Share

Mengenang Kejadian Dulu

Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini.

"Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati.

Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya.

"Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo.

"Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu.

"Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menempel. Kuraih tangan Bang Rio untuk kucium takzim. Bibir bebas rokok itu kusentuh pelan.

"Selagi pujaan hatiku selalu di samping, aku punya stok sabar melebihi apapun di dunia ini," ucapku mengedipkan mata, usil. Menjawil dagunya sedikit. Mengusili suami sendiri halal 'kan?

Bang Rio mendekat, mengusap pucuk rambutku yang tergerai. Menangkup wajahku dengan dua tangannya.

"Maafin abang ya, Dik. Abang belum bisa bahagiakan kamu, bahagiakan anak-anak dan ...."

Ah, mata itu kembali berkaca-kaca.

"Ssst ...." Aku menempel jari telunjuk di tengah bibirnya. Menghentikan ocehan yang membuat kami akan kembali bersedih.

"Kalau ngomong lagi, Rum cium!" Bang Rio menggeleng kepalanya tertawa tipis.

"Dari dulu genitnya gak ilang-ilang ya." Bang Rio mencubit kecil pipi kananku.

Rena Arumi memang seorang yang jago merayu, Siapa yang tidak kenal Glenn Alinskie di masa kampus biru, hanya aku yang membuatnya bertekuk lutut malu-malu meong.

Kata Hen, laki-laki itu juga suka dirayu. Terdengar agresif sih, tapi cintaku tulus untuk Bang Rio.

"Genitnya dari dulu cuma sama abang kok, gak pernah sama cowok lain."

"Iya, Sayang. Abang cuma takut kamu merasa tidak bahagia. Sembilan tahun abang belum bisa ngasih kamu apapun." Yah, dia mulai lagi. 

"Abang percaya Rum? Rum rhido dan bahagia dengan semua yang abang berikan untuk Rum. Jangan sedih! Kalau abang sedih, Rum ikut sedih. Abang ingat gak? waktu Rum hamil Alya, kita lebih terpuruk dari ini. Bahkan beras satu tekong tak ada di rumah kita. Tidak perlu ada yang tau, hanya kita berdua, hanya kita berdua yang tau, Sayang." 

Sekarang mataku pula yang perih. Tenggorokan rasa tercekat.

"Maafin abang, Sayang." Bang Rio mendekapku erat.

"Kita pernah merasakah puasa daud tanpa berbuka dengan sebiji korma. Sekarang ini hanyalah seujung ujian yang pernah mampir. Rum maklum, kok. Tidak mungkin membiarkan dua jagoan kita merasakan apa yang pernah kita rasakan. Makanya Rum memilih mengikuti saran abang untuk sementara tinggal di sini. Semoga lamaran abang tidak menunggu lama dipannggil lagi."

"Kamu gak marah sama mama, Dik. Mama ...." Aku menggeleng tersenyum. Kembali menaruh telunjuk membelah di antara bibirnya.

"Mungkin mama bingung, juga kaget, mereka juga hidup secukupnya, malah kita datang untuk nambah nyusahin," sambungku, menyempurnakan kalimat Bang Rio yang terjeda.

"Jangan bilang gitu, Dik. Abang malu sama kamu, ini rumah abang, rumah kamu juga. Jangan menganggap kita menumpang di sini. Andai abang meninggal dunia, Alya dan Rivo wajib tinggal di sini, mereka wajib memberikan kehidupan untuk dua anak abang, dan itu tidak menjadi tanggungjawab kamu. Andai Rivo dan Alya terlantar, kamu sebagai ibu, tidak berdosa, Dik. Mereka, mereke keluarga abang--lah yang berdosa," jelasnya panjang lebar.

Aku mengangguk paham. Sekaligus ngilu di hati. 

"Jangan suka berandai-andai tiada, Sayang, kita akan bersama sampai maut memisahkan," ucapku menyeka sudut mata. Tiba-tiba rasa takut kehilangan menyergapku. Retina memanas. Sekali kerjap, bulir liquid itu menyentuh telapak tanganku sendiri.

Walau ucapan Bang Rio hanya andai. Aku tidak ingin Bang Rio pergi, aku belum sanggup menerima takdir andai pun hanya andai.

"Kamu gak penasaran dengan utang sepuluh juta yang diomongon mama?"

Aku tertawa kecil.

"Abang tau Rumi 'kan? selagi abang tidak bicara apapun mengenai keuangan kita, Rumi sepenuhnya legowo dan memberi sepenuh kepercayaan untuk abang, Rumi ini istri abang, sudah seharusnya sebagai istri, Rumi mendukung, mengiyakan, mengikhlaskan apapun yang terjadi dalam rumahtangga kita, baik itu masalah ekonomi atau yang lainnya." Aku menyelesaikan kalimat, membelai lembut jambang tipis di sekitar pipinya. Bang Rio menatap aku intens, memangkas jarak.

"Bisa gak jadi sholat nih abang dengar kalimat, Dik Rumi, nambah overdosis cintanya," ucapnya nakal langsung melumat abis bibirku.

"Astaga, Abang! Kok makin agresif sih sejak jadi pengangguran," godaku melepaskan ciuman Bang Rio dan mendorongnya menjauh.

"Kamu bikin gemesh. Ya sudah. Abang ke mesjid dulu. Kalau Rivo mau nyusul, suruh makan, isya saja nyusul ke mesjid," pesannya sebelum meninggalkan kamar. 

Sepeninggal Bang Rio, aku tercenung pada kalimatnya sebelum berangkat.

Rivo dan Alya punya hak di rumah ini. Tentu saja. Bahkan jika Bang Rio tiada, dalam hukum Islam Rivo lebih berhak daripada Tante Sari. Mengapa mereka tidak mengerti itu?

Justru menganggap kami menumpang di sini. Ah, aku tidak peduli tentang mereka, apalagi harta mereka. Meskipun Bang Rio sempat cerita Om Santoso masih memiliki kebun karet warisan seluas sepuluh hektar di ujung kampung ini. Surat kebun itu ada pada pihak abang kandung Om Santoso. 

Namanya Budiman, Om Budiman menahan surat kebun karena dahulu kala ayah Om Santoso yang juga merupakan ayah Om Budiman yang tak lain adalah kakeknya BangRio, menggadai kebun itu ke bank, tidak terbayar, Om Budiman menebus surat ke bank, kemudian kakek Bang Rio itu meninggal dunia.

Kebun sepuluh hektar itu tidak dibagi hingga kini. Sebab, Om Budiman meminta uang yang ia tebuskan ke Bank, wajib diganti dengan harga saat ini.

Jika kebun dijual, uang hasil jual kebun itu harus lebih dulu membayar utang ke Om Budiman, sisanya baru dianggap warisan.

Besarnya utang tersebut, baik Uwak Lin anak ke tiga, dan Tante Mira anak paling bungsu tidak ada satu pun yang bisa menebusnya. Termasuk Om Santoso. 

Hinggi kini surat tersebut masih di tangan Om Budiman. Keluarga Om Santoso, yang kakak beradik kandung itu urutannya. Anak pertama Om Budiman, kedua Om Santoso, ketiga Uwak Lin, paling bontot Tante Mira.

Iqomah dari speaker toa baru saja selesai,aku mendegar langkah kecil diambang pintu.

"Huwa! cop gak kaget!" Dua bocah cekikikan saling tampol. Dua permata hatiku. Mereka berencana mengagetkan aku, sengaja aku lebih dulu membuka pintu. Alya melompat dalam pelukan, sedangkan Rivo handuknya melorot. Kami bertiga tertawa bersamaan.

"Abis pakai baju, makan dulu ya, Nak" perintahku pada Rivo memberi pakaian gantinya, disambut gelengan kepala.

"Tadi, Ivo dah makan tempat Rehan," ucapnya memberitahu. Aku mengerut kening heran.

"Siapa Rehan?" tanyaku mewanti-wanti. Aku paling tidak suka jika anak-anak makan sembarangan di tempat orang.

"Itu lo, Mah. Yang tinggal diujung, yang orang Jawa itu bapaknya," jawab Rio menambah kerut di keningku. Lama terjeda, aku berusaha mengingat siapa yang memiliki anak bernama Rehan.

"Oh, Rehan anaknya Tante Kinanti," jelasku manggut-manggut. Mengingat dengan jelas Kinanti dan Gilang suaminya, mereka punya anak bernama Rehan.

Rivo mengangguk. Aku terdiam cukup lama, sungkan sekali rasanya Rivo makan di rumah Kinanti. Aku sangat mengetahui Kinanti. Gadis kembang desa yang dulu sangat mencintai Bang Rio.

Slideshow kejadian malam pertama hadir tiba-tiba, mengenang malam bahagia itu berubah dramatis oleh ulahnya, Kinanti.

_Sayang, terimakasih telah mencintaiku, meskipun tidak bisa saling memiliki setidaknya keringatmu pernah berbaur di sini_

Sebuah pesan mampir dengan tak berperasaan ke nomor ponsel Bang Rio. Lelaki yang belum sampai dua belas jam sah menjadi suamiku sedang berbincang asik dengan tamu-tamunya. Ia sudah berjanji akan kembali ke kamar pukul 22.30.

Bayangkan! Malam pertama yang seharusnya indah, dinanti semua para pengantin, berubah menjadi angkara murka. Hatiku jengkel minta ampun.  Tapi, aku bukan perempuan bar-bar yang langsung memberondong suami dengan tuduhan.

Lelakiku ini begitu sulit mendapatkan aku, meskipun aku sering sengaja menggodannya dulu, tapi aku bukan murahan seperti Kinanti. Masa remaja kuhabiskan dengan mengulur Bang Rio bak layangan, sengaja agar dia paham, aku begitu sulit didapatkan, suamiku itu tidak mungkin berkhianat. Meskipun tidak pacaran seperti pasangan pada umumnya, aku sangat hapal, Rio lelaki santun terhadap wanita.

Dulu sebelum menikah, jangankan mencium pipiku, menyentuh telapak tanganku saja, ia malah menunduk saat bertemu. 

Aku geram dengan pesan itu. Ingin kugilas, paling tidak kugiling bibirnya pakai cobekan cabai. 

Modal nekat. Napas sedikit memburu. Aku keluar dari kamar pengantin, sudah bertukar pakaian, aku pura-pura berbaur dengan para tamu keluarga yang masih mangkal berbincang santai setelah acara resepsi selesai. 

Tante Sari, Wak Lin, Tante Mira, Om Budiman, para anak-anak mereka juga beberapa tetangga termasuk Kinanti yang masih berstatus gadis kala itu duduk bercengkrama di ruang tamu. 

Aku yang penasaran siapa pelaku pengirim pesan itu, begitu yakin masih ada di ruangan ini.

Tante Serin--Mamanya Kinanti duduk berhadapan sambil tertawa dengan Tante Sari, sesekali selfie berdua, kemudian tertawa lagi melihat hasilnya di dalam layar.

Kring, alarm otakku berguncang pertanda ide telah datang.

"Maaf Tante Serin, Boleh Rumi pinjam hapenya sebentar. Buat miskol doank. Hape Rumi gak kelihatan," pintaku padanya. Tante Serin melirikku sekilas, melirik pula ke arah Tante Sari. Keberuntungan ada padaku, Tante Sari tidak memegang ponsel tentu saja memudahkan aku meminjam ponsel Tante Serin.

Awalnya aku sama sekali tidak curiga pada siapapun, belum bisa menebak dalang pesan itu. Ketika melihat Kinanti mengutak atik ponsel, aku curiga dialah dalang pembuat api cemburu di dada ini.

"Ya, silakan, Nak!" Tante Serin menyodorkan ponselnya tanpa curiga. Siapa yang curiga dengan raja dan ratu sehari. Tante Sari maupun Tante Serin berpaling ke arahku yang mengutak atik nomor di ponsel Tante Serin.

Awal aku menekan nomor sendiri, bunyi dering terdengar jelas dari dalam kamar. Tante Serin tersenyum.

"Entu suara hapenya di kamar kayaknya," ujarnya padaku.

"Iya Tante Alhamdulillah, kirain ke mana tadi hape Rumi. Oh ya, Nte. Ini dari kemarin ada yang miskol melulu ke nomor Rumi, tengah malam pula, mana tahu Tante kenal, gak semua nomor di kampung tersave oleh Rumi. Rumi izin pinjam miskol ya, Nte. Rumi klik nomornya ya, Tante?" tanyaku memastikan, tapi sengaja langsung menekan nomor si bibit pelakor itu di ponsel Tante Serin. Jika nomor pelaku ada dikontak Tante Serin maka nama pelaku akan keluar di layarnya.

Tante Sari cuek saja, mereka memang sahabatan sedari kecil. Akrab pula, masih saudara jauh. 

"Ya ... Ya gak papa," sahutnya lagi. Kesempatan yang baik.

Aku menekan nomor yang sudah kuhapal di layar ponsel Tante Serin.

Jantungku tiba-tiba dag dig dug.

"Emang siapa yang miskol-miskol kamu tengah malam, Rum?" tanya Tante Sari padaku--heran.

"Gak tau nih, Tante. Masih mau cari tahu, kalau masih suka neror, aku panggil polisi." Suara sedikit kukeraskan, mana tahu di sini, di antara tamu keluarga ada pelakunya. Ia bisa mendengar, dan berkesimpulan. Aku sengaja mengatakan setiap pesan yang dikirim bibit pelakor itu justru ke nomorku bukan nomor Bang Rio. Padahal pelaku itu memang mengirim ke nomor Bang Rio. 

Akan kugiring pikiran pelaku bahwa istri tidak sebodoh yang ia kira. 

Tiittt, bunyi dering ponsel seseorang.

tiiit, bunyi itu semakin nyaring.

"Loh, ini kok namanya Kinanti," celutuk Tante Serin tiba-tiba. Aku mulai paham situasi.

Kinanti langsung melotot ke arah kami dengan wajah seribu malu. Merah ranum bagai mangga lipstik dicangkok kemudian dikawinkan dengan mangga apel. Begitulah ekspresi warna rona mukanya.

"Apa ini maksudnya?" tanya Tante Serin, bingung. Bergantian menatap putrinya dan menatapku yang mengirim tatapan membunuh untuk Kinanti.

"Gak tau Tante, dari kemarin nomor itu miskol melulu ke nomor Rumi, diangkat gak bicara, dibilang hallo eh terus mati," jawabku sok lugu.

"Bentar ya, Nte. Rumi bawain hape Rumi." 

Aku ke dalam kamar, mengambil ponsel Bang Rio dan membawa keluar. ponsel kami mirip, layar Bang Rio itu fotoku. Jadi gak bakal mereka tahu bahwa itu milik Bang Rio.

Aku membuka file panggilan tak terjawab. Menunjukkan nomor yang tertera di sana. Menyamakannya dengan kontak bernama Kinanti di layar gawai Tante Serin.

"Apa-apaan ini Kinan? kamu mau bikin malu mama?" teriak Tante Serin murka menunjuk muka Kinanti setelah membaca pesan di ponsel itu.

"Serin, sudah! jangan marah gitu sama putri sendiri, lagian biasa juga, Rio 'kan emang temannya Kinanti sedari dulu."

Tante Sari membela dengan begitu gigihnya.

Tante? 

"Mama ... Rivo ke mesjid ya, Rehan dah nunggu tu di luar." Aku tersadar dari lamunan saat Rivo berlari keluar kamar. Alya menarik telekung mininya dari balik koper. Aku menghela napas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status