"Izinkan aku pergi dulu, akan aku selesaikan semuanya. Lalu kita bicara," ucap Ardi mendekat.
"Pergilah, tak perlu kembali."
"Riri, aku mohon."
Riri bergeming, ia sudah tak mau menyikapi apa-apa lagi soal mereka. Seolah sudah menyerah dan pasrah. Ardi kemudian keluar dari kamar, sedangkan Riri kembali mengurai air mata melihat lelaki itu nyatanya sudah memilih perempuan itu daripada dirinya.
Cukup lama berdiam, Riri memutuskan untuk bangkit dan membersihkan wajahnya dari air mata itu. Bergegas bersiap hendak pergi, langkah kaki keluar kamar diiringi suara gesekan antara wajan dan spatula, betapa Riti terkejut mendapati Ardi tengah memasak, bukankah tadi dia?
"Sayang, aku sudah buat nasi goreng kesukaan kamu."
Riri diam, dia tak menggubris ucapan suaminya itu, kali ini hatinya sudah kuat untuk membuat suaminya berpikir.
"Aku akan pergi, kamu masih disini."
"Aku gak kemana-mana, ya tadinya aku mau menghampiri Rianti karena butuh bantuan buat mengantar makanan kesukaannya ke rumah sakit tapi aku sudah pesankan lewat online."
"Sejak kapan kamu mendadak pintar, mas."
Ardi terdiam, dia merasa ledekan istrinya itu masih sebuah kemarahan yang belum usai.
"Kamu ini kenapa sih? Aku pergi salah, aku gak pergi juga kamu pojokkan. Mau kamu apa?"
Riri menatap tajam kembali pada suaminya itu.
"Kamu tanya mau aku apa mas?" tekan Riri.
"Mau aku kamu gak perlu bersahabat lagi dengan Rianti, bisa?" gertak Riri.
"Kamu bisa gak jangan kayak anak kecil, aku dan Rianti itu gak ada apa-apa. Harus berapa kali aku yakinkan kamu, harus bagaimana aku buat kamu percaya?"
"Dulu aku percaya tapi tidak sekarang," ucap Riri.
Riri menghela nafas, menjeda kalimatnya yang belum usai.
"Tidak ada hubungan tulus antara dua manusia dewasa berbeda jenis, jika bukan kamu yang merasa sangat mencintai Rianti mungkin bisa saja Rianti yang tak rela kehilangan kamu hingga dia selalu mengada-ada agar selalu dekat dengan kamu, mas."
Riri melangkah meninggalkan Ardi, teriakan Ardi tak digubrisnya sama sekali. Ardi berlari mengejar dan segera menangkap tangan Riri yang dengan sigap ditepiskan oleh Riri.
"Jangan pernah menemui aku jika kamu belum bisa memutuskan semuanya."
Tatapan itu tajam menusuk sanubari Ardi hingga membuatnya terdiam dan hanya mematung memandangi kepergiaan Riri dengan sepeda motor kesayangannya itu.
Sepanjang jalan derai air mata terus menganak sungai, sengaja Riri lakukan agar ketika di hadapan sahabatnya nanti dia tak akan menangis dan terlihat tegar. Tak lama dia memarkirkan sepeda motornya di sebuah cafe kecil di sebuah garasi rumah.
Senyum terukir di bibir tipisnya, Laras menyambut kedatangan sahabatnya itu. Mereka sudah berteman lama, tentu saja Laras tahu keadaan Riri sedang tak baik-baik saja.
"Ada apa?" tanya Laras.
Riri menghela nafas, ia mengatur nafasnya agar semua terlihat biasa saja. Keduanya sudah duduk di kursi berhadapan. Tanpa ragu Riri menceritakan semuanya.
"Sudah aku bilang ada yang gak beres sama mereka, kamu masih saja bilang biasa saja."
Laras menggerutu ketika mendapati temannya sakit hati karena sikap suaminya itu, Laras sudah terlalu sering mengingatkan Riri tapi Riri seakan menutup mata dan menganggap semua biasa saja.
"Aku hanya mencoba mengikuti mereka saja, ras. Aku mau tahu sampai sejauh mana mereka selalu berusaha membangun persahabatan itu."
"Riri … Riri dan pada akhirnya kamu sakit hati, iya kan?" tanya Laras.
Riri terdiam, ia merasa terpojok dengan ucapan temannya. Ia ingat betul sejak menikah sikap Ardi itu sangat baik, jujur dan tak ada sedikitpun yang disembunyikan begitupun dengan hubungan persahabatan yang masih terjalin meski lewat media komunikasi jarak jauh, Riri sempat kagum dengan persahabatan mereka bahkan bersedia membantu persiapan pernikahan Rianti. Keduanya pun hadir dan tampak akrab, Riri belum menyadari apapun.
Bahkan rona bahagia yang terpancar begitu bercahaya dari kedua binar mata suaminya saat mengetahui Rianti akan pindah mengisi rumah neneknya yang tak jauh dari rumah mereka Riri menganggap itu biasa saja. Hubungan terjalin sangat baik, Riri mengenal suami Rianti dan sesekali mereka jalan bersama meski terkadang Riri merasa Ardi dan Rianti selalu asyik mengenang masa lalu tapi segera ditepisnya karena merasa masih ambang wajar.
Rona bahagia kembali terpancar nyata ketika Ardi tahu Rianti hamil, kembali Riri tak merasakan apapun karena dia pun turut bahagia dengan kabar itu. Di saat dia dan Ardi menikah lebih dulu tapi belum diberikan kepercayaan ternyata ada sahabatnya yang tengah mengandung tentu saja Riri merasa turut bahagia.
Selama Rainti mengandung tak ada yang mencurigakan semua baik-baik saja, Riri sering mengantar Rianti periksa kandungan tapi semua itu perlahan berubah ketika malam itu tiba.
"Wah, selamat ya Mas Bayu. Memang kalau anak itu membawa rezeki," ucap Riri saat menghadiri undangan makan malam di rumah Rianti sebagai tanda syukur suaminya telah diterima sebagai ASN.
"Iya, terima kasih. Tapi suami kamu jauh lebih keren, pengusaha."
"Eits, jangan salah semua lelaki yang ada di dekatku akan menjadi keren."
Riri terlihat sedikit berubah mendengar ucapan Rianti, sedangkan Bayu merangkul istrinya itu seakan membenarkan dan bangga memiliki istri seperti Rianti. Dan ada mata yang melirik dan tersenyum getir melihat itu semua.
"Kamu tahu Ri, suami kamu ini malasnya minta ampun. Kalau gak sama aku disemangatin terus gak mungkin lah sekarang punya outlet ponsel yang lumayan besar di kota ini."
Lagi. Rianti terus membanggakan dirinya telah banyak membantu Ardi hingga mampu memiliki usaha yang luar biasa. Decak kagum justru terlihat di mata Bayu, dia seolah biasa saja mendengar ucapan istrinya itu.
"Kamu memang hebat sayang," ucap Bayu mengecup kening Rianti.
Riri tersenyum melihat kehangatan itu, pasangan itu memang romantis padahal konon katanya mereka menikah karena dijodohkan. Obrolan malam itu terus berlanjut hingga amanah itu keluar.
"Disini Rianti gak punya siapa-siapa. Jadi aku titip dia pada kalian ya," ucap Bayu.
"InshaAllah, mas. Mas tenang saja, nanti kami jagain Mbak Rianti, iya kan mas?"
Riri menyikut Ardi, Ardi yang sejak tadi hanya diam saja langsung terkejut dan gelagapan.
"Ah, i-iya pasti kita jagain."
Riri masih belum menyadari sikap aneh suaminya itu, sejak itulah semua terasa janggal dan perlahan Riri mulai menyadari perubahan sikap suaminya terhadap sahabatnya itu.
Gebrakan meja yang dilakukan Laras membuat Riri terkejut dan buyar sudah slide-slide masa lalu yang berputar di ingatannya itu.
"Malah ngelamun. Terus selanjutnya gimana?" tanya Laras.
"Aku akan menghubungi Mas Bayu, mencari apakah selama ini dia tahu kelakuan istrinya yang dikit-dikit minta bantuan mulu sama suamiku."
"Hmm… ide bagus, eh bagaimana kalau kita cari tahu chatingan si wanita sundal itu sama suaminya?"
Riri mengernyitkan dahinya, ia masih belum mengerti maksud Laras. Laras menghela nafas, seolah paham dengan sikap Riri.
"Kalau kita sadap nomor si Rianti itu, kita tahu tuh isi percakapan dia sama suaminya kayak gimana, kali aja selama ini suaminya gak tahu terus nyangkanya baik mulu tuh sama istrinya yang kegatelan. Gimana?"
Laras mengangkatkan alisnya, menunggu persetujuan temannya untuk melakukan penyelidikan.
"Setelah kamu tahu semuanya, baru deh lapor suaminya buat perempuan itu dipecat jadi istrinya. Gimana?"
Terdiam Riri mendengar ucapan temannya itu, apakah itu jalan terbaik yang harus dia lakukan?
"Istriku marah, dia sudah cemburu berat sama kamu.""Hahaha… wajarlah, mungkin kita terlalu intens bertemu. Tapi kan aku cuma ketika butuh bantuan kamu aja gak tiap waktu." "Iya, tapi sayangnya tiap kamu butuh itu istriku juga butuh aku, jadi maaf kalau aku beberapa hari ini gak bisa bantu kamu.""Yah, mau gimana lagi. Aku sudah harus merelakan sahabat yang aku punya sejak SMP, aku bantu dia ngerjain tugas-tugas sekolah, aku juga bantu kasih pinjam modal untuk usaha, sekarang mungkin sudah waktunya aku kasih dia ke perempuan lain yang tinggal enaknya." "Jangan gitu dong, Han. Aku tak bermaksud seperti itu.""Tak apa, aku ngerti kok. Memang dari dulu kamu gak pernah peka sama aku, bee."Tut tut tutPanggilan pun terputus, Ardi menghela nafas berat. Ardi merasakan kekecewaan yang dalam pada diri Rianti, tapi dia pun tak bisa membiarkan Riri terus marah padanya. Ardi mengacak rambutnya dan berteriak meluapkan emosi yang menghantam jiwanya. Di tempat lain, Riri menyetujui ide Laras dna
"Ah, akhirnya kamu jawab panggilan aku. Kamu dimana?" tanya Ardi lega. "Di rumah Laras sekalian ngopi.""Oh, ya sudah aku kesitu. Tunggu ya!" "Nggak perlu mas, aku gak mau bertemu kamu sebelum kamu menyelesaikan urusan kamu dengan Mbak Rianti."Ardi tampak mulai kesal lagi, wajahnya menunjukkan kekecewaan atas sikap Riri yang menolak untuk ditemui. Tapi dia berusaha tetap tenang."Sayang, aku sudah ngomong sama Rianti untuk tidak bisa membantunya dalam waktu dekat ini."Riri menghela nafas, ia faham kenapa Rianti tadi menelponnya dan marah mungkin Ardi sudah menghubungi Rianti. "Ayolah sayang, jangan kayak gini. Please." Ardi merajuk, Riri mulai tak kuasa melihat wajah Ardi yang memelas itu. Segala cara dilakukan Ardi untuk membujuk Riri agar mau ditemui dan pulang lalu duduk berdua menyelesaikan semua ini. Riri menatap Laras, meminta sarannya. Nyatanya Laras hanya mengangkat kedua bahu dan tangannya saja mengisyaratkan semua keputusan ada di tangan Riri. "Maaf mas, saat ini bel
"Rianti…." Ardi tertegun melihat perempuan itu sudah berdiri di depannya dan mengulas senyum khas miliknya. Lalu waktu seolah berjalan menuju dimensi yang telah terlalui ketika mereka pertama kali bertemu beberapa tahun silam tepatnya saat keduanya duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama. Ardi adalah siswa pindahan dari sekolah di kampung tempat tinggalnya, ia ikut tinggal bersama paman dan bibinya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya yang dengan empat orang anak, Ardi adalah anak kedua. Sebagai anak kampung Ardi tak banyak gaya dan kehadirannya membuat para pelajar siswi berdecak kagum, wajahnya yang ganteng itu ditambah dengan sikap ramah dan pendiamnya membuat Ardi terlihat cool di mata para pelajar siswi, begitupun di mata Rianti. Gadis ini terpesona sejak pandangan pertama, ketika Ardi sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku dengan agresif Rianti menghampirinya bahkan membuat Ardi kaget. "Hay," sapa Rianti. Ardi masih terdiam, dia menutup bukunya.
"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas." "Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya." "Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?" Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar. "Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?" "Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi. Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu."Sayang, kamu akhirnya pulang." Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yan
"Jadilah istriku, akan kubuat kamu bahagia."Kalimat itu menggema di telinga Riri manakala menatap foto pernikahannya. Pernikahan yang baru seumur jagung itu kini dihantam badai yang sangat kuat, ia merasa terlalu cepat hal ini terjadi. Bukan kah ujian orang ketiga adalah ujian di sepuluh tahun kedua? Lalu kenapa ia harus menghadapinya bahkan di saat pernikahannya masih seumur anak yang baru bisa berlari.Harusnya saat ini ia masih merasakan keharmonisan rumah tangga, bukan justru sebaliknya. Riri mendekap foto itu dengan erat lalu memejamkan mata, kini ia harus memilih antara mempertahankan atau mengakhiri semuanya.Samar-samar Riri mendengar suara adzan berkumandang, perlahan ia membuka matanya. Foto yang sejak tadi dipelul erat sudah tak ada dan kembali terpajang di atas nakas, bahkan dia pun telah berbeda posisi, me
"Kamu bisa bersikap tenang, lalu kita duduk berdua menyelesaikan semua ini. Aku tuh cape dituduh terus sama kamu."Riri mematung mendengar ucapan suaminya yang lagi-lagi menghentikan langkahnya untuk pergi. "Kalau kamu pergi lalu menceritakan semua persoalan kita pada ibu, apa yakin semua akan selesai?" "Setidaknya mereka tahu kelakuanmu." Ardi mengusap wajah kasar, ia masih mencoba tidak terpancing emosi atas sikap istrinya itu. Ardi maju beberapa langkah hingga tepat di depan Riri. Perlahan meraih tangan Riri dan menjatuhkan tas yang dipegang oleh Riri. Tatapan Ardi lekat pada dua netra yang sudah mengering, tak ada lagi air mata bagi Riri meski hatinya sudah terasa perih. "Tetaplah disini, aku akan menjelaskan semuanya." Riri masih bergeming, terpaku dalam bayangan kisah cintanya dengan lelaki yang akhirnya menikahinya itu. Perjalanan yang terbilang singkat memang hanya kurang lebih delapan bulan sampai menikah. Riri mantap menikah bukan tanpa sebab karena melihat keseriusan
Getar ponsel dengan nada berbeda membuat Riri segera melepaskan cengkraman tangan Ardi yang sudah lemas. Panggilan dari Laras adalah hal yang paling ditunggu saat ini, beruntung Riri punya teman jago IT seperti Laras hingga ia merasa punya penyelidik yang handal. Bergegas menjauh dari Ardi, Riri mengangkat telepon itu."Dari hasil penyelidikan hari ini, Bayu suami si perempuan itu akan pulang akhir pekan ini usahakan kamu jangan dulu kemana-mana. Kita mainkan semuanya.""Oke." "Telepon dari siapa?" Riri terkejut dengan segera ia mematikan telepon itu dan memasukkannya ke dalam saku. Riri mencoba bersikap tenang, lalu ia mengulas senyum manis. Perubahan sikap yang terlalu cepat membuat Ardi heran, tapi Riri tak putus asa untuk membuat semua terlihat baik-baik saja. "Dari klien ku." "Klein ku, sejak kapan kamu menerima konsultasi lagi.""Ah, itulah mas. Mas Ardi itu terlalu ngurusin hidup orang sampai kegiatan istrinya pun lupa padahal aku pernah mengirim pesan izin untuk menerima p
"Aku yakin Laras, mereka bukan hanya sekedar bersahabat. Dugaanku selama ini kemungkinan besar sudah tepat.""Tapi kamu sendiri kan yang bilang kemungkinan foto itu diambil sudah lama.""Tapi Mas Ardi masih menyimpannya, untuk apa?"Laras terdiam, prasangka temannya itu tak mungkin salah apalagi setelah melihat bukti foto yang sengaja Riri ambil dari ponsel Ardi saat Ardi tak sadarkan diri kemarin. Riri memang perempuan pendiam, tapi dalam diamnya Riri selalu mampu bekerja dengan baik pula.