"Gini saja, kalau memang mau mempertahankan anak Mas, gimana kalau misalkan Mas tinggal menggugat hak asuh anak? Bilang saja kalau misalkan Mbak Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan Ibu.""Maksud kamu apa?" tanya Raka, tidak mengerti."Ya, seperti yang mas bilang. Mbak Mila itu tempramental. Memangnya bisa seorang anak hidup dengan seorang Ibu yang temperamental? Bukannya merasa nyaman, aku yakin anaknya pasti akan tertekan jika hidup dengan seorang Ibu yang pemarah seperti Mbak Mila. Menurutku itu adalah cara yang paling baik atau jika perlu Mas ajak aja Mbak Mila tes psikologi dan lihat, dia itu mengidap apa sampai kelakuannya itu barbar sekali?" ungkap Maura, tidak mau memfilter ucapannya. Biarkan saja memang kenyataannya seperti itu. "Apa kamu perlu mengatakan hal seperti itu kepada orang yang sudah menolongmu?" tanya Raka sedikit kesal, karena Maura juga tidak bisa menyaring ucapannya."Maaf ya, Mas. Yang menolong aku itu kamu, bukan Mbak Mila," terang Maura, tidak ma
"Aku akan pikirkan lagi nanti," ucap Raka, akhirnya mengambil keputusan. Dia tidak mau terburu-buru dan malah rugi sendiri, karena pelajaran berharga setelah dulu menyakiti Lusi. Dia tidak bisa kembali kepada Lusi. Apa pun yang sudah dia lakukan, tidak berarti lagi bagi mantan istrinya. Sekarang Raka tidak mau menyesal nanti. Mungkin pria itu tidak masalah meninggalkan Mila. Tetapi, bagaimana kalau misalkan anak yang ada di dalam kandungan Mila itu tidak bisa diraih oleh Raka? Ini akan benar-benar menyakiti seorang pria. Selain itu, dia juga harus mempertimbangkan untuk menikahi Winda, karena hanya lewat wanita itu, dia bisa mencari Alia. Kalau saja dirinya punya banyak uang, mudah bagi Raka untuk mencari anaknya. Tetapi sayangnya semua tidak bisa dilakukan. "Sebaiknya kamu kembali lagi saja ke rumah Mila. Kalau memang keputusannya tetap akan di sana, tetapi amanatku kamu harus sabar menghadapi Mila. Aku juga titip Mila, lebih tepatnya titip anak yang ada di dalam kandungan istrik
Saat kembali ke rumah Mila, ternyata wanita hamil itu tidak ada. Entah tak mengerti dengan Mila, rumahnya tidak dikunci sama sekali. Sebenarnya wanita hamil itu berpikir kalau Raka mungkin saja akan pulang. Jadi, Mila sengaja tidak mengunci rumahnya. Lagi pula di sana ada satpam, jadi Mila merasakan aman walaupun rumahnya tidak dikunci. Maura melihat kalau rumah itu berantakan, mungkin karena Mila sama sekali tidak menyentuh pekerjaan rumah atau pembantunya belum datang. Sebenarnya Mila juga sengaja menyuruh pembantunya untuk tidak datang terlebih dahulu, karena takut kalau sewaktu-waktu Raka datang dan mungkin saja akan tahu tentang masalah rumah tangga antara dirinya dan Raka. Wanita hamil itu berusaha untuk menutupi segalanya dari siapa pun, termasuk dari karyawan-kawannya. Hanya Maura yang tahu tentang masalah ini. Maura yang sudah datang pun akhirnya terpaksa membereskan rumah, setidaknya dia tidak akan diusir untuk sementara waktu sampai semua rencananya berjalan dengan lan
"Mas Arya," cicit Maura dengan suara pelan dan juga wajah kaget. Wanita itu sampai meneguk saliva dengan susah payah dan melihat ke sekitar, takut jika orang yang disebutkan tadi tengah mengawasinya. Gawat kalau Arya ikut campur dengan rencananya."Anak pintar! Kamu masih mengingat namaku dan suaraku, kan?" tanya Arya di seberang sana, membuat Maura kembali meneguk saliva. "Mas, ada di mana? Belakangan ini aku nggak mendengar kabar dari Mas." "Oh tentu saja, aku menghilang beberapa saat setelah membantumu untuk mendapatkan Devan. Ya, walaupun sayangnya Devan harus dipenjara dan kamu belum juga menikah dengannya. Jadi, apakah kamu sudah bertemu lagi dengan Devan?" tanya pria itu membuat Maura menautkan kedua alisnya."Maksudnya gimana? Bukankah Mas sendiri yang bilang kalau Mas Devan di penjara? Kita kan sudah pernah bertemu dengannya, Mas. Dan Mas Devan masih menolak aku. Ngomong-ngomong Mas Arya sekarang di mana? Aku udah gak pernah dengar kabar Mas Arya," tanya Maura. Pria yang
"Aku nggak bisa, Mas," cetus Maura, tiba-tiba saja membuat Arya tersentak, kaget. "Kenapa? Apa kamu tidak mau mengejar Devan lagi? Bukankah kamu sudah berjuang sejauh ini? Aku juga membantumu, kan? Jangan membuatku kecewa, dong! Aku sampai rela mendukungmu dan membuat Devan dipenjara hanya untuk menyatukan kalian, tapi kenapa kamu seperti itu?""Bukan apa-apa, Mas. Aku saat ini memang tidak bisa ke sana. Sebab aku juga tidak punya uang untuk pergi ke kantor polisi," ujar Maura, memberi alasan. Padahal yang sebenarnya, dia belum siap bertemu dengan Devan. Takut jika kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Bagaimana kalau misalkan ajuan itu tidak berhasil dan malah membuat Devan semakin membencinya? Maura harus memastikan dulu kalau dia punya uang yang banyak untuk membuat Devan benar-benar bertekuk lutut. Entah mencari barang bukti palsu atau apa pun yang bisa membuat Devan mau tidak mau harus menikahinya. Wanita ini benar-benar tidak tahu kalau saat ini Devan sudah keluar dan sedang men
"Ya, nggak gitu juga, Mas. Tapi masalahnya, aku tidak bisa ke kantor polisi sekarang.""Kenapa?"Maura menggigit bibir bawahnya. Dia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang sedang bersama Raka. Jangan-jangan pria itu juga akan memanfaatkan dan mungkin menyuruh pria itu melakukan hal yang macam-macam. Tidak, tidak boleh terpecah belah terlebih dahulu. Biarlah masalah Devan akan disimpannya, karena dia yakin Devan saat ini masih ada di kantor polisi dan tidak mungkin mencari wanita lain untuk menggantikan Lusi. "Ya, intinya aku tidak bisa memberitahu Mas Arya. Nanti kalau misalkan aku bisa menemui Mas Devan, aku kabari lagi, ya?" Arya merasa panas hati. Dia tidak terima dengan penolakan yang diberikan oleh Maura. Seharusnya wanita itu mengikuti semua kemauannya, demi kebaikan Maura sendiri. Begitu pikir Arya. "Berarti kamu itu tidak menghargaiku yang sudah membantumu sampai sejauh ini." Mendengarnya Maura terkesiap. Dia menggelengkan kepala. Meskipun Arya tidak tahu apa yang sedang
Ponsel Winda berdering saat dia sedang mengecek supermarketnya. Wanita itu langsung melihat layar ponsel dan menautkan kedua alis. Nomor Raka. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya, antara takut kalau Raka itu tiba-tiba saja memberikan jawaban yang menyakitkan dan mengecewakan atau sebuah jawaban yang mungkin saja akan membuat hidupnya senang. Karena tidak mau sampai menebak-nebak sendiri, akhirnya wanita itu pun menjauh dari keramaian. Tanpa pikir dua kali langsung menerima panggilan dari sang pria. "Iya, Mas. Halo?" tanya Winda dengan suara yang pelan. Dia takut kalau Raka tiba-tiba saja mungkin marah sebab perkataan tadi pagi.Hening, tidak ada suara apa pun dari seberang sana. Winda sampai melihat ponselnya, takut kalau yang menelepon itu ternyata bukan Raka, tetapi saat dipastikan memang itu nomor Raka. Bahkan namanya tertera dengan jelas di layar ponsel. "Halo, Mas. Kenapa tidak ada suaranya?" tanya Winda, akhirnya memberanikan bertanya seperti itu.Tiba-tiba saja terden
Mendengar semua perkataan Winda, hati Raka sedikit lega. Dia tersenyum senang, akhirnya ada orang yang mau membantunya meskipun dengan imbalan dia harus menikahi Winda. Sungguh di luar dugaan, ada wanita yang mau dimadu seperti Winda hanya demi mendapatkan seorang pria yang notabene tidak memiliki apa-apa. Raka itu bukan pria kaya. Memang hanya tampan dan juga baik hati di mata orang-orang, tentu sebelum perselingkuhannya dengan Mila terbongkar luas.Raka itu terkenal humble, ramah. Tetapi sayangnya semua image itu hancur seketika setelah perselingkuhannya dengan Mila mencuat di media sosial. Tetapi bagi Winda, semua itu tak masalah. Lagi pula dia akan menyalahkan Mila karena sudah menggoda Raka. Tidak ada pria yang akan selingkuh jika tidak dimulai oleh wanita penggoda, begitu pikir Winda. Dia mendekati Raka bukan saat masih berstatus suami Lusi, jadi dia sama sekali bukan seorang pelakor dulu. Tetapi, sekarang mau tidak mau Winda harus mengakui kalau dirinya itu pelakor, karena su
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo