret dari dapodik sekolah itu, mana bisa balik lagi, repot. udah dipindahin ke sini," gerutu Mili.

Aku pura-pura tidak mendengar perbincangan mereka. Takut terjadi salah paham lagi.

Ya, Mili ikut kami, itu dulu, saat suamiku bekerja pada sebuah perusahaan ternama. Sedangkan aku mengelola bengkel kecil namun laris manis. Pemasukan kami sangat lumayan.

Meskipun tinggal di kontrakan tapi kontrakan kami lumayan besar. Memiliki dua kamar tidur. Aku juga memasang AC di kamar Mili. Benar-benar nyaman.

Pasca bengkel bangkrut, aku tidak bisa berbuat banyak. Mau mencoba kembali buka, Alya dan Rivo butuh ekstra perhatianku. Ditambah Mili sudah tinggal di kampung. Permintaan Tante Sari. Walau ia sempat kesal karena Mili tidak memberitahu kalau ia kuberi gaji lebih dari baby sister.

Lucunya, Mili ketagihan kerja dapat gaji, ia tidak mendaftar ke sekolah baru, malah jaga toko di pasar.

Tante Sari berang, memaksa Mili sekolah lagi. Terpaksa, Mili mengiyakan. Ia berhenti kerja lalu kembali sekolah. Sekarang sudah lulus dan masuk SMA.

Namun sayang, kedekatan yang pernah kami bangun, kini seolah memudar entah sebab apa.

"Ini, Bang, kerupuknya. Abang duluan aja, ya makannya. Rumi takut Alya bangun."

Tanpa banyak bicara aku ngacir ke kamar. Bang Rio kutinggal makan sendirian.

Alhamdulillah Alya masih tidur dengan nyaman. Rumah begitu sepi. Entah ke mana para penghuninya.

Biasanya, saat kami datang, rumah malah ramai dari biasanya, Tante Sari akan mengajak keponakan dari adik-adiknya ikut main di sini. Bercerita banyak hal.

Mili dan Dini akan berebut menggendong Alya, dan mengajak Rivo bermain.

Sepi, sudah tidak seperti dulu. Hatiku hambar. Ada seluet silet rasanya mencabik. Sakit. Entahlah.

Bang Rio sudah selesai makan. Meletakkan piringnya pada baskom khusus piring kotor, ia menyuruhku untuk lanjut makan. Walau gulai sederhana, aku sangat menyukai lauk yang satu ini. Apalagi jika campurannya jengkol dan ikan salai.

"Besok masakin gulai kayak gitu lagi, ya Dik. Tapi campur ikan salai sama jengkol ditumbuk ya," ucap Bang Rio seolah membaca pikiranku. Kami memang satu selera.

Aku mengangguk. Selalu satu pikiran dan satu keinginan. Senyumku sedikit merona. Telepati suami istri itu jarang meleset. Andai semua bisa menyelami, tak akan ada keluarga yang berantakan.

Bang Rio balas tertawa kecil. Seolah mengerti bahwa apa yang kupikirkan menempel dipikirannya. Ia mengusap pucuk kepalaku, lembut. Hal yang selalu ia lakukan setiap saat.

Aku merasa dihargai. Dimanja dan diratukan walau hanya dengan usapan lembut tangannya.

"Harga ikan salai mahal, jengkol juga lagi mahal, kalau sudah nganggur itu hemat-hemat, jangan masih belagak punya banyak uang," celutuk Tante Sari yang tiba-tiba muncul di dapur.

Bang Rio terdiam. Memberi kode padaku, untuk tidak menanggapi.

Ya, aku tidak menanggapi tapi hati ini sakit sekali.

"Loh, ini ... " Tante Sari mengangkat tempat gulai. Melirik tajam padaku.

Apalagi? Kesalahan yang mana lagi?

"Kenapa, Tante?" tanyaku heran, sedikit tak nyaman dengan tatapannya. Bang Rio lebih dulu berdiri di antara kami.

"Gulai ini tadi banyak lo, kita ramai, jangan boros-boros makan gulai. Si Jini belum makan tu sama si Santoso, si Santoso hari ini balik, entar malah rewel gak ada lauk, malah ngamuk-ngamuk gak jelas dia," ujarnya sedikit keras membanting wadah gulai ke meja makan.

Memang bantingan itu pelan. Tapi terasa getas di hati ini.

Ya Allah. Sabarkan hamba?

Ini hanya demi patuh pada suami.

Tapi, kok Tante Sari menyebut Om Santoso hanya nama doank. Panggilannya yang tak biasa menyebut mertua laki-lakiku itu seolah ada sesuatu yang sedang terjadi?

Ada apa dengan mereka?

Aku melirik Bang Rio. Ia hanya membalas dengan senyuman.

"Sabar ya, mama cuma lagi sensitif."

Bang Rio beranjak mengusap kepalaku. Hal yang selalu ia lakukan saat tahu aku sedang mode hati tidak nyaman.

Aku mengangguk walau sedikit penasaran.

"Sabar, ya, Sayang!"

Kalimat penenang yang menjadikan aku melupakan hati penuh suudzon dengan keluarga ini.

"Jangan lupa! hari ini Kinanti mau ketemu kamu, ingat sepuluh juta, kalau gak ya serahkanlah kebun itu sama Kinanti."

Apa? sepuluh juta?

I-ini ma-maksudnya apa ya?

"Ingat Rio, kamu yang janji hari ini mau ketemu Kinanti mama cuma mengingatkan kamu, kalau mama lebih memilih menyerahkan kebun itu sama Kinanti daripada dirawat sama si Budiman. Saudara ayahmu gak ada yang jelas juntrungannya."

Apa? i-ini ma-maksudnya apa ya? Kulirik Bang Rio yang hanya menunduk, pasrah. Tante Sari berlalu ke dalam. Sambil sesekali masih mengoceh tak jelas.

Om Budiman dikata-katai?

Apa kaitan semua ini?

Sepuluh juta?

kebun?

Kinanti.

Dan sekarang Bang Rio hanya diam saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status