Usai menempuh perjalanan selama hampir tiga puluh menit lamanya, akhirnya Shanum sampai di depan gedung perkantoran itu, aku memandang takjub gedung setinggi 25 lantai itu. Dhanu Mahendra, papanya telah membangun perusahaan itu dengan jerih payah dan keringatnya.
Jatuh bangun sempat dilalui pria tangguh itu, hingga bisa menjadi sukses seperti sekarang.Brukk!"Aduh! Kalau jalan hati-hati dong!" maki Shanum pada seseorang yang menabraknya."Eh! Maaf, aku nggak lihat jalan tadi—" Suara bariton seorang pria segera terdengar di telinga Shanum. Seseorang itu mengulurkan tangannya untuk membantu Shanum berdiri. Wanita itu mendongak untuk melihat wajahnya."Kamu!" ucap keduanya secara bersamaan sambil saling menunjuk satu sama lain.Mereka berdua sempat saling terkejut selama sepersekian detik lamanya. Saat keterkejutan itu sirna, barulah pria itu benar-benar membantu Shanum untuk berdiri. "Ada angin apa nih seorang Shanum datang ke kantor?" sindirnya dengan nada sarkasme yang cukup kental. "Pengen aja, sekalian mau ngecek kerjaan lo beres nggak," cetus Shanum asal. Feri Indrawan, dia merupakan sahabat Shanum sejak kecil. Orang tuanya juga merupakan sahabat karib kedua orang tuanya semasa muda dulu.Ia memang bekerja di kantor Dhanu, dan menjabat sebagai manajer keuangan. Lelaki tampan itu menggantikan posisi Arya sebelumnya. "Sial lo! Gimana kabarnya?" sahut dan tanya Feri pada sahabatnya itu yang cukup lama tak berjumpa."Baik, dong. Kalau nggak, mana mungkin lo lihat gue di sini," jawab Shanum ringan.Keduanya lantas berjalan beriringan masuk ke kantor. Shanum meminta Feri untuk masuk ke ruangan pria itu lebih dulu, demi bertanya tentang kondisi perusahaan peninggalan papanya. "Semuanya baik-baik aja, Sha. Tapi … gue agak-agak curiga sih sama suami lo," tutur Feri ketika mereka berada di ruangan itu."Curiga gimana?" tanya Shanum."Ya gitu deh, pokoknya ada yang nggak beres aja. Dia … sering memakai keuntungan perusahaan untuk hal pribadi ," jelas Feri. Shanum menganggukkan kepalanya mengerti. Merasa beruntung kalau semua masih baik-baik saja, namun beberapa bulan ini, Feri rupanya menangkap gelagat tak beres tersebut dari Arya.Shanum tahu alasannya, dan mungkin saja ada kaitannya dengan kehadiran Anara."Kalian ada masalah, ya?" tanya Feri hati-hati. Takut menyinggung perasaan sahabatnya."Ya, begitulah. Namanya berumah tangga," ucap Shanum singkat. Ia tak ingin terlalu gamblang menjelaskan masalah yang sedang dihadapi."Makanya buruan nikah deh, biar ngerasain roller coasternya hidup berumah tangga," seloroh wanita cantik itu seraya tertawa menggoda Feri."Hah, lo mah! Gue malah belum kepikiran nikah tu. Betah ngejomblo nih." Feri terkekeh kecil."Lo nya aja yang terlalu pemilih, kan!" tukas Shanum."Ya, begitulah." Feri menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Oh iya, kamu tahu kabar Zayn yang baru nggak?" tanyanya tiba-tiba.Deg!Mendengar nama Zayn disebut lagi membuat aliran darah Shanum berdesir lebih cepat. Ada yang berdenyut nyeri di dalam hatinya. Segumpal kerinduan yang susah payah disembunyikan, terkoyak sudah. Zayn adalah tambatan hatinya dulu, saat Dhanu memaksanya menikahi Arya. "Aku dengar dia udah balik ke Indonesia sebulan yang lalu," sambung Feri lagi seolah tak peduli raut wajah Shanum. "Udah, ah. Ngapain bahas dia," sergah Shanum menunjukkan wajah sebalnya. "Ya, kali aja mau tahu kabar sang mantan!" Feri hanya nyengir kuda menatap Shanum yang sedang cemberut. Shanum hanya tersenyum getir sesudahnya. Ingatan tentang kisah cintanya yang dipaksa usai dengan Zayn seketika terngiang lagi di benaknya. Kenangan yang sudah terkubur lama itu, harus kembali muncul di ingatannya membuat Shanum ingin memutar waktu yang telah berlalu. "Udah deh, gue mau ke ruangan Mas Arya dulu. Dah," ucap Shanum, lalu segera pergi dari ruangan Feri karena sudah tak mau terjebak dengan obrolan masa lalunya lagi dengan Zayn.'Huh! Benar-benar cowok satu itu. Kenapa tiba-tiba bahas Mas Zayn. Kan jadi kangen, Upss. Sadar, Sha! Kamu ini masih istri orang!' Shanum menggerutu dalam hatinya.***Shanum duduk manis di kursi kebesaran Arya di kantor ini. Wanita itu tampak sedang fokus memeriksa berkas-berkas yang bertumpuk di meja.Sedikit banyak, dia juga mengerti tentang berkas itu. Meski semuanya begitu memusingkan, tapi dia harus bisa mengambil alih apa yang menjadi haknya. Shanum tak akan tinggal diam, saat Arya sudah menunjukkan sisi buruknya. Sebentar lagi suaminya itu pasti akan sampai ke kantor. Dan Shanum sudah menduga kalau Arya pasti akan kaget saat melihatnya berada di sini. "Biar saja. Toh kantor ini juga masih merupakan milik almarhum papa," gumamnya acuh sambil matanya fokus memindai setiap laporan yang ada di berkas.Arya memang diminta untuk memimpin perusahaan ini, tapi tidak untuk memilikinya. Dhanu masih cukup waras untuk sukarela menyerahkan perusahaan ini pada sang menantu.Apalagi masih ada Shanum, yang merupakan putri tunggal dan menjadi bakal pewaris semua harta kekayaannya. Kriieet….Pintu ruangan terbuka, Arya seketika tercengang melihat Shanum yang duduk santai di ruangannya. Lebih mengejutkan lagi, Anara datang bersama pria itu, dengan menggamit mesra lengan Arya masuk ke ruangan."Sayang, kenapa kamu di sini? Bukannya kamu harus ke butik?" Arya tak dapat menyembunyikan nada keterkejutannya. Ia langsung menepis tangan Anara dengan kasar. Bagaimana tidak, selama ini Shanum hanya sibuk dengan butik serta toko bunga yang dimilikinya, dan tidak pernah menginjakkan kakinya di gedung kantor ini. Anara mencebik kesal, memanyunkan bibirnya saat Arya dengan kasar menepis tangannya hanya gara-gara kehadiran Shanum di ruangan itu. "Aku? Tentu saja aku ada di sini. Kantor ini masih milik almarhum papaku, bukan," ucap Shanum datar, dengan tatapan lurus mengarah pada dua sejoli itu. "Oh, ya. Apa kamu sudah jujur tentang siapa aku sebenarnya sama ibu, adikmu, dan istri barumu, Mas?" tanya Shanum sengaja menyerang suaminya. Arya tampak gelagapan."Sha, maksud kamu apa sih. Aku sudah bilang jangan diambil hati omongan ibu kemarin. Ibu itu sudah agak pikun jadi bisa aja dia mengada-ada omongan kemarin," kilah Arya. Bola matanya tampak bergerak gelisah.'Aku tahu kamu sedang menutupi kegugupanmu, Mas.' Shanum membatin dalam hatinya."Oh, ya?" Shanum menatapnya tajam."I–Iya, Sha," sahutnya tergagap. "Terus ngapain perempuan ini di sini? Mau ngantor juga?" ucap Shanum lagi dengan dagu terangkat menunjuk ke arah perempuan dengan dress berwarna maroon itu."Emang kenapa, aku juga istri Mas Arya!" sahut Anara bersungut kesal."Maksudmu, istri siri!" sergah Shanum dengan tatapan mengejek. Anara tersinggung dengan ucapan Shanum, lalu dia berkata, "Lihat saja! Nanti aku akan meminta dinikahi secara resmi setelah anak ini lahir. Siap-siap aja kamu jadi gelandangan!" makinya pada Shanum, sambil menunjuk wajah wanita itu.'Duh! Ngelawak ya ini orang. Yang bakal jadi gelandangan itu bukan aku, tapi suamimu! Eh, masih jadi suamiku juga sih. Haha.' Shanum menertawakan Anara dalam hatinya, karena perempuan itu belum juga paham kalau suaminya itu hanyalah cangkang kosong yang tak memiliki apa-apa. "Sstt! Anara." Arya terlihat mengkode Anara untuk berhenti. "Sha, itu ... tadi Anara yang maksa ikut ke kantor. Aku nggak tega biarin dia di rumah takut dia bosan dan itu akan ...." Arya tampak ragu melanjutkan ucapannya."Akan apa, Mas?" Shanum bertanya tanpa beban. "Mas Arya nggak mau kalau anaknya stress. Puas kamu, Mbak!" sergah Anara cepat, wajahnya menunjukkan rasa puas yang teramat sangat, karena Anara kira pembahasan tentang anak akan sensitif dan menyinggung perasaan Shanum. Padahal, tidak sama sekali. Wajah Arya tampak memerah. Lelaki itu menatap wajah Shanum dengan tatapan sendu mungkin merasa tak enak hati telah menyinggung masalah kehamilan dengan Shanum. Mungkin ibunya telah mendoktrinnya jika istri pertamanya itu wanita mandul. 'Bodo amat, lah! Kenyataannya aku ini sehat dan hanya sedang menunda kehamilan saja.' Shanum bermonolog sendiri. "Mending, Mas saja bawa perempuan ini pergi selagi aku masih sabar dan berbaik hati," usirnya dengan tatapan dingin. "Tapi, Sha…."Shanum menatapnya nyalang, berharap agar lelaki itu memahami arti tatapan matanya. Sementara itu, Anara tampak tak terima diusir begitu, saat dia hendak membuka suara, Arya justru sudah memutuskan untuk menuruti kemauan Shanum."Anara, aku pesankan taksi untuk kamu pulang ke rumah, ya. Jangan bantah." Arya berucap dengan tegas.Anara akhirnya hanya pasrah dan mengikuti langkah Arya yang menuntunnya untuk turun ke lobi. Setelah sebelumnya ia sempat melempar tatapan sinis pada Shanum."Lihat! Akulah ratunya, gundik. Jangan pernah bermimpi menjadi ratu." Shanum berkata dengan jumawa melihat kepergian suami dan istri barunya itu. ***"Kenapa Stella jelek-jelekin aku di depan Sena, ya? Dia punya masalah apa sama aku?" gumam Shanum tak mengerti dengan sikap buruk yang ia terima oleh orang yang bahkan tidak ia kenal.Zayn dan Shanum masih sibuk mengurus Sena yang sudah terlanjur membenci Shanum karena perkataan Stella. Zayn tak menyangka, masih ada banyak penghalang yang mengusik dirinya menuju hari bahagianya. "Kamu tenang aja, Sha. Aku nggak akan membiarkan Stella memberikan pengaruh buruk sama Sena," tegas Zayn. Pria itu harus segera menyelesaikan masalah ini secepat mungkin sebelum keadaan menjadi semakin keruh. Sudah susah payah Zayn meminta restu dari kedua orang tuanya. Zayn tidak akan membiarkan pernikahannya gagal karena Sena.Keduanya pun mulai memberikan pengertian pada Sena dan mencoba menghapus pemikiran buruk bocah itu mengenai Shanum. Pria itu harus bisa mengembalikan Sena seperti sedia kala."Sena sayang, Tante Shanum nggak seperti yang dibilang Tante Stella. Tante Shanum bukan tante jahat. Selama in
Pernikahan antara Shanum dan Zayn tinggal menghitung hari. Tidak lama lagi, pasangan kekasih itu akan menjadi pasangan sehidup semati. Zayn benar-benar tidak sabar ingin segera meresmikan hubungannya dengan Shanum. Namun berbeda dengan Zayn, Shanum justru merasakan kegelisahan yang tidak wajar menjelang hari pernikahannya.Satu minggu lagi, Zayn dan Shanum akan menggelar acara pernikahan sederhana. Shanum diterima dengan baik oleh keluarga Zayn, maupun oleh anak Zayn.Tapi entah kenapa, mendadak Shanum merasa resah tanpa alasan yang jelas. Padahal ia sudah mendapatkan restu dan Shanum juga bisa mengakrabkan diri dengan Sena. Menurut Zayn, tidak ada lagi masalah di antara mereka dan Zayn yakin pernikahan mereka akan berjalan lancar."Hari ini mau dijemput jam berapa?" tanya Zayn pada Shanum melalui sambungan telepon."Nanti aku kabari, Mas. Aku ada pekerjaan yang belum selesai.""Kamu nggak lupakan sama janji makan malam kita hari ini? Sena udah nungguin," ujar Zayn.Shanum mengulas se
Acara kunjungan di rumah tahanan pun berakhir. Arya harus segera kembali ke sel, sementara Lila dan Bu Desi harus segera pergi meninggalkan rutan."Hati-hati di jalan, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Arya sebelum berpisah dari ibu dan juga adiknya."Mas juga hati-hati di sini. Jaga kesehatan!" sahut Lila."Ibu pergi ya, Arya? Sehat-sehat di sini, ya? Nanti Ibu jengukin kamu lagi," ungkap Bu Desi berpamitan pada putranya dengan manik mata berkaca-kaca.Arya dan Lila saling beradu pandang. Setelah Lila mengajak Bu Desi pergi nanti, mungkin Bu Desi tidak akan bisa sering-sering menjenguk Arya di dalam penjara."Ibu nggak perlu terlalu sering datang ke sini. Arya akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu sama Lila juga harus hidup dengan baik selama Arya nggak ada, ya?" cetus Arya.Perpisahan antara ibu dan anak itu pun kembali diwarnai dengan tangisan. Bu Desi dan Lila pun keluar dari rutan, dan bergegas pulang ke kontrakan. "Untung aja masih ada ongkos buat pulang," gumam Lila."Kamu
Suasana rumah tahanan itu pun mulai penuh dengan tangis haru. Arya benar-benar senang dan bersyukur, akhirnya keluarganya datang mengunjungi dirinya setelah beberapa bulan pria itu berada di penjara. Mereka bertiga menangis, meluapkan kerinduan yang sudah lama terpendam."Maafkan Ibu, Arya. Ibu udah lama nggak jenguk kamu. Ibu minta maaf baru bisa datang sekarang," ucap Bu Desi pada sang putra. Tidak hanya Bu Desi saja yang mengucapkan kata maaf, Lila juga ikut merasa bersalah karena sudah mengabaikan sang kakak. "Lila juga minta maaf, Mas. Selama ini Lila nggak pernah jengukin Mas," sahut Lila.Arya menghela napas. Sebenarnya pria itu sangat kecewa pada ibu dan juga adiknya. D i saat dirinya tengah menghadapi kesulitan, Arya justru ditinggalkan oleh keluarganya. Pria itu menderita seorang diri di dalam jeruji besi."Maafkan kami ya, Arya? Ke depannya, Ibu sama Lila akan sering-sering jengukin kamu di sini," ujar Bu Desi.Arya hanya diam. Ini kesempatan pria itu untuk mengeluarkan un
Mata Lila tampak berkabut. Rasanya tak kuasa jika harus mengatakan apa yang baru saja menimpanya pada sang ibu.Namun, gadis itu tetap memutuskan untuk membangunkan sang ibu, agar wanita yang melahirkannya itu tak perlu merasakan linu ketika bangun di pagi hari esok. Usai menyeka air mata serta jejak kesedihan di wajahnya, kini Lila yang terlihat jauh lebih tegar daripada saat pertama masuk ke rumah pun mulai memanggil sang ibu untuk membangunkannya. "Ibu." Lila berbisik pelan seraya menepuk lengan Bu Desi.Wanita itu menggeliat ketika mendapat tepukan tiba-tiba yang mengganggu tidurnya yang baru setengah jalan itu."Kenapa kamu pulang semalam ini, hm? Ke mana saja kamu? Apa kamu membuat masalah baru lagi setelah terlibat dengan suami orang itu," cecar Bu Desi membuat Lila seketika menganga, tak percaya jika rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Bu Desi. "Astaga, Bu. Apa nggak bisa nanyanya satu-satu dan pelan? Dan lagi, apa ibu bisa nggak berburuk sangka ke aku, hm?" Lila mena
Lila tidak menyadari bahwa setelah ditimpa sebuah musibah sebagai bentuk karmanya merebut suami orang pasca rumahnya dihancurkan oleh istri sah dari mantan istri David, kini Lila akan segera terjerembab dalam masalah baru yang jauh lebih kompleks.Dirinya sama sekali tidak mengetahui segala hal berkaitan utang-piutang yang dimiliki sang kakak, Arya, dari mulai kepada siapa dan seberapa besar nominal tersebut. Sekarang, Rendy tiba-tiba datang mendatanginya dan mengajaknya menaiki sebuah mobil hitam metalik.Senyum Rendy mengembang begitu puas. Terutama saat Lila menuruti saja saat Rendy mengajaknya ke salah satu hotel di kota mereka. Lila masih mencoba berpikir positif mengingat bagaimanapun Rendy adalah salah satu rekan kerja Arya dulu yang kebetulan pernah ditemuinya sebanyak dua kali.“Ayo, masuk,” tukas Rendy masih mempertahankan senyum miliknya kemudian melirik ke tas Lila. “Oh, ya. Kamu pasti capek kan abis kuliah? Udah sini, tasnya aku