Bab 147
Zea tak mampu untuk berucap. Demikian juga dengan Bagas di ujung sana. Hanya sesekali terdengar isak tangis Bagas yang tertahan. Zea menyandarkan tubuhnya pada dinding hotel. Badannya lemas. Serasa tulang-tulang di punggungnya sudah tak mampu lagi untuk menopang bobot tubuhnya. Akhirnya Zea membungkukkan tubuh dengan menekuk lutut. Setetes airmata jatuh dari matanya yang tadi memerah. Tidak ada lagi cerocos tajam yang menghina dan merendahkan Bagas. Yang ada sekarang hanyalah kepiluan. Tuut ... tuut ...tuut! Panggilan tersebut terputus. Rupanya Bagas yang memutuskan sambungan seluler tersebut. Batin Zea semakin sakit.Kejadian beberapa tahun yang lalu kembali terbayang di pelupuk mata.
***"Maa! Mama mau kemana? Roni ikut ya!" seorang anak kecil berlari mengejar Zea yang bersiap menuju mobil mewah yangBab 148Sedangkan Debbie, seusai mengantarkan lelaki tersebut, gadis itu kembali berlalu."Arza?""Ya, ini aku." "Kenapa kau kembali menemuiku. Aku tidak sedang menunggumu, Arza." "Ya, tapi kali ini aku membutuhkan bantuanmu." ucap Arza. "Bantuan apa?" "Temani aku hari ini! Pikiranku sedang kacau. Aku membutuhkan seseorang sepertimu untuk meringankan bebanku." ujar Arza. "Tidak bisa!" tolak Zea tegas. "Kenapa?" "Aku juga sedang banyak pikiran. Tidak bisa diganggu. Aku benar-benar kacau sekarang." balas Zea."Hari ini saja!" Arza coba tetap memaksa. "Aku bilang tidak bisa, tetap tidak bisa." Zea meringis. Ada sesuatu yang mengganggu dari area kewanitaannya. Agak perih. Sudah beberapa lama ia meras
Bab 149 Ada apa, Pak?" Debbie kaget dengan sikap laki-laki di hadapannya yang berubah secara mendadak. "Ah tidak. Tidak ada apa-apa. Cuma mata ini agak kurang enak. Sepertinya hanya kelilipan kali." Arza menyebutkan alasan sekenanya saja. masih terlalu berat baginya untuk berkata jujur.Sementara dalam hati, Arza sedang memikirkan sesuatu yang lain. "Apa dia ini benar-benar Debbie? Putriku yang dulu terlahir dari rahim Zorah? Astaga ... artinya? Artinya aku hampir saja meniduri putriku sendiri, darah dagingku sendiri." Arza masi belum bisa bersikap normal di hadapan Debbie. Debbie semakin mencium adanya kejanggalan. "Pak, Anda tidak bisa berbohong. Jika Bapak tengah menyimpan sesuatu dariku, katakan saja!" Debbie mendekat. Arza semakin gelisah, merasa terlalu diintegorasi oleh pertanyaan Debbie.
Bab 150"Apa aku tidak salah dengar?" Debbie tak percaya. "Tidak, Debbie." Debbie yang mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Arza tidak bisa percaya begitu saja."Ha ... ha..." tiba-tiba terdengar gadis itu tertawa lepas."Jangan bercanda kamu," "Aku tidak bercanda, Debbie." "Lalu? Oooh ... aku tahu sekarang, mungkin saja kau sedang menghalu. Atau, atau kau adalah lelaki yang mengidap kelainan mental?" mata Debbie membulat. "Astagaaa ... Mengapa Zea menghubungkan aku dengan pria yang tak waras macam kamu. Wajar saja jika sedari tadi kau tampak aneh. Rupanya kejiwaanmu tidak normal." Debbie memperbaiki kancing blezzernya. "Tidak, Debbie. Aku tidak gila. Aku normal. Ini aku, Arza. Aku ayahmu. Kau tentu masih ingatkan? Dulu kita pernah
Bab 151 "Debby jangan bicara seperti itu! Jangan bersikap durhaka kepada orang tua." Debbie yang mendengarnya dibuat tertawa terkekeh. Gadis itu kembali menyeruput minuman yang tersaji di atas meja. Kemudian, dengan santainya wanita tersebut menghisap rokok dalam-dalam. "Apa kau telah merasa menjadi orangtua yang baik untukku?" Debbie bertanya balik. "Tidak begitu juga. Tapi sekarang aku sedang berusaha untuk menjadi ayah yang baik buatmu!" jawab Arza. "Haduuh! Sebaiknya kamu tidak usah terlalu banyak bicara orang tua! Orang sepertimu mana tahu caranya untuk menjadi orang tua yang baik.""Orang tua yang baik tidak hanya bisa berpikir tentang anak durhaka! Tapi mereka juga tahu bahwa ada yang namanya orang tua durjana. Salah satu orang tua durjana seperti itu adalah kau!" Arza gugup. Sungguh i
Bab 152 Malam ini Zea gelisah dan bingung terhadap kondisi yang tengah ia rasakan. Rasa perih, gatal, nyeri, di iringi dengan keluarnya cairan beraroma tak sedap dari area sensitif, semakin membuat kekhawatiran perempuan itu semakin memuncak.Di samping itu, ucapan Bagas akan berita kepulangan Roni kembali ke pelukan sang Maha Kuasa, semakin menambah pilu hatinya. Teringat kembali bayang-bayang wajah Roni yang dulu begitu imut dan menggemaskan. Ada setitik penyesalan menyentuh mata hati Zea. Wajah imut dan menggemaskan itu jarang sekali terkena sentuhan lembut seorang ibu. Yang ada hanyalah tatapan mata sinis dan sentuhan tangan tak bersimpati yang anak kecil itu dapatkan dari wanita yang ia panggil "Mama". Dalam diamnya, ada buliran bening yang mengalir perlahan dari sudut mata. Buliran bening yang mengiringi ingatan dari masa lalu yang tak akan pernah bisa terulang k
Bab 153 "Cukup, Mbak! Aku sudah tahu bagaimana sifat asli Mbak yang sebenarnya. Baiklah aku akan pergi sekarang juga! karena seandainya aku mau, aku bisa menyewa apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen ini! Jangan Mbak pikir aku tidak mampu melakukan itu"tandas Debby menyombongkan diri. Dengan kondisi menahan sakit, Zea perlahan bangkit. Dengan berusaha menahan sabar, ia duduk di sisi tempat tidur. Nafasnya kian tak teratur. "Baiklah Debbie, jika kau memang mampu membayar apartemen yang jauh lebih mahal daripada apartemen yang aku sewa ini, mengapa tidak sedari dahulu saja kau melakukannya? Sehingga dengan demikian kau tidak perlu repot-repot menumpang di sini. Lagipula aku memang merasa keberatan jika terus-menerus direpotkan oleh wanita yang tidak tahu berterima kasih seperti dirimu." ucapan Zea menusuk jantung Debbie. Gadis itu menggenggam jari-jarinya erat.
Bab 154"Arza, apa yang telah kau lakukan terhadap Debbie? Mengapa anak itu malah marah-marah padaku?" ucap Zea dari sbungan panggilan seluler. "Tidak, Zea! Aku tidak melakukan apapun padanya." suara jawaban Arza terdengar dari ujung panggilan. "Bohong! Mengapa kau selalu mendatangkan masalah untukku, Arza? Kau tidak tahu apa sekarang saja keadaanku sangat buruk! Aku sedang sakit, malah Debbie tiba-tiba datang dan membuat keadaan semakin buruk. Semua itu karena ulahmu!" tuduh Zea. "Tidak! saya sungguh tidak melakukan kejahatan seperti apapun pada gadis tersebut." Arza tetap bersikeras dengan ucapannya. "Kalau kau tidak melakukan kesalahan apapun, dia pasti tidak akan marah-marah sedemikian besarnya padaku." serobot Zea tak senang. "Sebentar, apakah Debbie mengatakan padamu kesalahan apa yang telah kuperbuat?"
Bab 155 Zea duduk di sisi sofa menghadap televisi yang tengah menyala. Namun perhatian perempuan itu bukanlah tertuju pada layar televisi. Melainkan kembali teringat pada ucapan-ucapan dokter spesialis yang ia datangi tadi siang. "Aku akan ikuti semua saran dokter. Tak peduli jika aku harus mengeringkan isi rekening." Zea bertekad dalam hati. Untuk melakukan semua prosedur pengobatan, Zea sadar jika ia harus menguras banyak uang.Sekarang, yang menjadi masalahnya adalah, ia mempertanyakan apakah seluruh isi rekeningnya cukup untuk melakukan seluruh biaya pengobatan tersebut Atau tidak?Zea sadar, ia harus segera mencari bantuan. sebab uang di rekening yang telah jauh menipis akibat hidup foya-foyayang ia lakukan sebelumnya.Untuk mencoba mencari jalan keluar buat menghadapi kemungkinan tersebut, Zea menghubungi beberapa teman seperjuangan yang ia mili