Share

Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya
Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya
Penulis: Chew Vha

Satu

"Dek, pulsa Mas habis. Tolong belikan, ya," ujar Mas Reno.

"Iya."

Ini ke sekian kalinya ia meminta pulsa padaku. Semenjak Mas Reno di PHK, kerjanya hanya bermain game saja. Niatan mencari pekerjaan seperti tak terbesit di kepalanya. Ia berpikir mungkin karena aku bekerja, jadi santai saja tak berpikir untuk mencari pekerjaan lebih cepat.

Enam bulan sudah ia di rumah dan menghabiskan waktu bermain game Online. Seperti kalong, malam tak tidur dan pagi hari ia memejamkan mata seperti pekerja yang baru saja pulang shift malam.

"Dek, kamu dengar nggak, sih?" tanya Mas Reno lagi.

"Dengar, Mas. Cuma malas saja beli in kamu pulsa." Aku menjawab sembari membersihkan muka bekas make -up..

Beberapa saat ia tak bertanya lagi. Bagus deh, ia sadar kalau memang aku tak mau memberikan pulsa lagi untuknya. Untuk apa hanya memanjakan parasit di rumah, sementara aku sibuk bekerja dan menghidupi diri sendiri.

"Dek, kalau aku nggak beli pulsa, bagaimana aku mau cari pekerjaan?"

Aduh, aku pikir sudah selesai merengeknya. Ternyata Mas Reno diam sedang merangkai kata. Kenapa harus alasan itu terus? Kemarin juga seperti itu pekerjaan menjadi alasan untuk meminta kuota pulsa.

Aku mengambil ponsel di nakas, lalu membuka aplikasi dan mengisikan pulsa untuknya. Dia memelukku tak henti sebagai tanda terima kasih. 

Aku mendesah, mungkin belum rezeki Mas Reno mendapat pekerjaan. Aku harus sabar, ini ujian pernikahanku. 

"Dek, Ibu telepon tadi, beras di rumah habis, minta tolong belikan dulu. Nanti kalau aku sudah bekerja, kuganti semua. Sekalian kubelikan kamu emas," ucap Mas Reno.

"Iya, Mas. Besok aku besok pagi aku kasih uangnya."

"Terima kasih, Sayang. Kamu memang istriku yang terbaik. Saat suami susah, kamu sabar, Dek."

Aku hanya tersenyum miris mendengar ucapan Mas Reno. Teringat obrolan tadi siang di kantin kantor bersama Nina. 

"Suami kamu belum bekerja juga, Wid?"

"Belum. Susah cari pekerjaan zaman sekarang. Sabar ajalah, aku."

"Ih, aku mah ogah jadi kamu. Kerja banting tulang, cuma buat menghidupi suami yang menganggur dan keluarganya. Aduh, buru-buru cari kerja aja, deh."

Lamunanku terhenti saat mendengar dengkuran Mas Reno. Kutatap pria di sampingku, apa, iya, dia memanfaatkan aku? Sudah enam bulan dia hanya di rumah dan bermain ponsel. Jika ditanya sudah melamar kerja atau belum, jawabannya hanya sudah lewat email.

Semakin lama tabunganku semakin tipis. Selama menikah lima tahun dengan Mas Reno, kami belum juga dikaruniai anak. Sementara, mereka sudah banyak bertanya.

Pekerjaanku sebagai sekretaris membuat aku tak punya banyak waktu untuk bercengkerama di ranjang. Begitu juga Mas Reno, dia selalu larut pulang malam. Saat ditanya kapan mau ke dokter, jawabannya nanti saja.

Kalau sekarang, uang untuk ke dokter lebih baik kupergunakan untuk sehari-hari. Aku sempat marah karena setelah di PHK, tak ada tabungan yang tersisa. Ketika ditanya, dia hanya menjawab untuk kebutuhan kuliah adiknya dan ibu mertuaku.

Aku hanya mengelus dada mencoba sabar. Mungkin ini ujian naik level. Akan tetapi, makin hari semakin membuat aku pusing.

Rena, adik Mas Reno sering kali W* meminta uang untuk membeli buku dan beberapa foto copy untuk bahan kuliah. Bukan aku pelit, tapi itu sudah melampaui budget keuanganku. Sementara, hanya aku yang bekerja.

Kusingkap selimut dan mencoba memejamkan mata. Lelah dengan semua pekerjaan, terutama nasib rumah tanggaku sekarang. Andai saja secepatnya Mas Reno dapat pekerjaan, mungkin aku tidak akan mengeluh seperti ini.

---Chew Vha---

"Dek, bangun."

Aku menggeliat saat tubuhku diguncang-guncangkan Mas Reno. Sehabis salat subuh, aku masih mengantuk dan tak sadar terlelap kembali.

"Bangun, Dek. Ada ibu di luar."

Aku terkesiap, buru-buru bangun kemudian gegas aku turun dari kasur. Tak bisa membayangkan wajah ibu mertua di luar sudah seperti apa saat tahu aku baru bangun. Ada apa dia datang sepagi ini? Apalagi ini hari libur.  

Benar dugaanku, Ibu mertua sudah bertolak pinggang. Aduh, masih pagi aku sudah sarapan ocehan Ibu. 

"Kamu baru bangun?" tanyanya dengan nada agak meninggi.

"Iya, habis salat subuh ketiduran, Bu."

"Weleh, istrimu bagaimana, No. Pemalas, bukannya buat sarapan untuk suami malah asyik tidur."

"Aku lagi kurang enak badan, Bu."

"Alasan saja. Bilang kalau malas, walaupun kamu bekerja harus tahu kodrat sebagai seorang istri. Layani suami, jangan mentang-mentang Reno nggak kerja kamu malas-malasan."

Astagfirullah. Ke sekian kali dada terasa sesak mendengar penuturan Ibu. Apa selama ini yang kulakukan kurang untuk keluarga Mas Reno?

Sebegitu bencikah Ibu padaku, hingga sesuka hati dia memaki aku. Apa kesalahan ini membuat dia mencap aku sebagai istri pemalas?

"Nggak begitu, Bu. Aku hanya sedang lelah, jadi mau istirahat dulu."

"Aduh, nggak usah membela diri, mana sini Ibu minta uang buat beli beras. Bukannya diantari," cercanya tanpa peduli perasaanku.

"Iya, sebentar aku ambil uang dulu." Aku gegas masuk ke kamar mengambil selembar uang seratus ribu. 

Kuserahkan uang pada Ibu, menyebalkan sekali Mas Reno hanya asyik dengan ponselnya tanpa membela aku yang terpojok pagi ini. Benar-benar aku merasa seperti sapi perah untuk keluarga Mas Reno.

"Seratus ribu aja?" tanya Ibu lagi.

"Aku belum gajian, Bu. Kemarin buat bayar Mba Lastri," jawabku.

"Aduh, ngapain pakai tukang gosok, memang kamu nggak bisa gosok sendiri? Biar hemat, Wid. Lagi pula, itu tugas istri."

"Nggak ada waktu, Bu."

"Zaman sekarang maunya enak aja."

Aku hanya mengelus dada mendengar Ibu mencerca aku. Kulirik Mas Reno yang tetap diam sambil menonton TV kali ini.

Setelah puas dan mendapat uang dariku, Ibu beranjak pulang. Baru dua hari lalu Rena meminta uang. Sekarang Ibu yang datang untuk mengambil uang. Apes benar pagi-pagi udah kena omel.

"Mas, kamu kok diam aja aku di omelin Ibu?"

"Bukan diam aja, kamu tahu sifat Ibu nggak suka dibantah. Nanti malah tambah panjang omelannya. Kamu mau begitu?"

Aku membenarkan ucapan Mas Reno, tapi tidak juga harus diam saat aku di cerca Ibu. Setidaknya dia membela aku, bukan hanya asyik dengan ponselnya.

Geram aku melihat semua kelakuan suami dan keluarganya. Sampai kapan aku harus sabar? Aku hanya berharap Mas Reno berubah dan cepat mencari pekerja. 

Badai ini pasti berlalu cepat, aku hanya perlu bersabar menghadapi semua yang digariskan Allah. Mungkin, besok mentari akan menyambut riang. 

"Dek, aku lapar, buatkan makanan."

Ingin sekali aku melempar ponsel suamiku ke bak mandi yang penuh air. Susah payah aku bekerja, dia hanya bisa menyuruh dan meminta.

Aku menarik napas panjang, lalu gegas ke dapur. Saat kubuka isi kulkas hanya sisa telur satu buah. Apa stok sebanyak aku beli sudah habis?

"Mas, stok telur dan mie instan kok sudah habis?" 

"Iya, kemarin Rena ke rumah main sama temannya sambil belajar kelompok pakai laptop Mas. Pada masak mie," jawab Mas Reno.

Astaga naga, aku pun harus membiayai teman-temannya pula? 

---Chew Vha—

Komen (3)
goodnovel comment avatar
syamsinar 70
ini sih istri goblok
goodnovel comment avatar
Xander Xtreme
heran, kenapa sih gk di sinetron, cerpen, ato novel, karakter indonesia itu kok bodoh2 dan bebal? diem aja diinjak2.. kalo kehidupan nyata mana mungkin...
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Akan indah pada waktunya wid, itupun kl km mau tegas sama keluarga suamimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status