Share

Lima

"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."

Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur. 

"Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno. 

"Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak."

"Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi. 

"Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"

Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.

Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka sekarang ada di mana? Jangan harap kalian akan mendapatkan uang dari aku. Kupastikan kalian menyesal.

"Tampar terus pipiku. Kamu lupa Mas, ini rumah milik siapa? Aku harap kamu dan keluargamu pergi dari rumah ini!" teriakku.

"Kamu mengusir anakku?" tanya Ibu.

"Iya, kenapa? Biar dosa aku yang tanggung. Ibu nggak usah pusing dengan dosaku."

Kalian diam, kan, setelah aku bertindak. Terserah mau menceraikan aku atau tidak. Aku sudah muak dengan kalian. 

Perkataan Ibu saja sudah membuat hati ini sakit. Belum lagi tudingan macam-macam yang membuat sesak semakin terasa. Beberapa bulan ini Rena pun sering meminta uang untuk keperluannya. 

Aku terlalu baik sama mereka. Sementara, mereka semakin menjadi. Mas Reno nyaman di zonanya. Tetap santai walaupun tidak memiliki pekerjaan.

"Kamu bercanda, kan, Wid?" tanya Mas Reno memelas. 

"Kamu pikir wajahku bercanda? Kamu kira semua ucapan ibu itu bercanda. Dan kamu pikir tamparan kamu padaku itu main-main? Lihat! Merah ini?"

"Mas nggak sengaja. Kita bicarakan baik-baik. Biar Ibu dan Rena pulang dulu. Bagaimana?" Mas Reno terus membujuk.

"Nggak perlu. Kemasi bajumu, pulang saja sama keluargamu." 

"Sudah, No. Perempuan ular seperti ini ceraikan saja. Masih banyak yang mau jadi istrimu."

Ck! Dia pikir ada yang mau dengan anaknya yang pengangguran ini. Masih bersyukur selama aku bodoh, dia masih bisa hidup enak. 

Sekarang, malah menyombongkan anaknya. Perempuan mana yang mau sama pria pengangguran tak mau bekerja. Jangan bangga sama anakmu,  Bu.

Aku siap jika diceraikan oleh Mas Reno. Tak perlu pusing untuk memikirkan kelakuan mereka setiap hari. 

"Kalau sudah ibu bicara, silakan pergi. Saya mau istirahat, capek."

"Jangan sombong kamu jadi perempuan. Masih untung anakku mau menikah dengan kamu."

"Saya terima kasih. Silakan, Ibu tahu pintu keluar, kan?"

Aku meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Ingin cepat merebahkan tubuh di kasur tanpa pusing memikirkan makanan untuk besok. Si parasit sudah kuhempas jauh.

Baru saja aku ingin merebahkan tubuh, Mas Reno tiba-tiba masuk  ke kamar dan memohon untuk dia tetap tinggal. 

"De, Mas minta maaf," ucapnya dengan mimik wajah penuh bersalah. 

"Sudah aku maaf in. Lebih baik Mas pergi ke rumah ibu. Aku malas melihat Mas. Untuk apa di rumah kalau hanya main ponsel?"

"Mas janji akan berubah, Dek."

"Sudah telat, Dek. Mas mohon, jangan usir. Mas sayang sama ade."

Sayang? Sudah seperti ini bilang cinta atau apalah. Tak pernah pikir selama ini sudah membuat aku susah dan bekerja keras sendiri. 

Mas Reno terus memohon dengan memelas. Namun, tak membuat aku mengurungkan niat mengusirnya.

Aduh, kenapa saat seperti ini perutku terasa nyeri? Aku mengingat tanggalan, untuk memastikan tanggal datang bulan. Akan tetapi, nyeri ini semakin membuat aku sakit. 

Kepalaku terasa pusing. Memang akhir-akhir ini aku suka merasa pusing dan kelelahan. Mungkin efek mau datang bulan. Akan tetapi, kenapa semakin pusing dan semuanya gelap.

---Chew Vha--

"Sudah sadar, Dek?" 

Aku mencoba membuka mata yang masih samar-samar. Kepala ini pun terasa sakit. Aku memindai sekeliling, kenapa aku ada di sini? Ini rumah sakit?

Nyeri bagian perut begitu dahsyat sampai aku pingsan. Kenapa saat aku akan menendang mereka aku harus merasakan sakit ini? Sebenarnya aku kenapa?

"Dek," ucap Mas Reno lagi.

"Aku mau pulang," ucapku sembari menyingkap selimut dari tubuhku. 

Mas Reno menahan tubuhku, meminta tetap tidur di ranjang menunggu dokter datang. Ah ... sial hidupku sekarang. Sakit apa pula aku? 

"Ibu, saya bantu cek urine," ucap salah satu suster.

"Cek urine untuk apa?" 

"Untuk mengetahui Ibu hamil atau tidak."

Hamil? Jantungku terasa berdetak begitu kencang mendengar kalimat itu. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku menstruasi bulan kemarin dan ....

"Saya bantu."

Suster membantuku menuruni ranjang menuju kamar mandi. Tanganku bergetar saat ingin mencelupkan tespack ini. Aku takut yang tak kuinginkan terjadi. 

Perlahan aku mencelupkannya, setelah itu kuperhatikan benda ini sampai ada yang berubah di sana. Rasanya aku ingin berteriak, harusnya ini adalah kabar baik. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini bukan kondisi yang tepat untuk aku hamil.

Aku berjalan gontai ke luar kamar mandi. Entah, aku benci kondisi ini yang membuat aku harus bertahan sementara dengan Mas Reno.

Allah Maha Kuasa, terbukti tak seperti ucapan mertuaku yang selalu bicara tentang dosa. Aku yakin dan percaya kehamilan ini datang di waktu yang tepat. Semoga saja Mas Reno bisa berubah.

Aku memindai wajah suamiku. Tak seperti bisanya aku melihat dia seperti sangat cemas. Dia menghampiri saat aku ke luar dari kamar mandi. 

"Bagaimana, Dek?"

"Apanya?"

"Hamil nggak?"

Aku bergeming saat dia terus mendesak aku menjawab. Lidah ini kelu untuk menjawab setiap pertanyaannya. Malas, melihat wajahnya yang selalu berada di ketiak ibunya.

Tak mendapat jawaban dariku, Mas Reno menghampiri suster dan bertanya tentang hasil tespack aku. Di bantu suster aku kembali berbaring untuk melakukan USG dalam perut. 

Wajah Mas Reno semringah saat dokter memulai USG perutku. Apalagi saat dokter bilang usia kandunganku sudah memasuki lima minggu.

Aku memalingkan wajah saat dia menatapku. Jangan harap sikapku berubah jika sikapmu tak berubah. Anak ini pun akan menjadi milikku sendiri jika kamu masih seperti dulu.

"Dek, itu lihat. Lima tahun kita menunggu akhirnya Mas punya anak juga." Mas Reno terlihat semringah saat mengatakan kebahagiaan itu.

Lagi, aku membenci saat dia bicara kalimat itu. Entahlah, bahagianya di buat-buat atau memang dia benar sangat menunggu anak ini. Namun, jika memang ia bahagia, baguslah setidaknya ia akan bertanggungjawab atas anak ini. 

***

---Chew Vha--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status