"Kamu yakin Devan tidak akan mau dengan gadis kecil sepertinya?" tanya Arya masih meragukan, karena dia takut kalau perkiraan Raka itu salah. Arya jadi teringat kalau Raka tidak punya pengalaman mengerjakan satu misi seperti ini. "Ya, siapa juga yang mau dengan gadis ingusan seperti itu? Apalagi seharusnya Maura dijadikan Adik, bukan malah dijadikan kekasih. Aku yakin, selera Devan juga tinggi. Lihat saja mantan istriku! Lusi itu bukan wanita sembarangan. Jadi, sudah dipastikan itu tidak akan terjadi. Kalau pun misalkan suatu hari nanti Maura memaksa, kita tinggal buat gadis itu tidak berdaya. Buat dia menjadi bersalah dan ancam, bereskan kan?" ucap Raka. Dia tidak berpikir sama sekali apa yang akan terjadi jika sudah melakukan itu semua. Arya terdiam sejenak, memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh pria di depannya ini."Ya, ya. Kamu benar juga. Kalau memang tidak ada pilihan lain, ya sudah. Sertakan gadis itu. Aku juga ingin melihatnya," ucap Arya, penasaran. Raka pun langsu
"Kenapa jadi seperti ini, sih, Maura? Kamu bilang, kamu bisa menangani semua ini dan membuat anakku dekat denganku kembali. Dengan begitu aku juga bisa kembali kepada Lusi. Ini kan yang kamu katakan? Kamu sendiri yang menawarkan kerja sama denganku, tapi malah seperti ini. Bagaimana?" tanya Raka. Dia jadi kesal sendiri karena ternyata ada saja halangan untuk mereka menjalankan aksi. Maura kebingungan, dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Cuma, tentu saja Maura tidak mau disalahkan. Dia juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghasut Alia. Hanya saja, gadis itu seperti punya pendirian dan sampai dipatahkan oleh Lusi sendiri. "Ya, kamu jangan nyalahin aku sepenuhnya, dong! Mana ada yang tahu kalau ada orang baru datang di rumah ini, dan lebih sialnya lagi orang itu lebih dekat dengan Mbak Lusi dibandingkan aku. Aku juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghasut Alia agar kembali percaya kepadamu, tapi ternyata gadis itu masih bisa dikendalikan oleh ibunya. Aku bingung harus ber
Setelah makan malam usai, Lusi pun pamit undur diri. Karena banyak sekali pekerjaan yang belum selesai. Tadi Lusi pergi bersama Devan. Dia juga harus mengecek beberapa laporan keuangan dan berkas-berkas lain yang belum sempat tersentuh. Alia pun memilih untuk pergi ke kamar, karena akan mengerjakan PR dan langsung istirahat. Yang tersisa tinggal Adiba dan Maura saja. Sebenarnya gadis itu juga harus pergi ke kamar untuk sekolah besok. Tetapi entah kenapa ada yang menahannya di sini, seolah kalau dirinya itu harus memperjelas batasan yang membuat dirinya merasa tidak suka dengan sikap Adiba. Saat ini Maura membereskan piring bekas makan malam mereka dan menyimpannya di wastafel. Sebenarnya di sana ada mesin cuci piring. Dia tidak repot mencucinya. Hanya saja ada yang ingin dia sampaikan kepada Adiba. Mungkin sedikit berpura-pura baik kepada gadis itu. Tidak masalah, dibandingkan dirinya yang terus memperlihatkan ketidaksukaan kepada Adiba. "Biar aku bantu, ya, Mbak," ucap Maura ti
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali Maura pun sudah bangun. Dia menyiapkan sarapan untuk hari ini. Ada beberapa menu makanan yang tersedia. Semalaman gadis itu sudah bertekad dalam hati, akan mengalahkan apa pun yang dilakukan Adiba. Meskipun usianya baru 17 tahun, bukan berarti kalau dia itu bisa dikalahkan oleh orang dewasa. Apalagi Adiba itu seumuran dengan Lusi, yang harusnya sudah mempunyai suami dan anak. Tetapi sayangnya sampai detik ini Adiba belum menemukan tambatan hati. Dia memasak makanan apa saja yang sekiranya Maura bisa, karena selama di kampung pekerjaan rumah dan segala apa pun yang berkaitan dengan keseharian, Maura lakukan. Gadis itu benar-benar terniat. Bahkan dia bangun sebelum Subuh berkumandang. Juga sebelum Adiba bangun. Tepat pukul 04.00 pagi, Adiba bangun dan hendak memasak. Tetapi dia dikagetkan dengan kehadiran Maura, apalagi gadis itu sudah menyajikan beberapa menu makanan di atas meja. Ya, menunya itu sederhana sekali, khas kampung dan dia tahu kemungki
"Kenapa diam saja? Ayo jawab! Kamu takut mendapatkan tantangan dariku atau kamu sudah yakin kalau akan kalah dariku?" tanya Adiba, sengaja memancing emosi Maura. Dia tahu, gadis seusia Maura itu mudah sekali terpancing sebab masih labil. Jadi, untuk mempermainkan Maura juga butuh sebuah trik, yaitu dengan cara membuat Maura kesal. Hingga gadis itu mau mengikuti semua permintaan dan keinginan Adiba.Tantangan itu sebenarnya adalah umpan agar Maura bisa mengikuti semua peraturan Adiba. Dengan begitu anak ini tidak akan melenceng dari aturan dan norma. Takutnya jika dibiarkan, Maura akan benar-benar menghancurkan Lusi. Maura masih tampak kebingungan. Sebenarnya, merasa berat, takut jika Adiba itu melakukan sesuatu yang aneh kepadanya. "Ya sudah, kalau kamu tidak mau berarti sudah dipastikan kamu kalah, ya. Dan ingat, kamu harus mengikuti semua keinginanku." Maura terkesiap. Dia langsung menggelengkan kepala. "Loh, kok aturannya kayak gitu? Kan dari awal juga nggak seperti itu. Aku be
"Ini enak," cetus Alia membuat wajah Maura langsung semringah.Adiba tampak terdiam, sementara Lusi kaget mendengar racauan dari Alia. Maura benar-benar merasa tersanjung mendengar perkataan itu. Tetapi siapa sangka? Beberapa detik kemudian gadis kecil itu tiba-tiba saja mengucapkan kalimat yang membuat Maura langsung terhempas ke dasar tanah yang paling dalam."Tapi enakan masakan Ibu, sih. Apalagi masakan Tante Adiba sama persis kayak masakan Ibu. Kalau punya Kak Maura enak, tapi tidak seenak punya Ibu dan Tante Adiba," lanjut Alia tiba-tiba saja membuat Adiba menahan tawa, sementara Lusi tersenyum kaku, merasa kasihan kepada adiknya karena ternyata masakan yang dibuat Maura tidak seenak dirinya. Senyuman Maura langsung luntur saat itu juga. Sang gadis tampak merengut, tapi dia juga tidak mungkin memaki Alia di depan Lusi. Bagaimanapun Alia adalah anak kecil yang pasti jujur jika bertingkah atau mungkin ini adalah kamuflase saja? Mungkin juga sabotase dilakukan Adiba agar memberika
Hening, tidak ada satu pun yang berbicara di mobil. Saat ini Adiba baru saja mengantarkan Alia ke sekolah, yang artinya tinggal tersisa dia dan Adiba. Gadis itu pun menyuruh Maura untuk di depan.Awalnya gadis itu menolak. Tetapi dengan tegas Adiba mengatakan kalau dirinya menang dalam tantangan, ditambah lagi Adiba menegaskan dia bukan sopir yang harus duduk di depan, sementara Maura di belakang.Dengan berat hati akhirnya gadis itu pun memilih untuk ke depan, duduk di samping Adiba dengan perasaan campur aduk. Tentu saja dia takut kalau Adiba melakukan hal yang aneh-aneh kepadanya, karena tahu jika Adiba pasti sedang merencanakan sesuatu karena kekalahannya. Melihat reaksi Maura yang tampak ketakutan dan bingung, membuat Adiba tersenyum sinis sembari menyetir. Dia menyetel sebuah lagu yang cukup memekakkan telinga. Maura mendengarnya pun langsung menutup telinganya. Dia ingin protes, tapi tidak bisa. Memilih untuk diam daripada harus berbicara dan malah memancing pembicaraan. Mungk
"Memangnya apa yang akan Mbak lakukan kepadaku? Palingan Mbak terus menindasku di rumah Mbak Lusi, kan? Kalau itu, aku bisa mengelak dan mungkin bisa mencari alasannya kepada Mbak Lusi jika aku tidak bisa pulang dengan cepat." Mendengar keberanian Maura, Adiba mengacungkan dua jempol, tapi dia juga tidak lupa menggelengkan kepala sembari berdecak. Dia benar-benar seorang gadis yang luar biasa. Di hadapan Lusi tampak polos, tapi hatinya busuk sekali. "Hebat sekali perkataanmu. Mungkin itu juga termasuk, tapi apa kamu yakin tidak mau tahu apa yang akan aku lakukan sebenarnya?" Maura penasaran, tapi kalau dia mencari tahu akan menjadi ketakutan yang mungkin bisa membuat hatinya benar-benar gundah. "Aku tidak mau tahu, Mbak. Aku bisa menerima semua perintah Mbak yang berkaitan dengan Mbak sendiri, tapi kalau misalkan mengatur kehidupanku, tentu saja aku tidak mau Mbak ikut campur. Karena itu privasiku," ujar Maura dengan tegas. Dia bahkan memalingkan wajah dari gadis di sampingnya. A
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo