Bab 145
Dengan cepat Bik Lasmi masuk ke kamar dan menghubungi seseorang. "Halo, Non Debbie!" Bik Lasmi antusias ketika menyaksikan panggilannya dengan cepat di tanggapi oleh Debbie. "Ya, Bik. Ada apa?" "Apa non Debbie sudah melakukan sesuatu? Maksudku semacam laporan atau gimana gitukan. Soalnya Bibik mendengar ada suara mobil polisi tuh." "Belum, Bik. Lagian kan kalo polisi pengen ke sana rasanya nggak mungkin juga mereka nyalain sirine." jawab Debbie. "Haa? Jadi ...?" Bik Lasmi nampak kecewa. Habis sudah harapannya untuk menerima transferan dari Debbie. Sesuai perjanjian, jika kiatnya berhasil, maka ia akan segera menerima imbalan. Itulah poin terpenting yang ingin di kejar oleh Bik Lasmi. "Sabar dulu, Bik. Sedang ku usahakan agar lebih cepat." ucap Debb
Bab 146Dengan bergegas Zea melangkah sembari merogoh tas yang ia sandang di bahunya.. "Ini orang nggak sabaran banget sih. Tadi juga udah dibilang kalau jam berapa gitu kan. Buru-buru amat dia orangnya. Ketahuan kalau kebelet tuh orang." Zea setengah menggerutu. Dengan cepat Zea memeriksa ke arah layar ponsel. "Hah kok bukan dia? Siapa lagi ini? Hmm ... palingan juga dari pria yang lain yang ingin segera mendapatkan jam jatah dari aku." Zea tersenyum-senyum sendiri."Dia nggak tahu apa, kalau aku lagi ada job sama laki-laki lain. Kan udah di kasih tahu lewat status tadi." Zea masih menggerutu panjang. Dengan cepat Zea mematikan telepon tersebut. Dan berniat ingin kembali menghampiri Debbie.Akan tetapi baru saja beberapa langkah kakinya beringsut, panggilan tersebut muncul kembali. Deng
Bab 147Zea tak mampu untuk berucap. Demikian juga dengan Bagas di ujung sana. Hanya sesekali terdengar isak tangis Bagas yang tertahan. Zea menyandarkan tubuhnya pada dinding hotel. Badannya lemas. Serasa tulang-tulang di punggungnya sudah tak mampu lagi untuk menopang bobot tubuhnya. Akhirnya Zea membungkukkan tubuh dengan menekuk lutut. Setetes airmata jatuh dari matanya yang tadi memerah. Tidak ada lagi cerocos tajam yang menghina dan merendahkan Bagas. Yang ada sekarang hanyalah kepiluan. Tuut ... tuut ...tuut! Panggilan tersebut terputus. Rupanya Bagas yang memutuskan sambungan seluler tersebut. Batin Zea semakin sakit.Kejadian beberapa tahun yang lalu kembali terbayang di pelupuk mata.***"Maa! Mama mau kemana? Roni ikut ya!" seorang anak kecil berlari mengejar Zea yang bersiap menuju mobil mewah yang
Bab 148Sedangkan Debbie, seusai mengantarkan lelaki tersebut, gadis itu kembali berlalu."Arza?""Ya, ini aku." "Kenapa kau kembali menemuiku. Aku tidak sedang menunggumu, Arza." "Ya, tapi kali ini aku membutuhkan bantuanmu." ucap Arza. "Bantuan apa?" "Temani aku hari ini! Pikiranku sedang kacau. Aku membutuhkan seseorang sepertimu untuk meringankan bebanku." ujar Arza. "Tidak bisa!" tolak Zea tegas. "Kenapa?" "Aku juga sedang banyak pikiran. Tidak bisa diganggu. Aku benar-benar kacau sekarang." balas Zea."Hari ini saja!" Arza coba tetap memaksa. "Aku bilang tidak bisa, tetap tidak bisa." Zea meringis. Ada sesuatu yang mengganggu dari area kewanitaannya. Agak perih. Sudah beberapa lama ia meras
Bab 149 Ada apa, Pak?" Debbie kaget dengan sikap laki-laki di hadapannya yang berubah secara mendadak. "Ah tidak. Tidak ada apa-apa. Cuma mata ini agak kurang enak. Sepertinya hanya kelilipan kali." Arza menyebutkan alasan sekenanya saja. masih terlalu berat baginya untuk berkata jujur.Sementara dalam hati, Arza sedang memikirkan sesuatu yang lain. "Apa dia ini benar-benar Debbie? Putriku yang dulu terlahir dari rahim Zorah? Astaga ... artinya? Artinya aku hampir saja meniduri putriku sendiri, darah dagingku sendiri." Arza masi belum bisa bersikap normal di hadapan Debbie. Debbie semakin mencium adanya kejanggalan. "Pak, Anda tidak bisa berbohong. Jika Bapak tengah menyimpan sesuatu dariku, katakan saja!" Debbie mendekat. Arza semakin gelisah, merasa terlalu diintegorasi oleh pertanyaan Debbie.
Bab 150"Apa aku tidak salah dengar?" Debbie tak percaya. "Tidak, Debbie." Debbie yang mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Arza tidak bisa percaya begitu saja."Ha ... ha..." tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa lepas."Jangan bercanda kamu," "Aku tidak bercanda, Debbie." "Lalu? Oooh ... aku tahu sekarang, mungkin saja kau sedang menghalu. Atau, atau kau adalah lelaki yang mengidap kelainan mental?" mata Debbie membulat. "Astagaaa ... Mengapa Zea menghubungkan aku dengan pria yang tak waras macam kamu. Wajar saja jika sedari tadi kau tampak aneh. Rupanya kejiwaanmu tidak normal." Debbie memperbaiki kancing blezzernya. "Tidak, Debbie. Aku tidak gila. Aku normal. Ini aku, Arza. Aku ayahmu. Kau tentu masih ingatkan? Dulu kita pernah
Bab 151 "Debby jangan bicara seperti itu! Jangan bersikap durhaka kepada orang tua." Debbie yang mendengarnya dibuat tertawa terkekeh. Gadis itu kembali menyeruput minuman yang tersaji di atas meja. Kemudian, dengan santainya wanita tersebut menghisap rokok dalam-dalam. "Apa kau telah merasa menjadi orangtua yang baik untukku?" Debbie bertanya balik. "Tidak begitu juga. Tapi sekarang aku sedang berusaha untuk menjadi ayah yang baik buatmu!" jawab Arza. "Haduuh! Sebaiknya kamu tidak usah terlalu banyak bicara orang tua! Orang sepertimu mana tahu caranya untuk menjadi orang tua yang baik.""Orang tua yang baik tidak hanya bisa berpikir tentang anak durhaka! Tapi mereka juga tahu bahwa ada yang namanya orang tua durjana. Salah satu orang tua durjana seperti itu adalah kau!" Arza gugup. Sungguh i
Bab 152 Malam ini Zea gelisah dan bingung terhadap kondisi yang tengah ia rasakan. Rasa perih, gatal, nyeri, di iringi dengan keluarnya cairan beraroma tak sedap dari area sensitif, semakin membuat kekhawatiran perempuan itu semakin memuncak.Di samping itu, ucapan Bagas akan berita kepulangan Roni kembali ke pelukan sang Maha Kuasa, semakin menambah pilu hatinya. Teringat kembali bayang-bayang wajah Roni yang dulu begitu imut dan menggemaskan. Ada setitik penyesalan menyentuh mata hati Zea. Wajah imut dan menggemaskan itu jarang sekali terkena sentuhan lembut seorang ibu. Yang ada hanyalah tatapan mata sinis dan sentuhan tangan tak bersimpati yang anak kecil itu dapatkan dari wanita yang ia panggil "Mama". Dalam diamnya, ada buliran bening yang mengalir perlahan dari sudut mata. Buliran bening yang mengiringi ingatan dari masa lalu yang tak akan pernah bisa terulang k
Bab 153 "Cukup, Mbak! Aku sudah tahu bagaimana sifat asli Mbak yang sebenarnya. Baiklah aku akan pergi sekarang juga! karena seandainya aku mau, aku bisa menyewa apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen ini! Jangan Mbak pikir aku tidak mampu melakukan itu"tandas Debby menyombongkan diri. Dengan kondisi menahan sakit, Zea perlahan bangkit. Dengan berusaha menahan sabar, ia duduk di sisi tempat tidur. Nafasnya kian tak teratur. "Baiklah Debbie, jika kau memang mampu membayar apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen yang aku sewa ini, mengapa tidak sedari dahulu saja kau melakukannya? Sehingga dengan demikian kau tidak perlu repot-repot menumpang di sini. Lagipula aku memang merasa keberatan jika terus-menerus direpotkan oleh wanita yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu." ucapan Zea menusuk jantung Debbie. Gadis itu menggenggam jari-jarinya erat.