Share

Bagian Empat

"Istriku marah, dia sudah cemburu berat sama kamu."

"Hahaha… wajarlah, mungkin kita terlalu intens bertemu. Tapi kan aku cuma ketika butuh bantuan kamu aja gak tiap waktu." 

"Iya, tapi sayangnya tiap kamu butuh itu istriku juga butuh aku, jadi maaf kalau aku beberapa hari ini gak bisa bantu kamu."

"Yah, mau gimana lagi. Aku sudah harus merelakan sahabat yang aku punya sejak SMP, aku bantu dia ngerjain tugas-tugas sekolah, aku juga bantu kasih pinjam modal untuk usaha, sekarang mungkin sudah waktunya aku kasih dia ke perempuan lain yang tinggal enaknya." 

"Jangan gitu dong, Han. Aku tak bermaksud seperti itu."

"Tak apa, aku ngerti kok. Memang dari dulu kamu gak pernah peka sama aku, bee."

Tut tut tut

Panggilan pun terputus, Ardi menghela nafas berat. Ardi merasakan kekecewaan yang dalam pada diri Rianti, tapi dia pun tak bisa membiarkan Riri terus marah padanya. Ardi mengacak rambutnya dan berteriak meluapkan emosi yang menghantam jiwanya. 

Di tempat lain, Riri menyetujui ide Laras dna mereka menepi dari ramainya cafe garasi yang Laras punya, di kamar Laras mereka melakukan penyadapan dari nomor ponsel Rianti dan alamat email yang kebetulan Riri pegang karena suatu waktu Ardi pernah mengirim file melalui ponselnya ke email Rianti dan itu kali seakan petunjuk Tuhan untuk mempermudah semuanya. 

[Aku ditemani Bu Ika, mas. Dede sakit]

[Kamu pergi ke rumah sakit sama Bu Ika pakai apa?]

[Pakai mobil Bu Ika, mas.]

[Oh, iya. Hati-hati ya. Maafkan mas]

[Tenang saja mas, mas baik-baik ya disana]

Hueksss…

Mendadak seperti ada yang ingin keluar dari perut Riri ketika membaca pesan Rianti dan Bayu, suaminya. Dugaan Riri benar dan ucapan Ardi soal Rianti yang tak mungkin terbuka sama suaminya itu juga tepat, semua sudah mulai terbuka. 

"G1l4 ya tuh cewek, asli dia yang bermasalah Ri." 

Laras pun gak kalah keselnya membaca pesan itu, terlihat jelas Rianti berdusta dan semakin terlihat berdusta ketika terus Laras membaca pesan itu, sementara Riri memilih berhenti, dia merasa bersalah sudah marah besar pada suaminya itu. Karena suaminya mungkin memang merasa menjalankan amanah saja tak ada rasa apapun dan hanya sebatas membantu saja. Justru kini Riri merasa kasihan sama suaminya itu semua pengorbanannya tak diindahkan oleh sahabat yang selalu disanjungnya itu. 

"Jangan bilang kamu mulai simpatik sama suami kamu?" selidik Laras. 

Riri menghela nafas, ia tak bisa menyembunyikan perasaan itu di depan sahabatnya sendiri. 

"Dengar Ri, ini belum cukup kuat buat bilang kalau Ardi gak ada feel apa-apa sama cewek itu. Oke, aku ngerti kamu pasti bisa percaya begitu saja. Tapi please, Ri. Jangan berhenti sampai disini, kamu perlu banyak bukti buat membongkar semuanya."

Laras terus menyemangati sahabatnya itu, bagi Laras ini bukan soal hatinya yang sama-sama perempuan. Tapi ini soal kasih sayang, Riri bukan hanya seperti sahabat bagi Laras tapi lebih dari itu, bahkan orang tua mereka pun jadi sangat dekat karena kedekatan mereka.

Mendengar hal itu terjadi pada sahabatnya tentu saja membuat Laras ikut merasakan sakitnya. 

"Bu Ika itu siapa sih, Ri?" 

"Tetangga Mbak Rianti yang suka bantuin dia di rumah." 

"Lha, itu ada tetangganya ngapain minta tolong suami kamu terus tapi sama suaminya bilang pergi sama tetangganya itu. Hadeuh, akhir zaman ini cewek." 

"Eh, kalau kita lihat percakapan Mbak Rianti sama Mas Ardi bisa?" tanya Riri

Laras menatap serius pada dua netra yang sembab itu. Sudah bisa menduga jika sahabatnya itu sudah menghabiskan air mata sebelum bertemu dengannya. 

"Are you sure?" 

Riri menggeleng lemas, padahal ia pun tak tahu akan sekuat apa. Tapi selama ini dia selalu membuka pesan dari Rianti dan tak ada yang mencurigakan. 

"Kalau nemu sesuatu janji jangan nangis, matamu sudah gak jelas kayak gitu." 

"Iya, janji. Lagi pula aku sudah pernah lihat sih, cuma penasaran aja."

"Ah, baiklah. Tolong kuatkan diri ya."

Riri mengurut dada, ia meraup udara sebanyak mungkin agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Laras dengan cekatan melakukan aksinya, beberapa kali berhenti menatap kembali Riri tapi Riri memberikan keyakinan seolah-olah dia siap jika menemukan hal yang membuat hatinya sakit. 

Dering ponsel membuyarkan ketegangan yang terjadi antara keduanya, Riri merogoh sakunya, di layar tertulis nama Mbak Rianti. 

"Ngapain cewek itu nelepon kamu?" 

Riri mengangkat bahunya. Ia pun tak tahu tujuan apa perempuan yang membuat dirinya dan suaminya bertengkar menghubunginya. Sengaja Riri mengeraskan volume suara ponselnya. 

"Halo mbak," sapa Riri lembut seperti biasa.

"Halo, Ri. Ri, kamu marah sama Ardi karena dia nganter aku ke rumah sakit?" 

"Nggak mbak, kenapa? Oh. Iya. Gimana adik Gibran, sehat?" 

"Nggak usah sok perhatian kamu. Dengar ya Ri, aku itu sudah mengenal suami kamu jauh sebelum kamu bertemu dengan dia. Wajar dong kalau aku minta tolong dia, dia bisa kayak sekarang juga karena siapa sih. Kamu tuh cuma tinggal enaknya aja banyak nuntut."

Riri menahan diri untuk tidak terpancing emosi, membiarkan Rianti terus mengungkit semua jasanya atas kesuksesan yang diraih Ardi. Merasa dirinya paling berpengaruh dalam kesuksesan Ardi, Laras pun mendukung Riri untuk tetap diam dan tenang, tanpa diketahui diam-diam Laras merekam percakapan itu. 

"Mbak, aku tak pernah marah. Dan tak perlu selalu mengungkit sesuatu yang sudah terjadi padahal itu semua belum tentu bisa terjadi tanpa campur tangan Tuhan, mbak. Oh ya, sekali lagi terima kasih sudah memberikan lelaki yang sudah mapan untukku, tapi jika tidak ikhlas silahkan ambil lagi, saya ikhlas." 

Gelak tawa di seberang sana membuat Riri tertegun dan heran. 

"Jangan nantang kamu, kalau benar terjadi bisa bunuh diri kamu."

Laras mendelik kesal, dia nyari akan bersuara tapi segera ditutup oleh Riri. Riri pun segera menutup panggilan itu. 

"Fix, dia cewek bermuka dua. Kamu berhadapan sama ular, Ri. Tenang, aku bersama pawang ular."

Riri tertawa kecil ketika melihat sahabatnya itu menepuk dada lalu menggeliat kayak ular. 

"Nah, gitu dong ketawa. Rileks, tenang saja. Kita binasakan si ular betina yang sok cantik itu."

Laras memeluk sahabatnya itu, keduanya saling menguatkan. Beruntung Riri memiliki sahabat seperti Laras, hingga ia pun bisa kembali kuat untuk menghadapi permasalah rumah tangganya. 

Tak berselang lama ponsel Riri kembali berdering, kali ini Ardi yang melakukan panggilan video. Riri ragu untuk mengangkatnya. 

"Wih, kompak ya mereka. Jangan-jangan emang jodoh."

Riri mendelik ke arah Laras, seketika Laras tersenyum nyengir sambil mengangkat dua jarinya.

"Hehehe…. Sabar bu, jangan marah."

Ponsel Riri terus berdering, Laras kemudian menatap lekat pada Riri dan memegang tangannya. 

"Dengarkan aku, Pilihannya ada dua, kamu lari dari masalah atau kamu mau menghadapinya," ucap Laras. 

Riri menarik nafas panjang meraup udara sebanyak yang ia butuhkan untuk membuat dadanya yang kian sesak menjadi lega. Lalu dia mengklik tombol hijau itu. 

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
Riri klu qm masih kasih kesempatan Ardi suatu nanti pasti akan mengulangi lagi deh
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
perempuan sialan......
goodnovel comment avatar
PiMary
Gitu dong hadapi masalah,jgn mlh mabur...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status