“Enggaklah, Bel. Aku hanya ingin tahu bukan berarti aku ingin kembali.”
Bella menganggukkan kepalanya. “Siapa tahu kamu kasihan melihat kehidupannya sekarang.”
“Memangnya kenapa?”
“Tadi aku bertemu Pak Aidan di club gitu, penampilannya kusust banget wajahnya terlihat penuh beban. Yang aku tahu, sore ini seharusnya ia menghadiri meeting tender dengan perusahaan Angkasa ternyata ia membatalkannya dengan alasan yang gak jelas. Terus tadi aku bertemu dengannya di club, sepertinya ia sedang galau.”
Dayana hanya mengangguk pikirannya melayang mengingat seberapa Aidan tak menginginkan kehadirannya. ‘Apa mungkin Mas Aidan mabuk karena kepergianku?’
“Aku rasa ia mabuk karena hal lain, karena seingatku bartender di sana mengatakan harta dan cinta harus sejalan? Tetapi aku tak tahu apa yang sebelumnya mereka
“Karena tidak penting,” sahut Dayana seraya menyimpan kembali ponselnya. “Tahu dari mana? Bagaimana jika memang itu penting? Nyatanya ia menghubungi beberapa kali, bukan?” ujar Sagara membuat ingatan Dayana terlempar pada cerita Bella malam tadi. ‘Apa benar, Mas Aidan mabuk karenaku? Apa ia mulai berubah dan mau menerimaku?’ batin Dayana dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kenapa?” Sagara menatap Dayana bingung, wanita di sampingnya ini begitu cepat merubah raut wajahnya. “Hah? Apa? Tidak kok,” balas Dayana salah tingkah. Ia pun menyembunyikan wajahnya dengan menatap jalanan yang ada di sebelah kirinya. Dayana pun bertekad jika nanti Aidan kembali menghubunginya ia akan menjawab sambungan telephone itu. Dayana yakin betul jika Aidan sudah berubah dan mau menerimanya sebagai seorang istri. “Jika ia memintamu kembali, apa kamu mau?” tanya Sagara tanpa menatap Dayana. Kening Dayana berkerut, ia pun bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Ada rasa senang dan takut yang datang
Sudah lebih sejam tetapi Sagara tak kunjung datang, Dayana pun menatap ke sekelilingnya namun semuanya nihil, ia tak menemukan tanda-tanda kehadiran Sagara. Saat ia akan berbalik tubuhnya justru membentur dada bidang seorang pria.Dengan gerakan lambat, Dayana mendongak dan menatap wajah tampan yang terkena pantulan matahari siang itu. “Mas Aidan,” lirih Dayana. Wanita itu bisa menebak hanya dari aroma parfum suaminya.“Aku tak tahu apakah aku masih layak kamu panggil Mas, Day.” Untuk pertama kalinya, Aidan mengucapkan kalimat dengan nada lembut dan tak bernada tinggi.Kening Dayana berkerut melihat perubahan sang Suami. Apa semua ini nyata, tanyanya dalam hati.“Ini nyata, Dayana Frederica Amaranth.” Manik mata Dayana membulat sempurna namun di detik selanjutnya ia kembali menetralkan keterkejutannya. Apa Mas Aidan berubah menjadi paran
“Belum kok Day, aku baru saja tiba. Ayok,” balas sosok itu.Dayana menganggukkan kepalanya, ia mengikuti langkah kaki Bella yang berjalan menuju mobil berwarna merah yang terparkir bersama pengendara lainnya. Setelah tiba di sana, Dayana dan Bella segera masuk ke dalam mobil.“Na, aku gak sengaja lihat mobilnya Pak Aidan, memang dia di sini?” tanya Bella seraya memasang seat belt. “Jangan bilang kalian ketemu?” imbuhnya seraya menoleh dan menatap Dayana serius.“Sayangnya iya, Bel. Aku sendiri gak tahu sih dari mana dia tahu, sejak pagi tadi memang Mas Aidan menghubungiku tetapi aku ngak angkat. Eh tiba-tiba dia ada di sini.”Bella pun menganggukkan kepalanya. “Apa mungkin Pak Aidan sudah berubah?” Dayana hanya menjawab dengan mengendikkan bahu. “Terus apa kamu mau menerimanya lagi kalau Pak Aidan berubah?”D
Dayana masih terpaku melihat sosok yang berjarak 3 meter darinya. Wanita itu berdiri dengan wajah pucat. Dayana memalingkan wajahnya, seakan ia tak mau melihat sosok yang menjadi duri dalam rumah tangganya.“Dayana,” lirihnya yang entah sejak kapan berada di belakang tubuh Dayana. “Dayana, aku ingin –““Mau apa? Gak perlu deh ganggu Dayana lagi, kamu itu sadar gak sih kalau sudah jadi pelakor!” Bukan itu bukan suara Dayana, melainkan suara Bella yang kini tengah berdiri dan menatap wanita di depannya tajam, aura peperangan yang ia tebarkan membuat suasana restaurant itu berubah menjadi tegang.“Aku gak ada urusan sama kamu,” ujarnya datar.“Iya memang, tetapi kamu sudah cari masalah sama Dayana yang artinya juga cari masalah sama aku. Aku gak akan biarin kamu nyakitin Dayana lagi! Apa sih kurangnya Dayana? Sampai kamu tega jadi duri di dalam
“Siapa yang tidak mengenal dia? Aidan terlalu sering mengenalkan wanita itu sebagai calon istrinya.” Dayana menoleh, menatap Sagara yang tengah fokus pada jalanan di depannya. “Calon istri?” “Sudah lupakan saja. Mau langsung pulang?” “Apa aku bisa mengajukan cerai? Dengan bukti visum?” Sagara menepikan mobilnya ia tahu pembicaraan kali ini terlalu serius. “Apa ada bukti cctv? Atau bukti lain?” Mendengar pertanyaan Sagara, Dayana pun menggeleng. Rumah yang ia tinggali tak tersedia cctv ia juga tak memiliki saksi mata lainnya. “Aku rasa akan sulit untuk menang jika hanya bukti visum. Bagaimana kalau alasan lain saja?” “Alasan lain?” tanya Dayana, Sagara pun mengangguk ia mengutarakan cara lain agar Dayana dapat terlepas dari jerat pria itu. Dayana mendengarkannya dengan seksama sesekali ia menunjukkan kerutan di kening sesekali ia tersenyum setuju. “Bagaimana?” tanya Sagara mengakhiri pemaparannya. “Bismillah.” Dayana mengangguk dengan senyum cerah. Ia harus bisa menjalankan misi
“Gue bisa memberimu uang? Atau saham diperusahaanku.”Sagara menatap Aidan datar. “Berapa persen?”“Berapapun yang Lu mau.”Sagara tampak berpikir sejenak ia lantas menyebutkan angka yang membuat Aidan membulatkan manik matanya. “Lu yakin?”“Terserah kalau mau ayo, gak ya gak masalah,” balas Sagara seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.Di lain tempat, Dayana tengah mempersiapkan rumahnya ia mulai menata kamar dan ruang tamu mengingat besuk Bella dan Lala akan menginap di sana. Beruntung Dayana mendapatkan pesangon walau hanya separuh bagian. Dayana menggunakannya untuk membeli beberapa perabotan rumah seperti kasur tambahan, peralatan dapur dan juga fasilitas lain.Saat ini Dayana tengah menunggu pesanannya datang, ia memesan menggunakan market online yang terpercaya. Walau dengan sebela
Hari pun semakin larut, Dayana menyalakan laptop milik perusahaan baru tempatnya bekerja. Ia menyelesaikan bahan persentasi untuk meeting besuk pagi. Sebenarnya itu bukan tugas Dayana tetapi pemimpin divisinya meminta Dayana yang mengerjakan semua itu katanya sebagai salah satu test masa training. Dayana pun hanya bisa mengalah dan menerima tugas itu, beruntung ia tak terlalu bodoh untuk hal marketing karena dirinya pernah bekerja di divisi itu walau hanya beberapa bulan. Jam di dinding rumah Dayana menunjukkan pukul 9 malam, wanita dengan sebelah tangan terpasang gips itu sudah berulang kali menguap. Dayana berjalan menuju dapur ia berniat menyeduh secangkir kopi untuk menghilagkan rasa kantuknya, saat ia tengah menunggu air matang. Terdengar teriakan dari arah depan rumahnya. Sebelum melangkah keluar, Dayana menyempatkan diri untuk mengecilkan api dan meraih cardigannya. Ia membuka kunci rumah dan berjalan menuju pagar. “Iya pak.” “Permisi dengan Mba Dayana? Saya dari NextFood mau
“Setahu gue ini tempat umum, siapa saja bisa kan ke hotel ini? Dan bukan berarti gue janjian.” Sagara menjawab dengan tenang dan datar. Aidan menatap Sagara penuh selidik. “Permisi, Tuan Sagara sudah datang? Mari saya antar ke ruangannya,” ujar salah seorang pegawai hotel. “See?” ujar Sagara menatap Aidan datar. Pria itu lantas meninggalkan Aidan dan Dayana, ia mengikuti langkah kaki pegawai hotel menuju lift. Melihat Sagara pergi, Dayana pun hendak mengambil langkah. “Dayana, apa kamu sudah sarapan? Jika belum bagaimana jika kita sarap –“ “Sudah,” potong Dayana ia lantas berjalan menjauhi Aidan. “Dayana, kembalilah. Aku akan menghidupi seluruh kebutuhanmu, berhentilah bekerja.” Dayana berbalik, ia menatap dengan senyum meremehkan. “Apa? Coba ulang sekali lagi, Mas?” Aidan menatapnya sedih. “Ke mana ssaja mas selama ini? Baru sekarang mas minta ak