Share

Lima

Author: Chew Vha
last update Last Updated: 2022-03-21 18:05:30

"Bu, aku belum punya anak karena memang Allah belum kasih keturunan saja. Lagian kalau saat seperti ini aku mending nggak punya anak dulu."

Wajah ibu mertua semakin memerah menahan amarah. Belum lagi Mas Reno yang ikut menatapku tajam. Apa salah aku berucap seperti itu? Salah sendiri membangunkan macan tidur. 

"Jaga omongan kamu sama Ibuku," ucap Mas Reno. 

"Ibu yang mulai memancing amarahku, Mas. Dosaku nggak menjadi penghalang aku punya anak."

"Ibu sudah bilang dari awal kamu mau nikah, perempuan ini nggak bagus jadi istri. Cuma menyusahi saja," cerca ibu mertuaku lagi. 

"Ya Allah Ibu, yang menyusahi bukan aku. Tapi, Mas Reno sama Ibu. Juga Rena yang selalu minta uang terus sama aku. Kalian pikir aku sapi perah?"

Pipiku terasa perih saat tangan Mas Reno menamparku. Dia tak terima aku bicara seperti itu. Wajah Ibu semakin sinis, begitu juga Rena. Gadis itu seperti mengejekku.

Mereka membuat aku marah. Lupa apa mereka sekarang ada di mana? Jangan harap kalian akan mendapatkan uang dari aku. Kupastikan kalian menyesal.

"Tampar terus pipiku. Kamu lupa Mas, ini rumah milik siapa? Aku harap kamu dan keluargamu pergi dari rumah ini!" teriakku.

"Kamu mengusir anakku?" tanya Ibu.

"Iya, kenapa? Biar dosa aku yang tanggung. Ibu nggak usah pusing dengan dosaku."

Kalian diam, kan, setelah aku bertindak. Terserah mau menceraikan aku atau tidak. Aku sudah muak dengan kalian. 

Perkataan Ibu saja sudah membuat hati ini sakit. Belum lagi tudingan macam-macam yang membuat sesak semakin terasa. Beberapa bulan ini Rena pun sering meminta uang untuk keperluannya. 

Aku terlalu baik sama mereka. Sementara, mereka semakin menjadi. Mas Reno nyaman di zonanya. Tetap santai walaupun tidak memiliki pekerjaan.

"Kamu bercanda, kan, Wid?" tanya Mas Reno memelas. 

"Kamu pikir wajahku bercanda? Kamu kira semua ucapan ibu itu bercanda. Dan kamu pikir tamparan kamu padaku itu main-main? Lihat! Merah ini?"

"Mas nggak sengaja. Kita bicarakan baik-baik. Biar Ibu dan Rena pulang dulu. Bagaimana?" Mas Reno terus membujuk.

"Nggak perlu. Kemasi bajumu, pulang saja sama keluargamu." 

"Sudah, No. Perempuan ular seperti ini ceraikan saja. Masih banyak yang mau jadi istrimu."

Ck! Dia pikir ada yang mau dengan anaknya yang pengangguran ini. Masih bersyukur selama aku bodoh, dia masih bisa hidup enak. 

Sekarang, malah menyombongkan anaknya. Perempuan mana yang mau sama pria pengangguran tak mau bekerja. Jangan bangga sama anakmu,  Bu.

Aku siap jika diceraikan oleh Mas Reno. Tak perlu pusing untuk memikirkan kelakuan mereka setiap hari. 

"Kalau sudah ibu bicara, silakan pergi. Saya mau istirahat, capek."

"Jangan sombong kamu jadi perempuan. Masih untung anakku mau menikah dengan kamu."

"Saya terima kasih. Silakan, Ibu tahu pintu keluar, kan?"

Aku meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Ingin cepat merebahkan tubuh di kasur tanpa pusing memikirkan makanan untuk besok. Si parasit sudah kuhempas jauh.

Baru saja aku ingin merebahkan tubuh, Mas Reno tiba-tiba masuk  ke kamar dan memohon untuk dia tetap tinggal. 

"De, Mas minta maaf," ucapnya dengan mimik wajah penuh bersalah. 

"Sudah aku maaf in. Lebih baik Mas pergi ke rumah ibu. Aku malas melihat Mas. Untuk apa di rumah kalau hanya main ponsel?"

"Mas janji akan berubah, Dek."

"Sudah telat, Dek. Mas mohon, jangan usir. Mas sayang sama ade."

Sayang? Sudah seperti ini bilang cinta atau apalah. Tak pernah pikir selama ini sudah membuat aku susah dan bekerja keras sendiri. 

Mas Reno terus memohon dengan memelas. Namun, tak membuat aku mengurungkan niat mengusirnya.

Aduh, kenapa saat seperti ini perutku terasa nyeri? Aku mengingat tanggalan, untuk memastikan tanggal datang bulan. Akan tetapi, nyeri ini semakin membuat aku sakit. 

Kepalaku terasa pusing. Memang akhir-akhir ini aku suka merasa pusing dan kelelahan. Mungkin efek mau datang bulan. Akan tetapi, kenapa semakin pusing dan semuanya gelap.

---Chew Vha--

"Sudah sadar, Dek?" 

Aku mencoba membuka mata yang masih samar-samar. Kepala ini pun terasa sakit. Aku memindai sekeliling, kenapa aku ada di sini? Ini rumah sakit?

Nyeri bagian perut begitu dahsyat sampai aku pingsan. Kenapa saat aku akan menendang mereka aku harus merasakan sakit ini? Sebenarnya aku kenapa?

"Dek," ucap Mas Reno lagi.

"Aku mau pulang," ucapku sembari menyingkap selimut dari tubuhku. 

Mas Reno menahan tubuhku, meminta tetap tidur di ranjang menunggu dokter datang. Ah ... sial hidupku sekarang. Sakit apa pula aku? 

"Ibu, saya bantu cek urine," ucap salah satu suster.

"Cek urine untuk apa?" 

"Untuk mengetahui Ibu hamil atau tidak."

Hamil? Jantungku terasa berdetak begitu kencang mendengar kalimat itu. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir aku menstruasi bulan kemarin dan ....

"Saya bantu."

Suster membantuku menuruni ranjang menuju kamar mandi. Tanganku bergetar saat ingin mencelupkan tespack ini. Aku takut yang tak kuinginkan terjadi. 

Perlahan aku mencelupkannya, setelah itu kuperhatikan benda ini sampai ada yang berubah di sana. Rasanya aku ingin berteriak, harusnya ini adalah kabar baik. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini bukan kondisi yang tepat untuk aku hamil.

Aku berjalan gontai ke luar kamar mandi. Entah, aku benci kondisi ini yang membuat aku harus bertahan sementara dengan Mas Reno.

Allah Maha Kuasa, terbukti tak seperti ucapan mertuaku yang selalu bicara tentang dosa. Aku yakin dan percaya kehamilan ini datang di waktu yang tepat. Semoga saja Mas Reno bisa berubah.

Aku memindai wajah suamiku. Tak seperti bisanya aku melihat dia seperti sangat cemas. Dia menghampiri saat aku ke luar dari kamar mandi. 

"Bagaimana, Dek?"

"Apanya?"

"Hamil nggak?"

Aku bergeming saat dia terus mendesak aku menjawab. Lidah ini kelu untuk menjawab setiap pertanyaannya. Malas, melihat wajahnya yang selalu berada di ketiak ibunya.

Tak mendapat jawaban dariku, Mas Reno menghampiri suster dan bertanya tentang hasil tespack aku. Di bantu suster aku kembali berbaring untuk melakukan USG dalam perut. 

Wajah Mas Reno semringah saat dokter memulai USG perutku. Apalagi saat dokter bilang usia kandunganku sudah memasuki lima minggu.

Aku memalingkan wajah saat dia menatapku. Jangan harap sikapku berubah jika sikapmu tak berubah. Anak ini pun akan menjadi milikku sendiri jika kamu masih seperti dulu.

"Dek, itu lihat. Lima tahun kita menunggu akhirnya Mas punya anak juga." Mas Reno terlihat semringah saat mengatakan kebahagiaan itu.

Lagi, aku membenci saat dia bicara kalimat itu. Entahlah, bahagianya di buat-buat atau memang dia benar sangat menunggu anak ini. Namun, jika memang ia bahagia, baguslah setidaknya ia akan bertanggungjawab atas anak ini. 

***

---Chew Vha--

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat puluh delapan

    Kenapa Budeh menangis, apa aku keguguran saat terjatuh tadi? segera aku mengusap perut ini, tetapi sama sekali aku tidak tahu, apa masih ada janin atau tidak di perut ini?aku kembali menatap raut wajah Budeh. lagi, ia memelukku dengan erat. air matanya tumpah membanjiri pipi. Budeh, apa yang sebenarnya terjadi?"Budeh, jangan menangis. Apa ini ada hubungannya dengan anakku?" tanyaku penasaran."Budeh menangis bahagia, akhirnya lengkap sudah kebahagiaan kamu. Untung Erlan cepat membawamu. Untung Allah masih melindungi kalian.”Kini aku yang menangis, karena kecerobohanku, hampir saja aku kehilangan janin ini. Namun, hati ini masih sakit jika mengingat semuanya. Aku benci mereka. Bodohnya aku, saat ia bilang mencintaiku. Diri ini juga terlalu terhanyut saat Mas Erlan ingin membahagiakanku. Aku pikir, diri ini paling beruntung memiliki suami seperti dia.nyatanya, aku harus menahan pedih di hati. Mas kenapa kamu tega! Kenapa dirinya harus datan

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat puluh tujuh

    "Jangan mengungkit masa lalu. Aku pun tidak pernah usil dengan kamu Mba. Tolong, jangan buat keributan di rumahku." Ibu mertuaku merasa terganggu dengan perkataan Budhe Ratih.Memang, menurutku keterlaluan Budhe Ratih. Sudah ditolong, tapi dia malah berbuat tidak baik. Kulihat wajah Mama sampai memerah. Belum lagi Papa mertua yang menarik napas."Anakku, Erlan tidak seperti itu. Bagaimana bentuknya sang istri, itu sudah menjadi kodratnya. Makanya anakmu suruh nikah, jangan bisanya julid sama orang. Untung saja Erlan tidak tertarik dengan Gladis. Malu aku punya menantu dengan ucapan tidak baik,” ujar Mama.Aku terkesiap dengan penuturan Mama. Wanita tua itu bangkit, dan langsung meninggalkan meja makan. Tidak lama Papa juga ikut masuk ke kamar."Wid, kita makan di luar saja, yuk," ajak Mas Erlan."Iya, kamar"Kalian mau ke mana?" tanya Gladis."Bukan urusan kamu,” jawab Mas Erlan.Mas Erlan memberi kode agar ak

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Enam

    Terpaksa aku kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dihuni beberapa kepala. Demi suami, aku bertahan untuk menyenangkan ibu mertua.Cucu pertama dari keluarga ini sangat diharapkan. Anak perempuan mereka yang sudah beberapa lama menikah tak kunjung hamil. Sampai aku hamil, antusias mereka sangat besar."Kamu mau rujak, nggak, Wid?" tanya Ibu mertuaku."Nggak, Ma. Aku malah nggak mau asem-asem. Maunya yang pedas." Aku menjawab sambil duduk di kursi dapur."Makanan pedas gitu? Atau ikan, ayam atau apa gitu? Bilang aja sama Mama, nanti suruh Bibi masak. Jangan sungkan.""Iya, Ma. Apa aja, yang penting pedas.""Ya, sudah nanti ayam saja di cabeiin. Biar makan semua, enak juga kayanya."Akhirnya aku mendapat perhatian Ibu mertua. Kupikir ia sama seperti Ibunya Reno. Namun, ternyata Mama berbeda. Memang dia terlihat apa adanya.Gladis berlari masuk ke rumah. Aku lihat beberapa kali dia mengintip jendela rumah. Ada apa sebenarnya?

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Lima

    "Ancaman Apa?" tanyaku."Bukan ancaman apa-apa. Ya, tapi takutnya aja si Gladis melakukan hal macam-macam." Mba Erni menjelaskan padaku.Kenapa masih banyak orang seperti Gladis. Sudah jatuh miskin, masih saja bersikap seperti ratu dalam istana. Kenapa tidak sadar diri, jika dia sudah menjadi miskin."Biarkan, Mba.""Kamu terlalu lembek. Budhe Ratih itu cuman manfaatin Mama. Dia tinggal di rumah Mama itu bakal lama. Lihat aja kataku nanti."Mbak Erni ikut emosi jika mengingat kelakua kedua orang itu. Belum lagi, sikap Gladis yang tidak mengenakkan. Aku bisa frustrasi menghadapinya. Sekarang dia berani meminjam uang dua puluh juta. Besok-besok pasti akan lebih berani. Astaga, jauhkan aku dari orang seperti itu Ya Allah.Ponsel Mas Erlan berdering, ia mengambilnya dari nakas. Wajahnya mengerut seperti melihat sesuatu."Ada apa, tumben si Mba Nani telepon. Ada apa, ya?" tanya Mas Erlan."Angkat dulu aja," kataku.Mas

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Empat

    "Temui aja, Mas," ujarku pelan.Rasanya mengingat ia menyukai suamiku itu membuat aku ingin mengusirnya. Kenapa bisa ada wanita tidak tahumu seperti Gladis. Mas Erlan membuka pintu setelah aku mengizinkannya."Ada apa, Dia?" tanya Mas Erlan."Mas, aku boleh pinjam uang? Hari ini ada acara, nanti aku ganti. Soalnya uang Papa---""Uang Papamu habis. Bagaiamana kamu bisa menggantinya?""Ya, aku sedang mencari pekerjaan. Makanya aku butuh uang untuk ke mana-mana. Boleh, ya, Mas?" Gladis seperti memohon pada suamiku.Aku mendekati mereka, astaga, gadis ini memakai pakaian sexy di depan Suamiku. Belahan dadanya saja sengaja ia umbar. Memang tidak tahu malu."Berapa?""Sepuluh juta,” ujar Gladis.Mendengarnya membuat aku sakit kepala. Yang sebanyak itu dia pinjam dan entah kapan mengembalikannya.Mas Erlan melihat ke arahku. Aku tidak mengerti maksudnya."Sekarang Widya istriku, jadi Widya yang ber

  • Kuhidupi Suamiku Dan Keluarganya   Empat Puluh Tiga

    Gladis menyukai menyukai Mas Erlan? Pantas saja ibunya tidak terima saat aku menjadi istri sang pujaan hati anaknya. Mereka aneh, masa mau menikah dengan sepupu?Kok bisa, mereka menginap di sini? Katanya kaya raya, masa, iya, menumpang. Aku beranjak ke luar kamar. Seharian di ruangan ini membuat aku bosan. Lebih baik aku mencari buah di kulkas. Siapa tahu Mama ada simpanan buah. Kebetulan ada Mama di dapur. Aku mengurungkan niat menyapanya, ada Budhe Ratih di sana.Terdengar mereka sedang mengobrol. Di posisi aku berdiri, masih bisa terdengar mereka berbicara. Aku bukan mau menguping, tapi ingin tahu saat nama Mas Erlan di sebut."Mbar, kamu yang benar saja menikahkan Erlan dengan wanita biasa. Kamu nggak lihat anakku Gladis lebih cantik." Terdengar suara bude membuat aku sakit hati."Itu pilihan dia, mana bisa aku melarang. Tahu sendiri, kalau sudah mau A ya tetap A. Mana bisa berubah menjadi B." Ibu mertuaku seperti tak banyak bicara."Halah, ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status