"Syarat? Syarat apa, Bu?"Winda pikir dengan menjadi istri Raka dan memberikan semua perhatian, itu sudah cukup. Padahal dia juga akan menjamin kehidupan Raka maupun ibunya, tetapi Bu Sinta tampaknya tidak puas dengan semua itu dan malah menginginkan hal lainnya.Bu Sinta melipat tangan di depan dada, dia berpikir bagaimana menyusun kata-kata yang benar agar Winda paham dan tidak berujung dengan mundurnya niatan wanita itu untuk mendapatkan hati Raka. "Gampang, kok syaratnya. Kamu cukup patuh sama Ibu aja, nurut sama Ibu. Gimana pun juga nanti aku ini kan akan menjadi mertuamu, artinya sebagai orang tuamu juga, kan? Ya, kamu harus nurut aja gitu. Gimana?"Winda terdiam. Dia paham arti apa kata menurut, yang pasti hidupnya akan lebih diatur oleh Bu Sinta. Ini benar-benar sebuah bencana jika rumah tangga terus saja diatur atau disetir oleh orang tua.Winda tentu saja tidak mau. Tetapi kalau dia menolak saat ini, yang ada semua pengorbanannya hari ini akan sia-sia. Jadi, sang wanita p
"Pasti bohong! Tidak mungkin Devan mengatakan semua ini apalagi lewat surat. Bukankah dia bisa menelepon saya langsung dari kantor polisi? Kenapa harus melalui Anda?" Pengacara bernama Haris itu tersenyum sebaik mungkin. Dia adalah orang yang tenang jika menghadapi seseorang yang akan membuat pekerjaannya semakin sulit atau bahkan malah mengelak dari apa pun yang sudah ditetapkan. "Tentu Pak Devan bisa saja menolak Anda, tapi Pak Devan mengatakan takut akan terpancing emosi jika bertemu atau mendengar suara Anda," ungkap Haris.Memang pada kenyataannya seperti itu. Sebelumnya Devan berhasil menghubungi pengacara bernama Haris. Devan kenal Haris sebab pria itu adalah pelanggan di restorannya. Beberapa kali datang dan Haris juga mengatakan kalau dia siap membantu jika ada masalah yang perlu dilewati dengan jalur hukum.Jadi, Devan memanfaatkan itu untuk keluar dari sini dan menyeret Arga ke penjara. Devan itu harus mendapatkan apa yang sudah dia rasakan selama di sini. Arya menatap k
Malam telah tiba, Lusi dan Adiba pun sudah memasukkan barang-barang bawaannya ke mobil box yang terlebih dahulu pergi. Sementara dia akan berpamitan kepada Bu Murni. Kebetulan sekarang jam 8 malam, jadi dia sengaja menunggu saat benar-benar kompleks ini agak sepi. Dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk pergi dari sana tanpa pantauan siapa-siapa. Lusi pun menatap rumahnya yang sudah sekian lama ditempati, banyak sekali kenangan yang menghiasi sehari-harinya. Dari mulai kebahagiaan melimpah hingga dihancurkan berkeping-keping karena keegoisan. Semua itu sudah terekam jelas di benak Lusi. Dia harus merelakan semua ini demi kehidupan Alia dan dirinya di masa depan. Adiba menepuk pundak. Dia tersenyum kepada sahabatnya bersamaan menguatkan agar Lusi bisa melepas dalam ikhlas. "Ayo, nanti kita takut kemalaman. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum ada orang yang melihat," ujar Adiba yang langsung diangguki oleh Lusi. Mereka pun sudah pamitan ke Bu Murni, wanita paruh baya itu
"Nona, mau ke mana tadi? Nona tidak menyebutkan mau ke mananya," tanya sang sopir, karena sedari Maura naik, wanita itu tak mengatakan apa-apa dan malah diam sembari menangis dalam diam. Sebenarnya sopir taksi itu merasa ada yang aneh, sebab tampak sekali kalau penumpangnya ini sebelumnya berlari-lari saat hendak menghentikan taksinya, tetapi tentu saja sopir itu tidak berani bertanya apa-apa. Takut malah melanggar privasi. Hanya saja, mereka malah berputar-putar terus tanpa tujuan yang jelas. Maura mengusap jejak air matanya, tidak mau sampai terlihat menyedihkan di depan sopir itu. Sang wanita tampak kebingungan. Dia melihat ke sekitar dan tak tahu ini di mana. Hingga akhirnya wanita itu meminta dihentikan di sebuah masjid besar di pinggir jalan. Setidaknya di tempat ini dia pasti aman, tanpa ada orang-orang yang mau menjahatinya. "Berapa, Pak?" tanya Maura. Pria itu memperlihatkan agro yang berjalan di depan kemudi. Untunglah Maura sempat mengambil tas yang berisi ponsel dan do
"Kamu jangan menangis seperti ini! Orang-orang bisa mengira kalau aku menyakitimu. Coba katakan dengan tenang, apa yang sudah terjadi?" tanya Raka. Dia jadi bingung sebab Maura malah menangis dengan sesenggukan, terlihat sekali kalau dia menahan kesakitan. Karena Maura yang tidak kunjung berhenti menangis, akhirnya pria itu mengajak Maura untuk pergi menjauh dari pelataran masjid.Dia takut malah menjadi viral lagi karena hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Sang pria baru saja pulang dari kantor. Sebenarnya dia sudah pulang dari jam 5 sore, tapi ada beberapa berkas yang harus dipelajari oleh Raka. Jadi, dia kembali ke kantor Mila dan mengambilnya, tetapi di jalan pria itu ingin ke toilet. Tetapi, tidak menemukan pom bensin dan akhirnya harus ke masjid ini. Saat keluar mendapati ada Maura yang terduduk sendiri sembari kebingungan. Tentu saja Raka yang mengenal wanita itu tidak tega kalau misalkan melewatinya saja tanpa bertanya, tapi siapa sangka? Malah seperti ini. Wanita i
"Apakah aku tidak akan merepotkan, Mas?" "Ya, nggaklah. Asalkan kamu nggak macem-macem, pasti semuanya akan aman. Nanti aku akan jelaskan semuanya," ucap Raka. Dia tidak mengatakan kalau yang dimaksud adalah Mila. Sementara Maura berpikir kalau Raka sedang membicarakan ibunya.Wanita itu tersenyum penuh arti. Dia benar-benar bersyukur. Akhirnya bisa mendapatkan tempat tinggal meskipun mungkin dia harus lebih sabar menghadapi orang seperti Bu Sinta. "Ya sudah, ayo kita berangkat! Nanti keburu malam, aku takut diomeli," ajak Raka yang langsung diangguki oleh Maura. Wanita itu pun akhirnya pergi bersama Raka menggunakan mobil. Maura tampak kebingungan, karena setahunya Raka itu tidak punya apa-apa setelah bercerai dengan Lusi. "Mas, ini mobil kamu?" tanya Maura membuat Raka diam. Kalau dia mengatakan jika itu adalah mobil istrinya, tentu saja ini sangat melukai harga diri sebagai laki-laki. Tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan kalau ini miliknya. "Bukan, aku hanya memakainya s
Sama halnya dengan Maura, Mila pun terkejut mendapati Adik yang tidak diinginkan itu sudah berada di depan. Mila menoleh kepada Raka dengan tatapan menyelidik dan juga marah. "Kenapa kamu datang bawa dia?" tanya Mila membuat Raka menaikkan kedua alisnya. "Dia? Kamu kenal wanita ini?" tanya Raka, kebingungan.Mila terkesiap. Dia lupa kalau Raka tidak tahu jika Mila punya Adik bernama Maura. Wanita itu juga tidak tahu kalau ternyata Maura menyembunyikan identitas Mila dari siapa pun. Dengan cepat Mila berusaha mengubah ekspresinya. "Iya, siapa juga yang kenal dia?" Kata-kata itu langsung menusuk hati Maura. Sang wanita yang sebelumnya kaget itu langsung terlihat sedih. Dia sampai menurunkan pandangan, berusaha untuk menahan air mata yang hendak keluar. Sungguh sebuah kejutan yang membuat hatinya remuk redam. Dia kira Raka akan membawa ke rumahnya, tetapi ternyata pria itu membawa Maura ketemu dengan wanita yang begitu dihindari selama ini. Lalu, apakah dia sekarang harus pergi dari
"Lalu, kamu pikir memasukkan wanita lain ke rumahku itu juga atis? Itu juga tidak etis. Aku tidak mau dia ada di tempatku. Bawa dia pergi dari sini," ungkap Mila dengan ketegasannya. Dia tidak mau sampai hidupnya direcoki lagi oleh Maura. Kehadiran adiknya di dunia ini saja sudah salah menurut Mila, apalagi kalau misalnya dia benar-benar satu atap dengan Maura. Bisa-bisa hidupnya tidak akan tenang. Raka terperangah. Dia tidak tahu kalau Mila sampai protes sebab kehadiran Maura. Begitu cemburuan Mila pada seorang wanita sampai seperti ini. Begitu pikir Raka. Jadi tidak ada kesempatan untuk Maura. Wanita itu juga hanya diam menunjuk. Tampaknya Raka harus benar-benar membujuk Mila agar mau membiarkan Maura tinggal di sana beberapa hari.Mungkin pria itu akan mencari tempat tinggal yang baru untuk Maura. Dia tidak boleh kehilangan Maura. Ini kesempatan untuk menghancurkan Devan, yaitu melalui Maura. Dengan menikahkan anak di bawah umur ini bersama pria yang menjadi saingannya. "Maura,
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa ππππππππ. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se