Share

Terulang kembali

Aku tercekat saat menatap layar ponsel. Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini. 

Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikan ponsel itu untuk dibaca oleh Irma.

"Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku.

"Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma. 

Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat. 

Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan. 

"Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan. 

"Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."

Aku tidak salah, wanita di depanku adalah wanita tangguh yang memiliki tanggung jawab hebat. Biasanya, wanita seperti Irma terbentuk dari sebuah penyesalan dalam hidupnya.

"Ir, aku takut. Jujur saja aku takut menghadapi ini. Aku benar-benar tidak membayangkan jika aku harus dilanda rasa takut terus menerus."

"Tenangkan pikiran, Bu."

Aku mengikuti saran dari Irma. Aku harus kuat, jangan biarkan mereka menemukan titik lemahku. Aku terbentuk dari sebuah amarah, hingga membuat diri ini selalu membenci setiap perselingkuhan.

Irma sudah kembali ke ruangannya. Aku pun kini harus mengupulkan puzel yang berserakan tentang siapa yang berbuat itu padaku?

"Permisi, Bu." 

"Masuk."

"Saya mau minta tanda tangan Ibu, untuk sebuah acara karyawan."

Aku membaca detail, untuk apa acara ini? Arfian terus menatap ke sekeliling ruangan. Apa dia mencari-cari sesuatu, apa dia yang mengancamku?

Aku segera membacanya lalu memberikan pada Arfian. Pria muda di hadapanku masih tidak sadar jika aku memperhatikannya.

Jika benar, Arfian pelakunya, tidak segan aku akan membuatnya masuk jeruji. 

"Fian, ada apa?

"Tidak, aku hanya takjub dengan kinerja Anda, Bu. Dalam waktu singkat, berhasil menyingkirkan mereka yang korupsi." Arfian terus memuji, sampai aku mual mendengarnya.

"Itu biasa saja."

Setelah berbasa basi, Arfian keluar dari ruanganku. Dia sangat mencurigakan, di terus menelusuri sekeliling ruang kerjaku. 

Mas Bambang bercerita kalau Arfian itu sangat giat bekerja. Ia membuktikan walau dengan pendidikan yang tidak tinggi dirinya mampu bersaing dengan mereka yang memiliki gelar banyak.

Akan tetapi, Mas Bambang bilang jangan pernah percaya pada siapa pun yang ada di kantor ini. Semua penjilat, seperti Mas Wiji.

***

Aku dan Irma melangkah bersama untuk makan siang. Sari kejauhan terlihat Mas Wiji seperti ingin menghampiriku. Ada apa lagi, sih?

Dia menatap Irma yang kini berada di sampingku. Dasar mata keranjang, melihat wanita bening saja sudah tidak tahan matanya. 

Pantas saja mudah tergoda dengan Rianti. Ah, membayangkan hal itu membuat aku muak. Perselingkuhan yang menyesakkan dada.

"Raisa, kita harus bicara."

"Maaf, aku mau makan siang, tidak bisa."

"Sekali saja."

Apa yang akan dibicarakannya? Pasti dia mau merayu untuk memperbolehkan tetap berada di posisi dia yang dulu. Aku memberi kode pada Irma untuk menjauh sementara.

Namun, Mas Wiji ingin kami berbiacara di ruang kerjaku. Lebih santai katanya. Kali ini aku mengikuti kemauan pria itu. 

"Silahkan, mau bicara apa?" tanyaku cepat.

"Sa, aku tahu kamu sekarang sangat membeci aku, tapi jangan mematikan rezekiku. Aku tidak mau menjadi bawahan."

"Oh, jadi kamu memilih jeruji besi?"

"Sa." 

"Mas, asal Mas tahu, hidupku dulu lebih menderita dari Mas. Masih untung, Mas bisa bekerja. Sementara, aku, apa Mas tahu bagaimana aku menjalani hidup saat Mas dengan tega mengusirku!"

Mas Wiji terdiam. Biar saja dia berpikir aku jahat, tapi siapa yang lebih jahat, aku atau dia. Berselingkuh dengan sepupuku, apa dia tidak punya otak?

"Maafkan aku, Sa. Aku mau menebus semuanya. Bagaimana kalau kamu kembali padaku?"

"Apa? Kamu gila, ya, Ma?"

"Nggak kok, Sa. Aku waras. Kamu ambil semua kekayaan milik suamimu, nanti aku bantu menyingkirkannya."

Aku menggebrak meja. Dia pikir aku seperti dia. Demi Allah, aku tidak seperti apa yang dipikirkan Mas Wiji. Mana mungkin aku menyingkirkan Mas Bambang, sedangkan dia begitu baik.

Orang seperti Mas Wiji harus secepatnya di basmi karena meresahkan juga.

"Jangan pikir aku mau mengikuti apa yang kamu mau. Nggak punya otak apa kamu, Mas?"

"Alah, jangan munafik. Aku tahu kamu pun mengincar harta kekayaan suamimu. Lagi pula, kamu cantik. Kalau dia mati, banyak meninggalkan kekayaan." Mas Wiji bersedekap di hadapanku.

Semua perkataannya sangat tidak logis. Enak saja meminta kembali, setelah apa yang kamu lakukan padaku. Aku mau kamu mengikuti mempermainkan kamu.

Aku sangat berterimakasih pada Mas Bambang. Karena dia, anakku bisa hidup kayak. Aku bisa berada di titik seperti ini. Enak saja dia mau merusak kepercayaan Mas Bambang padaku.

Aku tidak akan pernah kembali padamu. Jika aku jatuh miskin sekali pun, aku tidak akan pernah mau kembali pada Mas Wiji.

"Kamu tidak perlu mengotori tanganmu, biar aku yang melakukan. Semua beres, setelah itu, kita bisa kembali bersama. Menjadi keluarga utuh untuk Arman."

Percaya diri sekali dia. Jangan harap Mas aku mau bersama kamu lagi. Melihat wajahmu saja aku muak. Apalagi kembali berumah tangga denganmu.

Arman pun tidak akan mau memiliki ayah seperti Mas Wiji. Dia akan memilih Mas Bambang yang baginya adalah segala-galanya.

"Cukup, ya, Mas. Jangan sampai kamu membuat aku marah. Kamu simpan saja ide jahatmu! Silahkan keluar!"

"Sa, pikirkan lagi."

"Maaf, nggak akan aku melakukan hal bejat seperti itu. Dan, berhenti mengkhayal kembali padaku. Sampai kapan pun aku tidak mau kembali padamu."

"Sombong, sekali kamu."

Mas Wiji keluar dari ruanganku, pintu terbanting keras. Dia pikir aku akan setuju dengan semua ide liciknya. Mana bisa di percaya mulut pria macam Mas Wiji.

Aku kembali menemui Irma. Waktu begitu cepat, gegas aku beranjak pergi. 

"Ir, kita makan di luar saja. Saya nggak nyaman makan di sini."

"Iyalah, Ibu kan CEO di sini. Masa makan di kantin."

"Ah, kamu bisa saja."

Aku melangkah bersama Irma menyusuri gedung perusahaan ini. Semuanya bagus, dan masih begitu baik.

Sengaja aku memfasilitasi Irma mobil, kebetulan ia pun bisa mengendarainya. Aku masuk ke dalam mobil, kemudian meninggalkan gedung itu.

Salut sekali aku dengan wanita cantik di sampingku. Semua dia lakukan dengan baik. Aku memperhatikan mobil dibelakangku, ah sial. Sepertinya kejadian seperti kemarin akan terulang kembali.

"Irma, hati-hati," ucapku.

"Baik, Bu."

Irma mengemudikan dengan kecepatan tinggi. Namun, mobil di belakangku juga ikut memepet kami. Irman sekuat tenaga memutar setir, memutar arah berbelok. 

Sial, semakin kita kencang, mobil itu pun semakin kencang. Sampai akhirnya, Irma mengerem mendadak membuat aku terkesiap. Mobil itu berada di depan mobil kami.

"Bagaimana ini, Irma?" tanyaku lirih.

Aku takut, iya sangat takut. Orang di dalam mobil keluar dengan wajah yang di tutup. Tanganku dingin, sedangkan Irma masih terdiam.

"Turun!" 

"Tenang, ya, Bu. Saya akan turun, Ibu kunci saja pintu mobil. Takut ada yang lain."

"Ta-tapi, bagaimana dengan kamu?" Aku sangat cemas dengan Irma. Bagaimana kalau dia terluka?

***Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dewi Sekardadu
Exellent parah
goodnovel comment avatar
Deltha FY SPd
Kren alur cerita yg bgus jd penasaran nch
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status