Share

Saat Wahyu Menikahi Cynthia

"Maaf, Mas. Mas Wahyu kan harus lebih sering dengan Cynthia. Ia masih baru menikah denganmu, pasti lebih membutuhkan bimbinganmu, Mas. Seperti aku dahulu," sahutnya.

Ada aja alasan yang ia kemukakan agar aku selalu dekat dengan Cynthia. Ia malah terkesan menghindariku. Padahal baru satu hari aku di rumah ini, tapi Tika sudah mau pergi.

"Jangan lama-lama ya, Dek! Kumohon! Aku sangat cinta sama kamu, dan aku pasti sangat merindukanmu nanti," bisikku tepat di telinganya.

"Kan tadi aku udah bilang, aku bakal pergi kurang lebih sebulan. Kamu mending fokus kerja dengan baik, jaga Cynthia dan kedua anak kita," sahutnya.

"Ah, kamu kaya mau kemana aja sih, Bun!" ucapku.

"Bunda nggak kemana-mana kan? Bunda mau nengok kakek dan nenek saja, itu kata Bunda tadi, Yah," ucap Faiz.

"Betul. Faiz aja pinter. Ayah mending sana deh, temenin Mama Cynthia. Kasihan kalau dia sendiri," sahut Tika sambil menarik tanganku agar jangan duduk terus di sofa.

Aku mengerutkan kening dan kembali duduk di sofa. Aku tak mau meninggalkannya malam ini karena esok kan ia harus pergi ke kampungnya. Tak mungkin aku tak memanfaatkan malam ini, ingin sekali bersama istriku selalu walau ia selalu menghindar.

"Nggak mau! Ayah mau di sini malam ini! Biar Cynthia sendiri saja malam ini, lagipula kamu kan besok harus pergi," sahutku, aku tetap tak mau pergi walau ia memaksaku.

"Ayah gitu banget sih? Ya udah terserah Ayah saja," katanya. "Anak-anak, kalian waktunya tidur ya! Jangan lupa gosok gigi, cuci tangan dan cuci kaki ya!" Selalu ia berpesan seperti itu. 

Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Ah, esok kamu tak di sini. Aku harus menunggu satu bulan agar kamu bisa ada di sini lagi. Rindu itu berat, dan memang sangat berat, aku pernah merasakannya.

Saat anak-anak di kamar mandi, ia biasanya mengontrol ke sana apakah anak-anak mengerjakannya dengan baik atau justru tak mengerjakannya. Jika tidak dikerjakan, mereka harus beberapa kali mengerjakannya.

Kali ini pun, Tika mengecek anak-anak ke kamar mandi, lalu mengantar ke kamar mereka. Bersama dengan mereka sebelum tidur sembari menuntun untuk membacakan doa serta surat-surat pendek yang dibaca sebelum tidur.

Esok aku yang harus melakukannya. Dan itu berarti aku harus membawa Cynthia menginap di sini. Jika ia tetap di sana, bagaimana anak-anak nanti?

"Dek, kamu sudah membereskan pakaianmu?" tanyaku ketika ia datang dari kamar anak-anak. Aku ingin sekali memeluknya saat ini, tapi ia masih saja sibuk uring-uringan.

Kalau tak ada anak-anak kami biasa memanggi Adek dan Mas. Itu lebih melekatkan kami. Namun, jika ada anak-anak, panggilan berubah seperti tadi yaitu Bunda dan Ayah.

"Sudah sebagian. Ini mau aku lanjutkan. Mas udah ngantuk? Tidur duluan aja, Mas!" katanya.

Yah, aku nggak mau disuruh tidur duluan. Justru aku ingin kami saling berbincang dulu sebelum tidur. 

Aku tak menjawabnya, ia pun menengok padaku untuk memastikan mengapa aku tak menjawab perkataannya. Ia mendekat dan duduk di tepi ranjang.

"Gimana, Mas? Kalau ngantuk, duluan aja," sahut Tika sembari menyentuh pipiku. Telapak tangannya kini ada di pipi.

"Kamu mau kubantu? Aku nggak ngantuk, pengen ngabisin waktu malam ini sama kamu. Mau ngeteh bareng nggak?" tanyaku. Yang kutau di iklan sang istri yang justru menawarkan pada suaminya. Ini malah aku yang menawarkan, tak apalah demi pujaan hatiku.

"Mas tak perlu bantu. Aku tau kerjaanmu berat. Besok harus pergi pagi, anak-anak sekolah. Aku bisa kok sendirian, Mas," katanya. 

Kemandiriannya membuatku sedikit kesal. Aku itu laki-laki, ingin dianggap superhero oleh istriku. Ketika kutawarkan bantuan, justru ia menolaknya. Gimana rasanya? Ya, seperti sakit tak berdarah.

"Baiklah kalau itu maumu." Aku tidur dengan menghadap ke tembok. Semoga ia berubah pikiran dan mau dibantu olehku. Namun, setelah beberapa menit, ia tak juga mencolekku dan itu membuatku makin kecewa malam ini.

Sudah lah, lebih baik aku tidur.

***.

"Dek, kamu berangkat jam berapa? Apa perlu aku mengantarmu dulu ke terminal?" tanyaku. Saat ini aku sedang memasang dasi, dibantu olehnya. Kini, ia ada di hadapanku. Wajah ayunya takkan terlihat selama sebulan ini. Akankah ia merinduiku nanti?

"Nggak usah, Mas. Aku bisa naik taksi kok. Ingat kataku juga, kamu harus fokus pada kerjaanmu!" katanya dengan wajah garangnya. Tika kalau sedang marah, berubah menjadi garang. Padahal ia manis banget, aku betah kalau liatin wajah istriku.

"Kamu itu selalu seperti itu. Aku tuh ingin bantuin kamu. Aku toh nggak apa-apa kalau terlambat. Aku kan izin dan minta izin juga nanti," ucapku.

Ia mendongakkan kepalanya dan menatapku tajam. 

"Mas, justru aku berbuat ini karena aku menyayangimu. Aku tak mau merepotkanmu dan berusaha melakukan semua sendiri. Ayolah Mas, persepsi kita dalam hal ini berbeda. Tolong Mas terima rasa sayangku ini dengan tetap bekerja tepat waktu. Aku ingin Mas jadi pemimpin yang baik dan teladan bagi para bawahanmu, Mas. Jangan dikit-dikit izin hanya karena anter aku ke bandara. Nggak banget itu!" katanya panjang lebar.

Kalau udah seperti ini, aku lebih baik diam. Tak ada kata-kata yang bisa membantahnya. Aku paham jalan pikirannya, tak mau merepotkanku.

"Ya sudah. Aku percaya padamu, Dek. Tapi kali ini, aku ingin memelukmu sebelum aku berangkat, boleh?" tanyaku.

Ia mengangguk dan tersenyum. Kami pun berpelukan. Kali ini aku merasa terharu, hampir saja aku meneteskan air mata. Biasanya aku tak pernah bisa seperti ini.

"Yah, ayo berangkat!" Tiba-tiba kepala Faiz menyembul di balik pintu. Di bawahnya ada kepala Kia. Mereka tertawa lepas. Kami pun melepaskan pelukan. 

Kuajak mereka mendekat. Saat dekat, aku dan Tika berjongkok, kami memeluk mereka berdua.

"Yuk, Yah!" ajak Kia. Ia menarik tanganku.

"Ya udah, siapkan dulu tas dan perlengkapan sekolah kalian!"

"Udah kok, Yah! Ada di ruang tamu!" kata mereka.

"Oke deh. Sekarang cium tangan Bunda kalian. Doakan juga supaya perjalanan Bunda lancar ya!" sahutku pada kedua anakku.

Mereka manut dan mencium tangan bundanya. Tika memeluk mereka satu per satu. 

Tibalah giliranku, saat aku melebarkan tangan, ia tak mau memelukku, malah berbisik, "Malu, Mas sama anak-anak."

Aku pun mengerti dan hanya mengecup keningnya dan berbisik kalau aku sangat mencintainya.

"Bun, nanti kabari kalau udah sampe ya!" kataku.

"Oke!" katanya dengan memberikan kode menggunakan jari telunjuk dan jempol yang membentuk huruf O.

"Dadah Bunda!" teriak anak-anak dari mobil.

Di perjalanan, perasaanku tak tenang. Mengapa tiba-tiba Tika ingin pulang kampung? Kalau yang menjaga Bapak dan Ibu kan udah ada adiknya. Sepanjang jalan aku terus memikirkan hal itu.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status