Share

Menemukan Buku Tulis

Tanganku bergetar saat memegangi buku tulis ini. Apa yang dituliskan oleh Tika membuatku menyesal. Di dalam buku itu, ia mengatakan kalau selama ini selalu mencintaiku dan anak-anak.

Namun, tidak begitu denganku yang sibuk dengan Cynthia dan anak kami. Aku menyangka kalau Tika sudah tak mencintaiku lagi. Ia sering membuat masalah hingga akhirnya kami bercerai.

Kubaca kembali kata demi kata yang ia tuliskan di sana. Banyak makna yang tersirat di dalamnya. Ia mengatakan buku hariannya telah hilang, itu berarti aku memang harus mencari buku harian istriku.

Kemudian, ada yang menggelitikku di kalimat terakhirnya yang mengatakan kalau ia bisa pergi dengan tenang. Apa maksud dari semua ini?

Perasaan bersalah bercokol dalam hatiku. Bila saja aku tak bercerai dengannya, mungkin takkan seperti ini. 

Bila saja aku tak menurutinya untuk menikah lagi, mungkin takkan seperti ini juga.

Bila saja aku lebih peduli padanya, mungkin ia masih di sini.

Hening, semua sudah tak ada di sini. Rumah ini, tempat di mana kami memadu kasih, membina keluarga dan mendapatkan keturunan. Ia yang selalu menyambutku pulang bekerja serta tersenyum di saat aku butuh sandaran.

"Yah, kenapa? Itu apa, Yah?" tanya Faiz. Ternyata Faiz datang, pasti dengan Cynthia.

"Buku, di dalamnya ada tulisan Bunda. Oya, kamu pernah lihat Bunda nyimpen buku hariannya nggak?" tanyaku pada Faiz.

"Buku harian kayak gimana sih, Yah?" tanyanya sembari mendekatkan wajahnya padaku.

"Bukunya lebih kecil daripada buku tulis biasanya," jawabku pada anak laki-laki kami yang berusia sembilan tahun itu.

"Nggak, Yah. Aku nggak pernah liat. Bunda biasanya suka nulis di buku punyaku, Yah. Kalau aku habis ngerjain PR sama Bunda, terus Bunda suka nasehatin aku lewat tulisan," katanya.

"Oh gitu. Nanti Ayah mau lihat ya!"

"Iya, Yah. Kata Bunda biar bisa dilihat lagi pesan Bunda suatu saat aku lupa," jelas Faiz.

Anakku yang kedua--Kia, memperhatikan kami bicara. Ia pun dekat dengan bundanya.

"Bunda juga suka nulis di bukuku. Tapi aku bacanya masih dieja, jadi belum baca semua," katanya.

Ternyata memang seperti itu cara istriku berkomunikasi dengan anak-anak. Ia menyampaikan pesan di buku tulis mereka agar anak-anak bisa membacanya sewaktu-waktu.

"Baiklah. Nanti Ayah lihat ya!" 

Kami melanjutkan untuk mencari petunjuk lain mengenai ketiadaan Bunda mereka. Kali ini Faiz malah menemukan sebuah amplop putih yang ia dapatkan dari dalam laci meja riasnya.

Di sana, kami menemukan sepucuk surat.

Buat Mas Wahyu dan anak-anak.

Saat kalian baca surat ini, Bunda sudah tak ada di dekat kalian. Bunda tak mau mengganggu hidup kalian.

Tolong jangan cari Bunda, karena Bunda baik-baik saja.

Suatu saat mungkin kita akan bertemu lagi.

Semoga Ayah dan anak-anak sehat selalu sehat. Bunda sayang kalian semua.

  - Bunda-

Badanku tiba-tiba terhuyung di atas ranjang. Saat ini hanya ada satu kalimat dalam hati ini kalau aku harus mencari Tika, yang kini telah menjadi mantan istriku.

"Ayah kenapa?" tanya Faiz saat aku menahan tangis. Ya, saat ini dengan sekuat tenaga aku menahan tangis agar tidak pecah di depan anak-anak.

"Ayah hanya pusing sedikit."

"Ayah memikirkan Bunda dan kangen sama Bunda, kan?" Faiz duduk di pangkuanku.

"Ya, Ayah sedang memikirkan Bunda." Aku mengatakan sembari memeluk Faiz dari posisi dudukku.

"Apa? Kamu mikirin Tika terus, Mas?" tanya Cynthia. Ia dari tadi udah datang, tapi hanya Faiz dan Kia yang membantuku mencari titik terang tentang keberadaan Tika.

"Ya wajar lah. Dia kan ibu dari anak-anakku, Dek."

"Setelah apa yang ia lakukan padamu? Dan Tika itu tak pantas untuk dipikirkan karena ia tidak memikirkanmu, Mas. Kalian bukan suami istri juga dan sudah tidak halal jika ada rindu diantara kalian," sahutnya.

Suara Cynthia kali ini lebih tinggi dariku. Tika tak pernah seperti ini dulu. Aku jadi selalu membandingkan keduanya, karena Cynthia ini, walau istri kedua, rasa cemburunya berlebihan. Menurutku tidak wajar dan aku tak suka dengan sikap seperti itu.

Belum lagi, itu tak mendidik bagi anak-anak. Mereka melihat ibu sambungnya tak menghormati Bunda mereka nanti. Bisa-bisa ia malah dibenci oleh Faiz dan Kia nantinya.

Kali ini aku membawa Cynthia keluar dari kamar. Di luar kuperingatkan ia agar berhati-hati bicara karena ada kedua anakku.

"Dek, tolong bicara lebih sopan dan lembut. Ada kedua anakku tadi. Kalau mau marah boleh, tahan dulu sampai mereka tak ada diantara mereka," sahutku memperingatkannya.

Cynthia diam. Ia kupastikan takkan mengulanginya lagi nanti.

"Baiklah, Mas."

"Ingat ya! Jangan dilakukan lagi!" 

Ia mengangguk pelan. 

"Ayo kita pulang, Mas! Ngapain di sini terus," ucapnya. "Oya, Mas. Lebih baik dijual saja rumahnya. Atau barang-barangnya saja dijual nanti rumahnya dikontrakkan."

Keterlaluan banget Cynthia. Ia malah cari-cari masalah dengan membahas rumah ini yang bukan urusannya. Rumah ini banyak kenangannya. Aku belum memikirkan sampai sana, siapa tau nanti Tika akan kembali ke sini.

"Aku tak memikirkan sampai sana, Tia! Kurasa kamu sudah keterlaluan, malah ikut campur mengenai rumah ini," ungkapku.

"Mas, aku istrimu. Wajar jika ikut campur masalah rumah. Ini kan rumah suamiku, jadi aku berhak memberikan usul padamu, Mas!" Cynthia menaikkan volume suaranya lagi.

"Asal kamu tau, ini bukan rumahku. Rumah ini kepemilikannya atas nama Tika Lestari. Aku tak berhak untuk menjual ataupun mengontrakkan rumah ini."

Cynthia membulatkan matanya, mulutnya bergerak. Ia sekarang diam.

"Puas?" tanyaku lagi.

"Nggak! Mas tega, rumah ini diberikan atas namanya Tika. Rumah yang kita tempati masih atas namamu. Kamu pilih kasih, Mas. Aku tak terima semua sikapmu," balas Cynthia.

Maunya apa sih orang ini? Sudah jelas kubilang kalau rumah ini bukan punyaku. Ia pikir rumah ini tadinya rumahku, kuberikan pada Tika. Ia tak tau sejarah rumah ini.

Lebih baik kutinggalkan Cynthia, kupanggil kedua anakku untuk segera kembali ke rumah kami yang sekarang.

"Mas!" panggil Cynthia. Ia terus-menerus memanggilku. Biarkan saja, nanti juga capek.

"Yuk, anak-anak kita pulang sekarang!" Kuhampiri anak-anak yang masih di kamar.

"Iya, Yah."

Saat melihat lemari, kuteringat ia sering menyimpan perhiasan di lemari, lalu mencoba cari perhiasan milik mantan istriku. 

"Sebentar anak-anak!" Kubuka lemari dan mencari perhiasan yang biasa ia simpan di dalamnya. Aku tau persis ia sering menyimpan dimana.

Saat kutemukan kotaknya, sudah kosong. Tak ada isinya. Siapa yang mengambilnya? Mungkin saja ia bawa perhiasan itu dengannya. Kalau memang begitu, itu lebih baik.

Masih ada baju-baju Tika yang tersimpan, ia tak membawa semua bajunya. Kututup kembali lemari yang sudah kubuka. Namun, perhatianku tertuju pada kantong plastik bening diantara tumpukan baju.

Apa itu?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status