Melati kembali menggeleng, ia masih tak ingin mengatakan siapa lelaki brengsek yang sudah membuat dunianya hancur.
"Melati, katakan atau aku akan melakukannya!" ancam Dewa lagi.
"Om Randi!" teriak Melati sebelum Dewa melepaskan kaos yang ia pakai.
Suasana pun seketika hening, Dewa tak menyangka jika lelaki brengsek itu justru orang terdekat Melati.
"Brengsek!" Dewa mengepalkan tangannya karena tak bisa membayangkan betapa sadisnya lelaki itu menghancurkan hidup Melati waktu itu.
Sementara Melati menutup tubuhnya dengan selimut, ia takut jika Dewa akan melakukan hal yang pernah dilakukan Randi padanya.
"Minumlah." Dewa menyodorkan segelas air putih agar Melati sedikit tentang.
"Terima kasih," ucap Melati sambil menerima gelas itu.
"Kapan ini terjadi?" Dewa kembali bertanya.
"Beberapa tahun yang lalu, saat aku berusia tujuh belas tahun," jawab Melati.
"Kenapa Kau diam dan tidak melaporkan ini pada Tantemu?"
"Sudah, tapi Tante mengira akulah yang menggoda suaminya. Bahkan Tante dan Laura sangat membenciku," jelas Melati.
"Berapa kali?" Dewa benar-benar penasaran.
Melati kembali meneteskan air matanya saat mengingat kejadian yang sebenarnya tak ingin dia ingat.
"Maaf, tapi saat ini apapun alasannya kita sudah sah menjadi suami istri. Mulai saat ini juga tak ada rahasia di antara kita, jadi aku harap kau akan menceritakan semuanya. Aku pun sama, akan menceritakan semua jika kau bertanya," ucap Dewa.
"Di rumah Tante, dua kali. Aku tak bisa melawannya waktu itu. Hiks ...."
Dewa membelai pundak Melati agar wanita itu sedikit tenang. Tanpa sadar Melati tak histeris, ia justru merasa nyaman dengan sentuhan Dewa. Ia merasa seperti dilindungi.
"Hanya dua kali, apa Kau yakin?"
"Iya, setelah itu aku pergi dari rumah. Aku memilih kost agar bisa lepas dari om Randi," jelas Melati dengan bibir yang bergetar.
Dewa melihat ketakutan di mata Melati. Ia pun memeluk tubuh istrinya. Awalnya melati menolak, ia berusaha melepas pelukan Dewa.
"Lawan trauma itu, agar tak membuatmu terkurung," bisik Dewa.
Meski tersiksa, Melati pun menurut pada Dewa. Ia memejamkan matanya.
"Mau aku bantu sedikit menyingkirkan trauma itu?" Bisik Dewa.
"Aku ingin sekali keluar dari trauma ini, tapi bagaimana caranya?"' Melati tampak bingung.
"Mengulang kembali tapi tanpa paksaan," jelas Dewa.
Entah dia mau modus atau benar-benar ingin membantu Melati lepas dari trauma itu.
"Kau gila! bentak Melati.
"Itu kalau kau mau? Kau pikir aku mau menyentuhmu yang jelek ini?" ejek Dewa.
Dewa hendak kembali ke sofa. Namun, Melati menahannya.
"Apa itu bisa membuatku keluar dari trauma ini?" tanya Melati polos.
"Ya, meski tak langsung. Harus dilakukan sesering mungkin agar hasilnya sesuai keinginanmu," jelas Dewa.
Melati tampak berpikir, ia takut tapi ia ingin keluar dari trauma itu.
"Lakukan!" perintah Melati.
Dewa menoleh saat Melati mengucapkan kalimat perintah itu.
"Kau yakin?" Dewa memastikan.
"Ya," jawab Melati tegas.
Dewa pun mendekat dan mulai menjalankan tugasnya. Air mata Melati terus mengalir deras saat Dewa membatunya untuk lepas dari bayang-bayang Randi.
Tubuh Melati menolak, tapi hatinya ingin lepas dari trauma itu. Sebisa mungkin Melati melawan trauma itu dibantu sang suami.
Malam itu pun menjadi kekuatan Melati untuk bangkit dari keterpurukannya.
Pukul lima pagi alarm dari ponsel Dewa berbunyi sehingga membangunkan pasangan pengantin baru itu. Dewa segera membangunkan Melati di ranjang.
"Melati, bangun!" Teriak Dewa.
Perlahan mata Melati pun terbuka, ia sedikit terkejut saat mendapati Dewa ada di depannya.
"Bisa tidak, jangan berteriak!" protes Melati.
"Sebentar lagi pasti papa akan datang dan mengecek keadaan kita," jelas Dewa panik.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Bangun!" Dewa menarik lengan Melati agar turun dari ranjang.
Dewa mulai mengacak tempat tidur, kelopak bunga yang semalam ia singkirkan kini ia sebar di ranjang dan lantai. Gaun yang semalam ia lempar ke tempat sampah ia letakkan di lantai.
"Bagaimana, papa akan percaya kalau aku sudah menjalankan tugas ku 'kan?" Dewa merasa bangga karena sudah menyelesaikan semua urusannya.
"Ya," jawab Melati.
Benar saja, tak lama pintu kamar hotel mereka diketuk. Melati pun beranjak dari ranjang. Namun, Dewa mencegahnya.
"Mau ke mana?" tanya Dewa saat melihat Melati berjalan menuju pintu.
"Buka pintu," jawab Melati polos.
"Dengan keadaan begini?" Dewa menunjuk Melati dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Memangnya kenapa?" Melati melihat penampilannya.
"Masih mau bertanya? Aku saja sampai khilaf, apalagi orang lain. Cepat masuk ke kamar mandi!" perintah Dewa.
"Iya," jawab Melati yang langsung masuk ke kamar mandi.
Dewa bergegas membuka pintu dan benar saja tebakannya. Sang ayah yang ada di balik pintu dengan senyum yang menghibur wajahnya.
"Selamat pagi pengantin baru, bagaimana semalam, sukses?" bisik tuan Adam.
Dewa membuka pintu kamarnya lebar sebagai jawaban atas pertanyaan ayahnya.
"Waw ... oke anak papa memang hebat," ucap tuan Adam saat melihat hasil karya Dewa.
"Oh ya, ini papa bawakan pakaian untuk kalian." Tuan Adam menyerahkan koper kecil pada Dewa.
"Terima kasih.” Dewa menerima koper itu.
"Ya sudah, papa tunggu di rumah." Tuan Adam pergi meninggalkan kamar Dewa.
Dewa menutup pintu dan meletakkan koper itu di samping ranjang.
"Melati, keluar!" teriak Dewa.
Mendengar perintah suaminya Melati pun keluar.
"Aman, Bos?" tanya Melati.
"Iya, ini papa mengantarkan pakaian untuk kita. Pilih mana yang akan kau pakai, aku mau memesan sarapan dulu."
"Iya." Melati memilih pakaian yang pantas untuk ia pakai.
Dewa dan Melati pun segera menuju rumah Dewa. Ya, untuk sementara mereka akan tinggal di sana bersama tuan Adam.
Selama perjalanan Melati terus menatap jalanan sambil membayangkan hidupnya kelak. Hingga detik ini dia juga belum paham akan rencana Allah untuknya.
Melati memperhatikan cincin berlian yang melingkar di jarinya. Rasanya itu seperti sebuah mimpi.
"Kenapa cincin itu? Kamu kira aku memberikan yang palsu!" cetus Dewa.
"Bukan, Bos. Tapi aku tak mengira jika cincin ini akan mengikatku bersamamu." Melati memperlihatkan cincin di jarinya.
Dewa berdiri di depan mobil menunggu sang ratu keluar dari mobil.
"Kenapa berhenti, Bos?" tanya Melati.
"Mama akan curiga, ayo gandeng lenganku!" perintah Dewa.
"Siap, Bos!" Melati langsung menggandeng lengan suaminya.
Hari ini dia merasa menjadi manusia paling bahagia di dunia ini. Untuk pertama kalinya ia merasa terbebas dari belenggunya selama ini. Ia tak menyangka skenario Allah membawanya ke dalam drama pernikahan ini bersama Dewa.
"Selamat datang pengantin baru," sambut tuan Adam dan mama Ria pada anak dan menantunya yang baru sampai.
"Terimakasih, Pa, Ma," ucap mereka bersamaan.
"Melati di rumah ini kau adalah nyonya, jadi jika kau butuh sesuatu panggil saja mereka." Tuan Adam dan mama Ria menunjuk beberapa pelayan yang berbaris di ruang tamu.
"Selamat datang di sini, Nyonya," sambut para pelayan.
"Terima kasih," ucap Melati dengan senyum manisnya.
"Dewa, bawa istrimu ke kamarmu!" perintah tuan Adam.
"Iya, Pa," sahut Dewa malas.
De
wa pun membawa Melati ke kamarnya yang akan menjadi kamar mereka.
"Surat perjanjian itu kita batalkan saja," cetus Dewa.
“Kenapa?” Melati tampak bingung.
Bersambung.
15"Ada yang mencarimu, siapa dia?" tanya tuan Adam pada Dewa."Siapa?" Dewa tampak berpikir."Tata, tapi aku sudah mengusirnya," jawab tuan Adam."Tata ...." Dewa menggantung kalimatnya seolah sedang berpikir mencari ide untuk menjelaskan semua pada Melati. "Koleksi barumu?" tebak Melati, meski hatinya terluka."Bukan, dia hanya salah satu rekan kerja," kilah Dewa."Oh." Dalam hati Melati menangis, ia sangat berharap hubungan palsu itu dapat berubah. Namun, ia mulai tak yakin melihat sikap Dewa yang masih seperti itu."Kau lupa siapa aku bos? Aku adalah sekretarismu, yang sudah pasti tahu siapa rekan kerjamu," batin Melati.Tuan Adam tak jadi membicarakan sesuatu dengan putranya karena melihat Melati sedikit terganggu dengan kedatangan wanita yang mencari Dewa. Ia memilih pergi dari sana. Melati dan juga Dewa pun melupakan pagi ini, mereka berangkat ke kantor seperti biasa. Sore ini Melati meminta ijin pada Dewa untuk menjenguk Rara yang sedang sakit. Sebenarnya itu bukan alasan u
14"Jika kau bisa lakukan saja," tantang Melati."Kau yakin?" Laura mencoba memastikan apakah Melati benar-benar menantangnya."Kau lebih mengenal aku, Laura," ucap Melati."Kau benar, jangan menangis jika aku bisa merebut suamimu!" "Kau juga jangan menangis jika suamiku tak tertarik padamu," cibir Melati.Melati mempersilahkan Laura masuk, ia lalu mengantarkan dia ke kamar tamu. Sebenarnya ia sedikit takut akan kedatangan Laura, ya dia sadar siapa Dewa? Dia bisa saja tergoda dengan wanita lain apalagi wanita seperti Laura.Namun, entah apa yang membuat Melati merasa jika Dewa tak akan tergoda meski rasa takut lebih mendominasi di hatinya. Ia hanya berharap Dewa tidak tergoda dengan Laura. Ya, walau Melati tahu lelaki dengan julukan si mulut pedas itu masih sering berkencan dengan wanita lain di luar sana."Melati!" teriak Dewa."Ya, Mas!" sahut Melati yang langsung mengganti panggilannya. Ia pun segera berlari menghampiri suaminya."Mas?" Dewa mengerutkan keningnya."Ada Laura, aku
Ratna langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia sangat ketakutan saat mendengar suara Dewa. Itu jelas membuat si mulut pedas itu tambah murka. "Jangan angkat panggilannya jika tidak bersamaku!" tegas Dewa yang sangat marah. "Baik," jawab Melati. "Jika dia mengancam laporkan padaku, beraninya dia mengusik orang terdekatku!" Dewa yang geram pun tak jadi melunasi pinjaman Ratna ke Bank. Ia ingin melihat sejauh mana wanita itu menindas Melati. Perhatian Dewa membuat Melati sedikit terbang. Ia pikir ini adalah awal dari perubahan sikap Dewa padanya. Dari perhatian ini juga Melati mulai tertarik pada suaminya itu. "Sial!" umpat Ratna saat mendengar suara Dewa. "Ada apa, Ma?" tanya Laura. "Mama minta uang pada Melati, tapi tadi Dewa yang bicara," ucap Ratna ketakutan. "Apa! Kenapa bisa, Mama ceroboh?" Laura menyalahkan ibunya yang sangat ceroboh. "Mana mama tahu Dewa ada di samping Melati. Bagaimana ini? Padahal dia mau melunasi pinjaman ke Bank." Ratna tampak bingung. Ia tak
Bab 12 "Siap diusir," jawab Dewa dengan nada tak suka."Pa, ayo kita sarapan!" Ajak mama Ria agar suasana tak semakin menegangkan.Lagi-lagi tuan Adam hanya tersenyum melihat sikap putranya, ia sama sekali tidak marah karena Dewa terus berdebat dengannya. Ia justru bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk bercanda dengan putranya. Ya, tuan Adam menganggap ini adalah bercanda ala dia, bentuk kasih sayang antar ayah dan anak."Tempat untuk menampung kami, seperti istana atau gubuk reyot?" Dewa melontarkan pertanyaan pada ayahnya."Gubug yang nantinya akan Kau bangun menjadi istana," jawab tuan Adam disertai senyum."Papa semakin membuatku kehilangan kesabaran!" bentak Dewa."Mas, sabar. Dia papa, tak seharusnya Kamu membentaknya," ucap Melati mencoba mengingatkan Dewa."Diam dan tak usah ikut campur!" Dewa malah membentak Melati."Aku akan diam jika Kau diam!" Melati tak mau kalah dari si mulut pedas.Tuan Adam menatap kagum pada menantunya yang berani membentak putranya yang su
"Sayang, papa bukan benci atau sebagainya. Papa hanya ingin Kau menjadi lebih baik," imbuh mama Ria."Jika itu kata, Mama Dewa paham. Sebenarnya ini sulit untukku," lirih dewa.Mama Ria memeluk putranya, ia juga sebenarnya tak tega, akan tetapi demi kebaikan sang putra ia harus menyingkirkan egonya."Ada Melati yang bisa menjadi tempat untukmu bersandar, mama juga akan sering berkunjung ke rumah kalian," ucap mama Ria yang berharap bisa dimengerti Dewa.Dewa mengangguk, meski hati kecilnya menolak akan keputusan ayahnya itu. Melihat putranya setuju ia pun memanggil Melati untuk mulai mengemas pakaian mereka. Ya, meski besok mereka baru pindah tapi tak ada salahnya 'kan bersiap sekarang?Melati mulai mengemas semua pakaian mereka, ia hanya menyisakan beberapa pakaian agar saat mereka menginap di sini masih ada baju ganti. Sesekali Melati melirik ke arah Dewa yang masih tampak muram itu. Melati langsung memalingkan wajahnya saat Dewa menatapnya.Melati semakin panik saat si mulut pedas
Melati tersenyum lega mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut tuan Robert. Ketakutannya sirna sudah ketika tahu jika lelaki paruh baya itu hanya menguji suaminya. "Jadi kerja sama ini masih bisa dilanjutkan?" Tuan Robert kembali bertanya.Dewa terlihat berpikir, ia masih dikuasai api amarah jadi pantas saja ia masih belum percaya apakah lelaki di hadapannya itu benar-benar serius dalam ucapannya atau hanya mempermainkannya."Tuan, saya minta maaf dengan hal yang sudah saya lakukan tadi. Tapi percayalah, saya hanya menguji, Anda." Tuan Robert mencoba memastikan Dewa."Baiklah kali ini saya mempercayai, Anda. Tapi jika hal seperti tadi terjadi lagi, jangan salahkan saya jika lepas kendali," ucap Dewa penuh ancaman."Siap, Tuan. Tenang saja, saya juga seperti, Anda," ujar tuan Robert."Seperti saya?" Dewa mengulang kalimat tuan Robert."Ya, seperti, Anda. Meski kita dikenal sebagai playboy, tapi kita tetap setia dengan satu wanita," jelas tuan Robert.Dewa tersenyum masam,