Share

Bab 5

Penulis: Fahira Khanza
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-15 15:15:25

"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." 

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. 

Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. 

Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. 

Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. 

Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami gunakan untuk berjualan makanan. Dan di ruko itu pula lah kami tinggal. Hitung-hitung menekan biaya pengeluaran kontrakan rumah. 

Tahun demi tahun terus berjalan, rasanya Tuhan seperti benar-benar melancarkan usaha kami. Omset setiap harinya meningkat hingga kami pun merasa kuwalahan untuk melayani konsumen. Dan dari situ lah semua berawal. Kami mulai mencari pelayan, hingga seorang juru masak. 

Dan seperti ini lah keadaan kami sekarang, memiliki rumah dua lantai, memiliki satu rumah makan yang merupakan bangunan sendiri meskipun tak terlalu luas, dan juga kendaraan roda empat yang biasanya dipakai oleh Mas Yoga berangkat dan pulang bekerja.  

Selain usaha rumah makan, Mas Yoga juga menjalankan bisnis sampingan. Yaitu, jual beli motor bekas. Akan tetapi, kata Mas Yoga, usahanya yang satu itu masih belum berkembang. Setiap minggu, hanya terjual satu atau dua sepeda motor saja. 

"Tenang saja, Sayang. Sampai kapan pun tak ada yang bisa memisahkan kita," ucap Mas Yoga dengan begitu entengnya. 

Sebenarnya ingin sekali kutendang tubuhnya saat ini juga. Akan tetapi, aku tak boleh bertindak dengan gegabah. Aku harus membalas pengkhianatan Mas Yoga dengan elegan. Tentu demi harta yang kami dapatkan selama ini. 

Terdengar Mas Yoga tergelak tawa, mungkin selingkuhannya itu sedang membuat lelucon untuknya. 

"Mana mungkin. Nggak bisa lah kalau dia minta harta gono-gini. Kalau pun pada akhirnya bercerai, dia yang harus keluar dari rumah ini tanpa membawa satu peser pun dari sini," ucap Mas Yoga dengan pongahnya. 

"Dan satu lagi ... tak akan kubiarkan dia membawa sehelai baju sekalipun. Lebih baik kubakar baju-baju miliknya itu daripada dia bawa pergi." 

Lagi, Mas Yoga kembali tergelak tawa setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. 

Aku tersenyum miris di dalam hati. Tak menyangka, ternyata lelaki yang sempat bertahta di dalam sini memiliki watak yang begitu kejam. 

Akan tetapi, mendengar kalimat demi kalimat yang ia lontarkan dengan kedua telingaku sendiri membuatku yakin untuk menjalankan rencanaku itu. Biarlah orang menyebutku perempuan licik. Aku benar-benar tak peduli. 

"Ok, baiklah. Semua akan di mulai dari hari ini, Mas. Kita lihat, aku atau kamu yang akan terjatuh dan pada akhirnya bakal terpuruk." Aku bermonolog di dalam hati. 

Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredamkan gejolak di dalam dada yang terasa tak karuan. 

Besok, aku akan mulai menjalankan rencanaku. Yaitu menyelamatkan sebagian harta yang memang seharusnya untukku. Bukan hanya setengah harta, melainkan sepenuhnya. 

"Sudah ya, aku tidur dulu. Besok pagi-pagi aku jemput kamu." 

Hening. 

"Emuah ...."

Dada ini kembali berdenyut. 

Cepat aku berjalan kembali menuju ke arah ranjang, merebahkan tubuh di tempat yang semula. 

Aku pura-pura memejamkan kedua netraku hingga beberapa menit kemudian terasa seseorang sedang naik ke atas ranjang. 

****

Aku menghidangkan sarapan untuk Mas Yoga seperti biasanya. Membuatkan secangkir kopi pahit kesukaannya. Sebenarnya ingin sekali kutaburkan racun ke dalam minumannya, akan tetapi aku tak mau masa tuaku akan kuhabiskan di dalam penjara. Bukankah lebih baik bertindak secara elegan dan halus tetapi mampu menghancurkan lawan?

Kami menikmati sarapan kali ini dengan saling diam. Tak ada pembicaraan, hanya suara denting sendok yang memecahkan keheningan. 

Sempat aku berusaha mencairkan suasana, akan tetapi Mas Yoga tak menanggapi celotehanku hingga akhirnya suasana kembali menjadi hening. 

"Nanti aku pulang malam." Tiba-tiba mulut yang sebelumnya tertutup rapat itu mengeluarkan satu kalimat. 

Aku mengangkat pandanganku, mengedarkan pandang ke arah Mas Yoga yang sedang nenyelesaikan sarapannya. Akan tetapi, Mas Yoga terus menunduk, mengamati denting sendok yang beradu dengan piring. 

"Memang ada acara apa lagi, Mas?" tanyaku masih berusaha bersikap tenang. 

"Ada urusan! Kenapa? Kau mau mencurigaiku pergi dengan perempuan lain?!" Nada suara Mas Yoga langsung meninggi. 

Aku tersenyum kecut. 

Ternyata seperti ini cara Mas Yoga menutupi kesalahannya. Pagi ini dia bersikap ketus agar tak mendapatkan pertanyaan beruntun saat ia berpamitan dan mengatakan jika ia ingin pulang malam. Pandai sekali bukan?

Aku menghembuskan napas kasar, bergegas kuselesaikan sarapanku. Hingga tak berselang lama terdengar Mas Yoga meletakkan sendok ke piringnya. Setelahnya ia meraih tas kerjanya yang ia letakkan di belakang punggung lalu bangkit dari tempat duduknya dan melenggang pergi begitu saja.

Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Aku membersihkan meja makan dan langsung mencuci piring-piring kotor bekas kami makan. 

Setelah memastikan rumah rapi dan bersih, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu menghempaskan tubuhku di ranjang.

Sebenarnya aku sendiri sudah merindukan sosok bayi kecil untuk melengkapi keluarga kecilku. Aku merindukan suara tangis dan gelak tawa yang keluar dari mulut mungil itu. Akan tetapi, hingga usia pernikahan kami sudah berjalan lima tahun, Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan pada kami. 

Sebenarnya aku pernah mengandung. Bahkan selama usia pernikahan ini, aku sudah pernah hamil tiga kali. Akan tetapi, di saat usia kandungan sudah menginjak tiga bulan, janin itu selalu gugur. 

Aku mulai membuka aplikasi sosial media yang berlogo F dan berwarna biru itu setelahnya aku mengeluarkan akun f******k asliku.

Bergegas aku mendaftarkan akun email beserta aku f******k fake pada ponselku.

Aku membuat akun dengan nama Bunga Mentari. Nama yang cantik bukan?

Bergegas aku meng-upload salah satu foto suamiku beserta selingkuhannya itu ke akun f******k, guna menjadikan foto profil di akun fake milikku. Kalian tahu, aku memilih foto yang paling jelas pada wajah keduanya, dan pilihanku jatuh pada foto saat Mas Yoga sedang duduk di lobby hotel bersama perempuan jalang itu yang kemarin dikirimkan oleh temanku.

Langkah awal yang kulakukan adalah mengirimkan permintaan pertemanan pada akun f******k Mas Yoga.

Sembari aku menunggu Mas Yoga menerima permintaan pertemananku, aku mengirimkan permintaan pertemanan pula ke akun beberapa kerabat dekat Mas Yoga yang masih terbilang muda. Tak lupa pula aku mengetik satu akun milik tetangga Ibu mertua di kampung yang terkenal paling julid. Aku tahu, sebab aku pun juga berteman dengan beberapa tetangga kampung Mas Yoga. 

Setelah semua selesai, satu per satu permintaan pertemananku sudah mulai dikonfirmasi. Bahkan, tak lama setelah itu ada dua pesan yang dikirimkan oleh nama akun yang berbeda masuk ke aplikasi inbox milikku. 

Tanpa membuka terlebih dahulu, bergegas aku meletakkan ponselku dengan asal. Bangkit dari ranjang lalu mulai mengganti pakaianku. Sebab aku akan keluar menemui seseorang. 

Setelah penampilanku sudah terlihat pantas, aku menghubungi nomor milik Mas Yoga melalui sambungan telepon. 

"Halo, Mas," sapaku setelah panggilan itu diangkat setelah terdengar dering ke tiga.

"Hm ...."

"Mas, aku mau pergi sebentar." 

"Ke mana? Menemui lelaki lain di luar sana?" ucap Mas Yoga dari seberang sana dengan nada yang begitu ketus. 

Aku mengusap dadaku, menenangkan diriku sendiri yang hampir saja tersulut oleh emosi. 

"Aku ingin bertemu dengan ...."

"Lelaki kan?" pekik Mas Yoga memotong ucapanku. 

"Astaga ... bukan, Mas. Aku hanya ingin pergi dengan Maya, Mas." 

Aku berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun aslinya ingin kutendang dan kuhajar lelaki kep*rat itu. 

"Gimana? Enak?" tanya Mas Yoga yang membuatku melipat kening. 

"Apanya, Mas?"

"Gimana rasanya dicurigai? Nggak enak kan?!" 

Aku menghembuskan napas berat. 

"Sudahlah, Mas. Aku hanya meminta izin dari kamu, jangan memperpanjang masalah sepele begitu, dong," protesku tak terima. 

Padahal kemarin bukanlah kecurigaan belaka. Padahal aku melihat dengan kedua bola mataku sendiri saat Mas Yoga berjalan dengan mesra saat akan masuk ke dalam rumah. 

Sedikit menyesal sebenarnya saat aku tidak langsung menyerang perempuan itu. Padahal aku bisa saja langsung menyerangnya saat itu juga. Tapi, aku tak boleh bersikap seperti itu untuk menjalankan beberapa rencanaku. 

Mas Yoga mematikan teleponnya secara sepihak. Kumasukkan ponselku ke dalam tas yang akan kubawa, bergegas aku keluar kamar lalu berjalan menuju ke arah depan rumah. Menghenyakkan tubuh di kursi yang ada di teras rumah. Menunggu seseorang datang menjemputku untuk mengantarkanku ke suatu alamat yang ingin kutuju. 

Belasan menit aku menunggu kedatangan Maya, akhirnya terdengar suara klakson dari depan rumah. Cepat aku bangkit dari tempat dudukku, bergegas aku melangkah ke arah sana setelah memastikan pintu rumah sudah terkunci. Sebab aku yakin, mobil yang berhenti dan membunyikan klakson adalah Maya. 

Aku langsung membuka pintu mobil bagian depan, menghenyakkan tubuhku di jok tepat di samping Maya yang duduk di balik kemudi. 

"Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya Maya saat aku sedang mengenakan sabuk pengaman. 

"Sudah," jawabku dengan singkat. 

"Kamu yakin bakalan melakukan ini?"

Cepat aku menolehkan kepala ke arah Maya. Sepertinya ia tengah meragukan langkah yang kuambil saat ini. 

"Yakin! Sedikit pun tak ada keraguan di dalam sini. Lebih baik aku melakukan semua ini, peduli setan jika semua orang menganggapku seorang perempuan licik."

Aku menghela napas dalam-dalam. 

"Aku sama sekali tak rela, May, jika perempuan itu bisa menikmati harta yang telah kami kumpulkan bersama. Kamu tahu sendiri kan seperti apa kerja keras kami dulu?" tanyaku dan Maya mengangguk cepat. 

"Cukup sudah dia menikmati harta yang seharusnya menjadi hakku. Sebab aku yakin kalau Mas Yoga pasti menggelontorkan uang ke rekening perempuan itu," lanjutku kemudian. 

"Iya, aku mengerti perasaan kamu. Kita berangkat sekarang ya," ucap Maya yang kubalas dengan anggukan kepala. 

Setelah beberapa saat kemudian, suara mesin mobil mulai terdengar hingga sepersekian detik setelahnya mobil mulai melesat membelah jalan raya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Egi Latto Egi
sebenarnya klu langsung di labtak, kaka langsung win tapi cerita ini menjadi pendek dan sakit hati itu tidak terasa dalam. (ada bukti ajukan cerai/selesai)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   Ending

    Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   Bab 136

    Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   Bab 135

    Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   bab 134

    “Apa, Stroke?” Mutia begitu terkejut setelah mendengar diagnosa dokter terhadap ibu mertuanya.“Iya, kemungkinan itu yang terjadi setelah kami memeriksa kesehatan Pasien tadi,” ucap sang dokter. “Tapi untuk mengetahui lebih dalam apa penyakitnya, kita memerlukan waktu lebih.”Mutia mulai tampak kebingungan. Kabar tidak enak ini terlalu mendadak untuk ia tanggung sendiri. “Tapi ibu mertua saya akan sembuh kan, Dokter?” tanya Mutia penuh harap.“Kemungkinan sembuh ada, tapi mungkin tidak sesehat sebelumnya,” jawab sang dokter. “Sebaiknya kita berdoa saja semoga Bu Leha cepat sadar dan pulih kembali.”Sudah kurang lebih dua jam Mutia menunggu mertua kejamnya itu di rumah sakit. Sudah berulang kali Mutia mencoba menghubungi suami dan iparnya, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Lelah, capek, sakit hati, semua Mutia rasakan saat ini. Ingin rasanya Mutia berteriak sekencang mungkin mengeluarkan semua beban yang terasa di dalam dada. Tapi apa daya, Mutia tidak bisa melakukan semua itu. Mut

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   Bab 133

    "Sialan! Kau sembunyikan dimana uangku, Mutia!" pekik wanita paruh baya itu saat tak menemukan apa yang ia cari di segala tempat. "Mutia nggak ambil uang milik Ibu ....""Halah! Nggak usah bohong kamu! Balikin uangku!" Sang ibu mertua melangkah mendekat ke arahnya dengan tatapan tajam. Seketika perasaan Mutia menjadi tak enak. Hingga jantung pun terasa seperti berdegup lebih kencang.Rasanya ingin melawan, tapi entah mengapa tenaga seperti sudah hilang. Apa ini karena Mutia masih menghormati orang tua suaminya itu? ataukah Mutia hanya berlarut dalam rasa bersalah, dan ini harga yang harus ia bayar?Mutia hanya bisa terus berusaha memberontak tanpa melawan. Air mata yang menetes pun seperti tidak akan membuat Ibu mertuanya iba akan kesakitannya. Kini semakin jelas Mutia merasa sebegitu hina dirinya di mata mertuanya, padahal setiap hari Mutia rasanya sudah cukup berkorban menahan hati melayani keluarga ini. Apa tidak sudah ada rasa kasihan, atau rasa iba kepada dirinya?“Bu, sakit Bu

  • Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh   Bab 132

    Kedua telapak tangan Mutia terbuka dan terangkat sebatas dada. Dengan bibir bergetar, ia ucapkan permohonan ampun pada Sang Pemilik Kehidupan setelah ia lakukan beberapa rakaat shalat taubat. "Ampuni hamba, Ya Allah. Ampuni Hamba ...." Suara itu bergetar dengan tubuh yang terguncang. Air mata terus bergulir dengan begitu derasnya. Hingga menciptakan jejak-jejak air mata di wajahnya. Air mata itu terus keluar, sebagai bentuk penyesalan yang teramat dalam. Belasan menit ia memohon ampun, ada rasa kelegaan tersendiri yang dirasakan oleh Mutia."Ha ha ha, apa yang kau lakukan, Mutia?" Suara tawa terdengar begitu menggema. Suara yang berasal dari Yoga yang baru saja membuka pintu kamar lalu melihat sang istri sedang bersujud dengan balutan mukena di tubuhnya. Mutia langsung mengangkat kepalanya. Ia duduk lalu menolehkan kepala ke arah sang suami yang terus tertawa. Mutia tau, dia telah ditertawakan oleh sang suami. "Tumben sekali kau sholat? Apa kau sadar jika dirimu penuh dengan dos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status