"Sha …," panggil Arya ketika baru saja memasuki kamar.
"Maafkan aku. Aku melakukan semua ini karena ibu terus-terusan merongrong untuk memberinya cucu," ucapnya lagi. Shanum hanya menoleh sekilas. Wajahnya menunduk dalam."Oh!" ucap Shanum tanpa menatapnya. Wanita itu masih asyik dengan novel yang tengah dibacanya."Maafkan aku." Arya berucap seraya menghampiri istrinya, lalu berusaha merengkuh tubuh Shanum ke dalam pelukannya."Kamu marah?" tanyanya takut-takut."Untuk apa aku marah. Semuanya sudah terjadi," balas Shanum tanpa beban. Hatinya sudah mati rasa. Suasana kini berubah sunyi. Shanum sama sekali tak berniat membalas pelukan Arya sedikitpun.'Jadi, karena masalah keturunan kau melakukannya, Mas.' Shanum menggumam dalam hatinya.'Bukan karena aku tak menginginkan buah hati. Hanya saja aku perlu meyakinkan diri jika kau memang pantas dipertahankan, Mas,' sesal Shanum dalam hatinya. 'Namun, hari ini aku telah membuktikan semua keraguanku selama ini. Dirimu tak pantas untuk dipertahankan, Mas!' Wanita itu masih asyik dengan pikirannya sendiri.Shanum memang sengaja menguji Arya hingga kini. Ia selalu menggunakan kontrasepsi untuk menunda kehamilan. Dan lelaki itu tak pernah tahu.Ia hanya tidak ingin sampai mengorbankan perasaan sang anak jika seandainya badai rumah tangga harus berakhir di meja hijau pengadilan agama. 'Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang!' bisik Shanum dalam hatinya. Ia melepaskan diri dari pelukan Arya tanpa sepatah katapun. Tak ada kemarahan, apalagi makian kasar dari mulutnya. Sehingga, membuat Arya sendiri bingung. Ia tak tahu apakah yang dilakukannya itu sudah benar atau salah, dan akan berakibat fatal. ***Shanum terbangun di pagi hari seperti biasa. Ia tak melihat sosok Arya di sisinya. Mungkin sedang mandi atau memang semalam ia tak tidur di kamarnya. Wanita itu tak mau tahu, apalagi peduli.Ia turun dari kamar di lantai atas menuju ke dapur. Shanum mendapati Bi Nena yang tengah sibuk berkutat di dapur menyiapkan sarapan pagi. "Masak apa, Bi?" sapa Shanum ramah pada Bi Nena yang tengah menyiangi kangkung. "Eh, Mbak Shanum. Ini, Ibunya Mas Arya minta dibuatkan sambal goreng ati, ayam goreng, telur balado, sama tumis kangkung untuk sarapan, Mbak," terang Bi Nena yang membuat Shanum ternganga. 'Sebanyak itu untuk menu sarapan,' pikirnya."Ya sudah, Bi. Bahannya sudah ada 'kan. Uang belanjanya masih ada nggak?" tanya Shanum seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.Masih pukul 06.30, terlalu pagi baginya jika harus menikmati semua menu itu. "Oh, ya Bi. Tolong buatkan aku sandwich telur mata sapi dan keju saja, ya. Minumnya teh hijau saja, Bi," perintah Shanum dengan nada lembut."Baik, Mbak. Sudah ada semua bahannya, tinggal masak saja," jawab Bi Nena. Wanita paruh baya itu lantas mulai menyiapkan pesanan Shanum, karena dia akan segera pergi. "Wah, pantesan Arya, anak saya kurus kering begitu. Sehari-hari menunya cuma roti sama telur. Nggak ada gizinya!" cerocos ibu mertua Shanum yang baru keluar dari arah toilet yang tak jauh dari dapur. Shanum melirik sekilas, tapi memilih acuh dan tak menanggapi ucapan Bu Desi itu. Baginya, selama ini, dia sudah cukup bersikap baik padanya. Setiap bulan, dialah yang selalu mengirimkan uang. Tapi semalam, Shanum baru tahu kalau semua itu tak ada artinya. Ia tak pernah ada baiknya di mata sang mertua. Itulah kenyataannya.Shanum penasaran seperti apa Arya menceritakan tentang dirinya pada sang ibu dan adik iparnya. Bi Nena meletakkan menu yang Shanum inginkan di atas meja. Sementara, Bu Desi terlihat sibuk memasak di dapur. Ya tepatnya, sibuk memamerkan kemampuan memasaknya. Shanum memilih menghiraukannya. Ada hal yang menurutnya jauh lebih penting daripada membuang energi menghadapi nyinyirannya. Setelah menghabiskan sarapannya, Shanum bergegas untuk pergi. Tujuannya adalah ke kantor almarhum papanya. Ia akan memastikan perusahaan itu tidak bermasalah.Meski di bawah kepemimpinan Arya, tetapi perusahaan itu tetap atas nama Shanum. Dhanu sudah mengubah semua kepemilikan asetnya menjadi milik putri semata wayangnya. Termasuk rumah, perusahaan dan mobil. Arya mungkin tak tahu kalau Dhanu sudah mengubah semuanya menjadi milik Shanum. Wanita itu hanya tinggal memastikan semuanya aman. Saat akan bergegas, Shanum melihat pasangan pengantin baru itu turun dari lantai atas. Benar, rupanya semalam mereka menghabiskan waktu berdua. Terlihat dari rambut basah keduanya.Anara terlihat menggamit mesra lengan Arya. Tak lupa juga, ia menyandarkan kepalanya di bahu kekar suami sah Shanum itu. Seakan sengaja membuat istri tua Arya cemburu padanya.Sedangkan, Lila belum terlihat sejak tadi. Mungkin gadis itu masih belum bangun dari tidurnya saking nyamannya kasur di rumah mewah kakak iparnya itu. 'Romantis? Hah, yang ada aku merasa jijik dan muak melihatnya,' decih Shanum dalam hatinya. "Kamu mau ke mana Sha, sepagi ini?" tanya Arya yang sudah sampai di dekat tempat Shanum duduk."Aku ada urusan penting," jawabnya singkat."Udah sarapan?" tanya Arya lagi. Anara tampak mencebikkan bibirnya merasa kesal, melihat Arya yang masih memperhatikan istri tuanya.Shanum hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Lalu, tanpa membuang waktu lagi segera menjejakkan langkah keluar dari rumah mengendarai mobilnya. Arya menatap punggung Shanum yang kian menjauh dengan tatapan yang entah. Matanya bahkan tak berkedip, dan merasa kehilangan tatapan hangat dan lembut dari Shanum.'Kamu udah berubah, Sha,' gumamnya dalam hati."Ayo, Mas! Buruan, aku udah lapar nih. Biarin aja mbak Shanum pergi, kan udah ada aku dan ibu yang nemenin kamu sarapan." Anara menggerutu kesal, ketika melihat kalau suaminya itu nyaris tak berkedip memandangi kepergian Shanum. "Kamu duluan saja, aku mau ngantar Shanum," ucap Arya yang langsung mengekori langkah Shanum menuju pintu utama. Shanum membalikkan tubuhnya mendadak, dan Arya hampir menabraknya. "Aku nggak perlu diantar, Mas. Kalian sarapan saja, aku nggak apa-apa kok!" ucap Shanum tegas sambil berlalu melanjutkan langkahnya yang sempat tersendat."Tapi—"Shanum sempat mendengar kalau Arya bergumam tak jelas. Namun, tak urung juga kakinya melangkah ke meja makan untuk menikmati sarapan paginya.'Ah, bodo amat!' ketus Shanum dan kembali fokus pada tujuan awalnya. Wanita itu masuk ke mobil, dan mulai bersiap untuk menaiki kendaraan roda empat itu untuk pergi ke perusahaan yang ditinggalkan almarhum papanya. "Pa, sebenarnya apa sih yang Papa lihat dari Mas Arya?" gumam Shanum lirih. Mengingat bagaimana keukeuhnya sang ayah menjodohkannya dengan Arya, ketika dirinya sudah memiliki tambatan hati."Ah, kenapa juga aku terbuai dan jatuh cinta pada pria itu. Dan akhirnya aku terluka setelah tahu segala keburukannya," gumamnya lagi. Shanum mulai menekan pedal gas, dan melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah megahnya itu dengan kecepatan sedang. "Kamu harus tegar, Shanum," lirihnya menguatkan dirinya sendiri. ***"Kenapa Stella jelek-jelekin aku di depan Sena, ya? Dia punya masalah apa sama aku?" gumam Shanum tak mengerti dengan sikap buruk yang ia terima oleh orang yang bahkan tidak ia kenal.Zayn dan Shanum masih sibuk mengurus Sena yang sudah terlanjur membenci Shanum karena perkataan Stella. Zayn tak menyangka, masih ada banyak penghalang yang mengusik dirinya menuju hari bahagianya. "Kamu tenang aja, Sha. Aku nggak akan membiarkan Stella memberikan pengaruh buruk sama Sena," tegas Zayn. Pria itu harus segera menyelesaikan masalah ini secepat mungkin sebelum keadaan menjadi semakin keruh. Sudah susah payah Zayn meminta restu dari kedua orang tuanya. Zayn tidak akan membiarkan pernikahannya gagal karena Sena.Keduanya pun mulai memberikan pengertian pada Sena dan mencoba menghapus pemikiran buruk bocah itu mengenai Shanum. Pria itu harus bisa mengembalikan Sena seperti sedia kala."Sena sayang, Tante Shanum nggak seperti yang dibilang Tante Stella. Tante Shanum bukan tante jahat. Selama in
Pernikahan antara Shanum dan Zayn tinggal menghitung hari. Tidak lama lagi, pasangan kekasih itu akan menjadi pasangan sehidup semati. Zayn benar-benar tidak sabar ingin segera meresmikan hubungannya dengan Shanum. Namun berbeda dengan Zayn, Shanum justru merasakan kegelisahan yang tidak wajar menjelang hari pernikahannya.Satu minggu lagi, Zayn dan Shanum akan menggelar acara pernikahan sederhana. Shanum diterima dengan baik oleh keluarga Zayn, maupun oleh anak Zayn.Tapi entah kenapa, mendadak Shanum merasa resah tanpa alasan yang jelas. Padahal ia sudah mendapatkan restu dan Shanum juga bisa mengakrabkan diri dengan Sena. Menurut Zayn, tidak ada lagi masalah di antara mereka dan Zayn yakin pernikahan mereka akan berjalan lancar."Hari ini mau dijemput jam berapa?" tanya Zayn pada Shanum melalui sambungan telepon."Nanti aku kabari, Mas. Aku ada pekerjaan yang belum selesai.""Kamu nggak lupakan sama janji makan malam kita hari ini? Sena udah nungguin," ujar Zayn.Shanum mengulas se
Acara kunjungan di rumah tahanan pun berakhir. Arya harus segera kembali ke sel, sementara Lila dan Bu Desi harus segera pergi meninggalkan rutan."Hati-hati di jalan, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Arya sebelum berpisah dari ibu dan juga adiknya."Mas juga hati-hati di sini. Jaga kesehatan!" sahut Lila."Ibu pergi ya, Arya? Sehat-sehat di sini, ya? Nanti Ibu jengukin kamu lagi," ungkap Bu Desi berpamitan pada putranya dengan manik mata berkaca-kaca.Arya dan Lila saling beradu pandang. Setelah Lila mengajak Bu Desi pergi nanti, mungkin Bu Desi tidak akan bisa sering-sering menjenguk Arya di dalam penjara."Ibu nggak perlu terlalu sering datang ke sini. Arya akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu sama Lila juga harus hidup dengan baik selama Arya nggak ada, ya?" cetus Arya.Perpisahan antara ibu dan anak itu pun kembali diwarnai dengan tangisan. Bu Desi dan Lila pun keluar dari rutan, dan bergegas pulang ke kontrakan. "Untung aja masih ada ongkos buat pulang," gumam Lila."Kamu
Suasana rumah tahanan itu pun mulai penuh dengan tangis haru. Arya benar-benar senang dan bersyukur, akhirnya keluarganya datang mengunjungi dirinya setelah beberapa bulan pria itu berada di penjara. Mereka bertiga menangis, meluapkan kerinduan yang sudah lama terpendam."Maafkan Ibu, Arya. Ibu udah lama nggak jenguk kamu. Ibu minta maaf baru bisa datang sekarang," ucap Bu Desi pada sang putra. Tidak hanya Bu Desi saja yang mengucapkan kata maaf, Lila juga ikut merasa bersalah karena sudah mengabaikan sang kakak. "Lila juga minta maaf, Mas. Selama ini Lila nggak pernah jengukin Mas," sahut Lila.Arya menghela napas. Sebenarnya pria itu sangat kecewa pada ibu dan juga adiknya. D i saat dirinya tengah menghadapi kesulitan, Arya justru ditinggalkan oleh keluarganya. Pria itu menderita seorang diri di dalam jeruji besi."Maafkan kami ya, Arya? Ke depannya, Ibu sama Lila akan sering-sering jengukin kamu di sini," ujar Bu Desi.Arya hanya diam. Ini kesempatan pria itu untuk mengeluarkan un
Mata Lila tampak berkabut. Rasanya tak kuasa jika harus mengatakan apa yang baru saja menimpanya pada sang ibu.Namun, gadis itu tetap memutuskan untuk membangunkan sang ibu, agar wanita yang melahirkannya itu tak perlu merasakan linu ketika bangun di pagi hari esok. Usai menyeka air mata serta jejak kesedihan di wajahnya, kini Lila yang terlihat jauh lebih tegar daripada saat pertama masuk ke rumah pun mulai memanggil sang ibu untuk membangunkannya. "Ibu." Lila berbisik pelan seraya menepuk lengan Bu Desi.Wanita itu menggeliat ketika mendapat tepukan tiba-tiba yang mengganggu tidurnya yang baru setengah jalan itu."Kenapa kamu pulang semalam ini, hm? Ke mana saja kamu? Apa kamu membuat masalah baru lagi setelah terlibat dengan suami orang itu," cecar Bu Desi membuat Lila seketika menganga, tak percaya jika rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Bu Desi. "Astaga, Bu. Apa nggak bisa nanyanya satu-satu dan pelan? Dan lagi, apa ibu bisa nggak berburuk sangka ke aku, hm?" Lila mena
Lila tidak menyadari bahwa setelah ditimpa sebuah musibah sebagai bentuk karmanya merebut suami orang pasca rumahnya dihancurkan oleh istri sah dari mantan istri David, kini Lila akan segera terjerembab dalam masalah baru yang jauh lebih kompleks.Dirinya sama sekali tidak mengetahui segala hal berkaitan utang-piutang yang dimiliki sang kakak, Arya, dari mulai kepada siapa dan seberapa besar nominal tersebut. Sekarang, Rendy tiba-tiba datang mendatanginya dan mengajaknya menaiki sebuah mobil hitam metalik.Senyum Rendy mengembang begitu puas. Terutama saat Lila menuruti saja saat Rendy mengajaknya ke salah satu hotel di kota mereka. Lila masih mencoba berpikir positif mengingat bagaimanapun Rendy adalah salah satu rekan kerja Arya dulu yang kebetulan pernah ditemuinya sebanyak dua kali.“Ayo, masuk,” tukas Rendy masih mempertahankan senyum miliknya kemudian melirik ke tas Lila. “Oh, ya. Kamu pasti capek kan abis kuliah? Udah sini, tasnya aku