Share

Enam

Aku termenung saat Mas Reno sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Penantian ini memang yang aku tunggu. Kehamilan yang selalu menjadi puncak masalah kami.

"De, ini teh hangat di minum. Kata teman-temanku kalau orang hamil itu suka mual. Di minum, ini." 

Mas Reno memberikan teh hangat itu padaku. Apa ini hanya topeng agar dia tak jadi di usir dari rumah ini? Begitu manis yang dia lakukan seolah mematahkan pertahanku.

Aku menyesap teh hangat buatannya. Sempat curiga jangan-jangan dia menaruh macam-macam pada minumanku.

"Sudah hangat perutnya?"

"Sudah."

Terasa aneh saat sikapnya berubah seperti ini, membuat aku menaruh curiga takut dia sedang merencanakan sesuatu. Sudah kuusir, dia tetap mau tinggal di sini.

Aku memperhatikan Mas Reno merapikan tempat tidur, lalu meletakkan bantal dengan rapi. Aku mengernyitkan kening keheranan dengan sikap yang berbeda kali ini. Apa dia takut kuusir?

"De, istirahat dulu. Besok kamu mau izin apa masuk?"

"Kalau aku izin, siapa yang mau mencari makan?"

"Mulai besok aku cari kerja, Dek," ucap Mas Reno membuat aku menganga tak percaya.

"Nina temanku bilang ada pekerjaan jadi OB di kantor. Kalau kamu mau besok bawa lamaran ke kantor aku."

Kuperhatikan wajahnya saat pekerjaan dari Nina kutawarkan padanya. Pasti dia akan menolak penawaran itu. Mungkin Mas Reno gengsi untuk bekerja sebagai OB.

Mas Reno mendesah, dia duduk di tepi ranjang. Aku terkesiap dibuatnya saat tangannya menggenggamku. Ada apa ini? 

"Bukan Mas nggak mau kerja jadi OB, tapi Mas nggak bisa bersih-bersih. Besok Mas mau melamar jadi ojek Online aja. Sekalian bisa antar jemput kamu, Dek."

Hah? Serius? Dia kesambet hantu rumah sakit apa bukan? Aku tetap harus hati-hati bisa jadi ini hanya akal-akalan dia saja.

"Nggak apa-apa, kan, Dek, kalau Mas jadi ojek Online?" 

"Asal halal dan uangnya buat nafkahi istri dan anak." 

Sengaja aku menyindirnya, biar tak lupa kewajibannya sebagai seorang suami. Apa dia masih seperti dulu atau memang ada niat berubah.

Dia memalingkan wajah, tak lama Mas Reno memilih berbaring tanpa menjawab pertanyaan dariku. Mungkin dia tak bisa berlaku adil atau sebaliknya memang sengaja.

"Mas, bukannya aku memintamu ke luar dari rumahku?"

Aku kembali memancing pertengkaran tadi. Mas Reno membuka mata, lalu duduk di sampingku.

"Beri Mas kesempatan sekali, maafkan Mas juga tadi menampar pipi kamu." 

"Jangan hanya berjanji, Mas, kalau semuanya akan sama seperti dulu. Aku menafkahi diri sendiri, sedangkan kamu menafkahi keluarga kamu."

Mas Reno kembali terdiam mendengar aku berbicara. Sepertinya dia memang lelah karena dia langsung merebahkan diri kembali.

"Sudah malam, Dek. Besok saja kita bahas."

Pergulatan batin begitu hebat. Antara tega dan tak tega. Kalau ada yang bilang aku bucin, biarlah karena rumah tangga aku yang menjalani. Bukan orang lain yang hanya bisa mengatakan aku bodoh masih bertahan dengan suami pengangguran.

---Chew vha---

"Kalian mau ke mana?" tanya ibu mertua yang sudah berada di abang pintu.

Wanita tua itu sudah memancarkan aura peperangan antara aku dengannya. Mungkin dia heran kenapa sang anak tak pulang semalam? 

Mungkin dia berpikir kami akan pisah setelah keributan tadi malam. Nyatanya, malah Allah memberikan hadiah untuk aku dan suamiku. 

"Aku mau mengantar Widya, Bu. Sekalian cari kerja dan sementara mau melamar sebagai ojek Online," ujar Mas Reno.

"Cari kerja sebagai ojek Online? Cari aja di kantoran. Gajinya lebih besar," ujar Ibu mertua.

Mas Reno menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. "Iya, sambil berjalan. Aku butuh biaya buat calon anakku."

Ibu mertua beralih memandangku dengan tajam. Mungkin dia kaget aku hamil setelah dia bilang aku penuh dosa hingga Allah menghukumku tak diberi keturunan.

"Jangan mengada-ngada kamu, No. Dia bohong biar nggak kamu tinggal in, kali," cerca Ibu lagi.

"Aku nggak berbohong, Bu. Untuk apa aku menahan Mas Reno? Kalau pun dalam keadaan hamil dia mau pergi, silakan. Pintu rumah terbuka lebar."

"Sudah, Dek. Biar Mas yang bicara sama ibu."

Tumben dia lembut sekali dalam memperlakukan aku. Biasanya dia paling depan jika membela ibunya. Belum lagi jika anak ingusan itu ikut campur. 

Mas Reno berbicara pada Ibu apa yang terjadi semalam. Di meyakinkan ibunya untuk percaya dan tidak mencari masalah terus denganku. 

"Ibu bisa mengerti, kan. Anak ini begitu lama aku tunggu. Sekali saja jangan campuri hal ini."

"Terserah kamu. Wong kalau mau cerai dari dia pun banyak yang mau sama kamu. Bisa cepat juga punya anak, nggak bapuk kaya dia. Menang kamu kali ini Wid."

"Sudah, Bu."

"Allahuakbar, kenapa Ibu selalu bersikap tak suka sama aku? Salah apa aku? Jadi Ibu berharap aku sama Mas Reno pisah? Semoga apa yang terjadi sama aku, nggak terjadi sama anal kesayangan Ibu, Rena."

Aku bersumpah tak akan pernah diam ketika Ibu menghinaku. Lupa dia kalau punya anak gadis? Karma berlaku dan jangan main-main.

"Salah kamu menikah dengan anakku. No, Ibu pulang."

Ibu berbalik badan, lalu menghilang dari pandanganku. Aku harus sabar, jangan stres kalau tidak nanti perutku keram lagi.

"Mas, kalau mau pergi mengikuti apa yang Ibu kamu mau, silakan. Aku tanpa kamu bisa."

"Dek, aku salah selama ini sama kamu. Tolong jangan usir Mas dari sini, Mas janji akan memberikan semua yang Mas nggak lakukan kemarin-kemarin."

Itu janjinya padaku. Entah, harus percaya atau tidak padanya lagi. Aku harus fokus pada kandungan ini. Selalu berpikir positif jangan sampai mengganggu si jabang bayi.

Ucapan Ibu anggap aja angin lalu. Usahakan jangan bertemu dia, bisa-bisa anakku mirip dengannya. Ah ... jangan sampai deh. 

Mas Reno mengajakku berangkat karena takuk kesiangan. Harusnya aku merasa senang, ini yang selalu aku tunggu. Diperhatikan suami, diantar jemput.

Sepanjang perjalanan aku merasa mual. Sesekali berhenti untuk memuntahkan isi dalam perut. Mas Reno begitu khawatir dengan keadaanku. 

"De, izin aja dulu."

"Tanggung, Mas. Kerjakanku banyak, Pa bos keteter nanti kalau aku nggak masuk."

"Ya, sudah tapi kamu hati-hati, ya."

"Iya."

Kembali Mas Reno melajukan motor. Itu pun tidak kencang karena setiap ada polisi tidur, perutku terasa sakit. Apa aku harus bedrest saja? Mungkin besok aku izin saja.

Memang benar kata mas Reno, aku meminta kembali pulang. Sepertinya memang harus istirahat di rumah. Aku takut ada hal yang tak baik jika aku memaksa bekerja. Ini juga saja sudah terasa pegal perut. 

Akhirnya Mas Reno memutar balik motornya kembali ke rumah. 

Di pertigaan dekat rumah aku kembali bertemu Ibu yang sepertinya mau ke pasar. Dia membawa kantung belanjaan di tangan. 

"Kenapa pulang lagi?"

"Widya nggak enak badan, Bu."

"Dasar manja. Baru hamil muda aja banyak tingkah. Sudah cepat antarkan dia, terus Ibu tunggu di sini. Antar Ibu ke pasar."

Astagfirullah, nggak ada baik-baiknya ibu bicara. Kupikir setelah aku hamil dia akan baik seperti Mas Reno.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status