Flash back
"Mas, kamu baru datang? Duduk dulu yuk. Biar kubuatkan minum untukmu."
"Iya, ada apa memangnya?" tanyaku yang penasaran dengan sikapnya.
Tika malah masuk ke dalam. Ia menyiapkan minuman untukku. Walau ada asisten rumah tangga, ia lebih suka menyiapkannya sendiri untukku.
"Begini, aku kan punya teman dekat, Mas juga tau."
"Teman dekat yang mana sih, Dek?" Aku bertanya sembari meminum kopi yang istriku suguhkan. Rasanya sangat nikmat dan pas diminum selepas aku ingin melepaskan penat ini sepulang bekerja.
"Cynthia. Mas tau kan dengan Cynthia?"
"Iya memangnya kenapa dia?"
"Dia ... kan masih single. Aku ingin dia menikah," sahutnya.
Tika ini aneh, ia ingin temannya segera menikah. Seharusnya bilang langsung pada temannya, bukan padaku. Tapi, coba kudengarkan dengan seksama apa maunya.
"Terus?"
"Aku ingin ... Mas Wahyu menikahinya."
Deg.
Aku tak percaya Tika mengatakan hal itu. Tak pernah terpikirkan sekalipun untuk memiliki istri lebih dari satu. Aku tak mau menikah lagi karena kurasa selama ini Tika seorang istri yang baik. Aku tak menemukan sesuatu yang kurang darinya, walau sebenarnya ada. Tapi, aku tak mau melihat kekurangannya karena segala kelebihannya sudah menutupi kekurangan yang ada dalam dirinya.
"Mengapa harus aku? Kan masih banyak laki-laki lain, bahkan yang masih single."
"Nggak, Mas. Aku ingin Tika mendapatkan laki-laki seperti suamiku, karena mungkin agak susah, lebih baik menikah denganmu saja. Bagaimana, Mas? Apakah kamu setuju?"
Ekspresi wajah Tika biasa saja saat mengatakannya. Ia tak terlihat sedih karena yang kutau poligami ini memang dibolehkan, tapi biasanya jadi hal menakutkan bagi seorang wanita.
"Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Aku kan tidak berniat poligami, Dek. Sudah cukup ada kamu dan kedua anak kita," sahutku.
"Kamu harus menikahinya, Mas. Kasihan dia sudah mengalami banyak kegagalan menjelang pernikahan. Aku ridho, Mas. Jika harus berbagi suami dengan sahabatku," sahut Tika yang berusaha meyakinkanku.
Aku tak lantas menjawab, harus berpikir beberapa kali sebelum memutuskan. Kuingat-ingat sosok Cynthia yang akan Tika jodohkan denganku.
Cynthia adalah seorang wanita yang cantik, postur tubuhnya lebih imut dari Tika. Ia memiliki lesung pipi yang jika senyum membuatnya makin cantik.
Jiwa kelelakianku terpanggil. Pasti aku akan lebih bahagia memiliki dua istri cantik, yaitu Tika dan Cynthia. Tapi aku masih belum bisa memutuskan. Perlu waktu dan pertimbangan, serta memberitahukan kedua orang tua kami agar mereka tau dan memberi restu.
"Dek, aku harus beritahu orang tuaku dan orang tuamu loh."
"Iya, Mas. Beritahukan saja orang tuamu, kalau orang tuaku insya Allah menyetujuinya. Mas bisa menghubungi mereka kembali kalau tak percaya," sahut Tika.
Aku menghubungi orang tuaku dan sekaligus menghubungi orang tua Tika. Benar saja mereka sudah tau dan menyerahkan semua keputusan di tangan kami.
Tak lama, diadakannya pertemuan dengan Cynthia dan keluarga. Semua diurus oleh Tika, dari mulai keperluan Cynthia sampai keperluan pesta.
Tika sangat bersyukur bisa membantu Cynthia. Sahabatnya itu berasal dari keluarga kurang mampu, jadi kami yang menanggung semua biaya pernikahan.
Saat ke rumah Cynthia, aku terenyuh melihat rumahnya yang terbatas. Ia tinggal bersama orang tuanya. Kakak pertamanya sudah lama menikah.
"Mas Wahyu, Tika, maaf ya rumahku tak pantas kalau dibilang rumah. Semoga kalian berkenan mampir di sini," katanya.
"Tak apa, justru kami yang meminta maaf sudah mengganggu ketenangan keluargamu, Cynthia."
"Tak apa kok, aku senang."
Kemudian, aku dan Mas Wahyu mengatakan maksud kedatangan kami. Kami meminta izin untuk melamar Cynthia pada orang tuanya. Sampai sini pun, Tika masih bahagia.
Alhamdulillah, keluarga Cynthia menerima lamaranku.
***
Pernikahan pun tiba.
Aku, istriku dan rombongan berangkat dari rumah pukul tujuh. Kami tiba di kediaman Cynthia pukul delapan. Akad nikah diadakan di mesjid dekat rumah, resepsi sederhana di teras rumahnya.
"Mas, kamu udah siap untuk ijab kabul lagi?" tanya Tika saat kami turun dari mobil.
"Insya Allah siap. Doakan aku semoga bisa menjadi pemimpin yang baik bagi kamu dan Cynthia ya, Dek."
"Aamiiin, Insya Allah, Mas."
Kami disambut meriah oleh keluarga Cynthia. Akad nikah berlangsung lancar, meski aku saat pertama mengucap ijab kabul, salah sebut nama, malah mengucap nama Tika.
Diulang sekali, Alhamdulillah bisa lancar dan sah.
Resepsi diadakan sampai jam dua siang. Tika pulang duluan sebelum resepsi selesai karena pusing. Aku mengizinkannya pulang karena aku harus menyelesaikan acara terlebih dulu.
***
Setelah pernikahan selesai, Cynthia tinggal di rumah baru yang disediakan oleh Tika juga. Rumah berada di komplek yang berbeda. Perlu lima belas menit untuk menuju ke rumah kami.
Saat pindahan, semua keluarga Cynthia mengantar. Mereka bahagia akhirnya anak mereka bisa mendapatkan jodoh.
"Terima kasih, Mas Wahyu mau memperistri Tia, dia sudah lama menantikan pernikahan ini. Walau jadi istri kedua, insya Allah pernikahan kalian baik-buruk saja," sahut ibunya Cynthia.
"Sama-sama, Bu. Terima kasih atas doanya."
Pada malam itu, Tika menyuruhku untuk tinggal dulu di rumah Cynthia. Aku menurut saja apa kata istriku. Ia khawatir kalau sahabatnya itu ketakutan tinggal sendiri. Tidak seperti dirinya yang sudah ada yang menemani yaitu kedua anak kami.
Ia juga mengirim banyak makanan hari itu, katanya kasihan Cynthia pasti belum sempat masak. Aku berterima kasih pada Allah diberikan istri yang perhatiannya sangat luar biasa.
"Dek, kamu panggil istriku dengan sebutan Mbak ya! Biar bagaimanapun ia istri pertamaku. Aku ingin kamu menghormatinya karena ia adalah orang yang selalu memintaku untuk menjadikanmu istriku. Sekarang aku sudah mengabulkannya, ia patut dihormati olehmu," ucapku saat itu sesaat setelah kami melaksanakan salat malam.
Cynthia mengangguk tanda setuju. Ia tersenyum dan menatapku.
"Baikah, Mas. Jika itu memang membuatmu bahagia, aku akan melakukannya," katanya.
Masya Allah, langsung meleleh saat mendengar jawabannya. Ternyata Cynthia sama shalihahnya dengan Tika. Pantas Tika menjodohkanku dengannya.
"Terima kasih ya, Sayang."
"Sama-sama, Mas."
Sejak itu aku jadi lelaki paling bahagia karena dicintai oleh dua orang wanita shalihah.
***
Saat pulang ke rumah istri pertamaku, ia bertanya apakah aku bahagia.
"Menurut Bunda gimana?" tanyaku balik karena di situ ada anak-anak.
"Nggak tau, kan bukan Bunda yang ngalamin," jawabnya.
"Insya Allah bahagia. Semoga Bunda pun tetap bahagia." Ia tersenyum tapi sepertinya sedang menahan sakit. "Bunda sakit?" tanyaku.
"Nggak ah, Bunda sehat-sehat saja," jawab Faiz anak kami.
"Oh, mungkin kecapekan, ya!" ucapku.
"Iya. Oya, Yah. Besok aku mau pulang kampung dulu selama sebulan. Ayah jagain kedua anak kita ya, ajak Cynthia untuk jagain Faiz dan Kia!" katanya.
"Loh, kok ngedadak. Kamu kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?" tanyaku heran.
Tika terdiam, mungkin sedang mencari alasan.
Bersambung
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber