***
Kulihat pakaian mulai menggunung, kerena takut meletus, segera kudekati tumpukan baju tersebut dan tanganku mulai mulai merogohi sakunya. Saat memeriksa semua saku pakaian memastikan tidak ada uang, flashdisk dan yang lainnya yang biasanya sering tercuci.
Sekarang tanganku mulai memeriksa saku kemeja putih Mas Arga, begitu membalik baju itu, ada warna merah di tangan bajunya seprti lipstik, keningku mulai menyergit sesekali tanganku mengusap-usap warna itu.
Rasa curigaku muncul, aku langsung ke meja riasku memastikan warna lipstik tersebut, namun aku sama sekali tidak punya lipstik warna merah, aku hanya punya dua lipstik warna pink dan orange.
'Lipstik siapa ini?' batinku mulai bertanya-tanya, kurogoh saku kemejanya dan kudapati tisu basah, tapi anehnya lengket ke baju membuatku jijik.
"Sejak kapan Mas Arga mempunyai tisu basah dan ini apa? Kok lengket," gumamku bertanya-tanya.
"Mungkin Mas Arga pilek kali," lanjutku berusaha berprasangka baik pada suamiku selama 7 tahun ini.
***
Dua hari kemudian, suamiku pulang dinas. Aku dan anak-anakku sedang menunggunya di teras untuk menyambutnya.
Tidak berapa lama kemudian, mobil masuk ke pekarangan rumah. Begitu ia keluar dari dalam mobil, anak-anak langsung berlarian memeluknya.
"Ayah punya hadiah untuk kalian berdua," ucapnya lalu memberikan kotak berisi mainan pada mereka berdua, membuat Hana dan Dani sangat girang sambil melompat-lompat.
Aku langsung menghampirinya dan menyalam tangannya, ia mencium keningku lalu memelukku. Saat aku berada dalam pelukannya ada yang aneh dari biasanya, tercium jelas olehku aroma parfum yang dia pakai seperti wangi parfum perempuan.
Apa Mas Arga salah pilih parfum? Ku rasa hidungnya masih bisa membedakan parfum perempuan dan laki-laki. Tapi, kali ini malah seperti ini, kecurigaan keduaku setelah tisu basah dan noda merah di kemejanya.
'Awas kau Mas, sepertinya aku akan jadi detektif gratis untukmu,' batinku dalam pelukannya sambil kuelus-elus perut atletisnya itu.
Aku melepas pelukannya, ingin rasanya kutanyakan banyak hal padanya, namun kuurungkan niatku kala melihat dia sangat lelah.
"Kamu kangen ya sama Mas, tapi Mas capek banget, malam aja ya," bisiknya menggoda di telingaku, aku hanya mengangguk membiarkannya istirahat.
Aku mengambil tas di tangannya karena aku tahu itu isinya pakaian kotor, langsung ku bawa ke kamar mandi dan kukeluarkan semuanya, lagi-lagi aku menemukan lipstik merah, tapi kali ini di kaos kesayangannya, kusipitkan mataku kerena melihat warna yang sama lagi.
'Kamu mulai main-main dengan ku Mas, kita lihat saja siapa yang akan menang,' hatiku mulai memanas. Setalah selesai menyuci pakaiannya aku langsung ke kamar, kulihat ia sudah tidur dengan nyenyak.
Kuambil gawainya yang ditaruh di dekatnya, mungkin dia takut aku mengetahui isinya, sampai-sampai tidur pun di bawa, nggak sekalian ini ponsel di ikat di lehermu saja, Mas.
Aku membawanya keluar kamar, kulihat anak-anak sedang asik bermain dengan maianan mereka. Aku duduk di samping mereka lalu membuka youtube bagaiamana cara menghubungkan ponsel suamiku ke ponselku.
Kutemukan dua cara, yang pertama dengan memasang w******p web dan yang kedua pakai gps untuk melacak perjalanannya, bibirku tersenyum licik.
Kupakai kedua cara tersebut, setelah terhubung ke kembalikan ponsel ke tempat semulanya di dekat guling.
Saat aku keluar, tiba-tiba ada pesan masuk di ponselku, segera kubuka ternyata dari perempuan, suamiku memberi nama Mita chubby, seketika keningku menyergit membaca nama itu.
Ingin rasanya kuganti nama itu menjadi Mita gendut, tapi sudahlah demi misi aku harus serba kuat. Ku buka pesannya.
[Sayang besok kita ke mall ya, bosen tau kita si hotel terus, aku pengen refreshing, setelahnya aku bakalan nurutin semua keinginan kamu, tapi jangan lupa pakai pengaman] tulisnya di sertai emot love.
Entah apa yang terjadi padaku, mataku mulai memanas membacanya, sudah berapa lama mereka selingkuh? Sudah berapa kali mereka ke hotel? Apa yang mereka lakukan? Pertanyaan itu muncul di kepalaku dan aku yakin akan selalu menghantuiku.
"Belum apa-apa, nangis. Ini masih awal, Hanin," gumamku lalu menghapus air mataku dengan kasar.
'Liat aja kamu, Mas,' batinku, aku merasa hatiku sekarang aku sudah seperti singa mengamuk.
Keesokan harinya; Mas Arga berangkat kerja seperti biasanya. Setelah ia pergi langsung ku buka ponselku mencari tahu kemana dia sebenarnya. Awalnya kulihat masih di lokasi kantor, tapi sekitar jam 10 sudah menuju mall.
"Sayang kita jalan-jalan ke pantai, yuk," rengek Mita sambil bergelayut manja di tangan Mas Arga, sedangkan Mas Arga yang melihat itu langsung gemas dan mencubit pipi Mita.
"Apa sih sayang yang nggak buat kamu, apapun yang kamu inginkan, aku siap," jawab Mas Arga dengan romantis lalu mereka keluar dari mall.
Tanpa membuang waktu, Mas Arga dan Mita langsung meluncur ke Pantai terdekat, sepanjang jalan Mita begitu senang sambil bergelayut manja di tangan Mas Arga.
Segera kupinjam mobil sahabatku Sinta dan kubawa anak-anakku, sebenarnya aku tidak sepolos yang Mas Arga pikiran, hanya saja di depannya aku selalu bertingkah polos. Kuikuti mereka dengan gps, aku melihat arah tujuannya ke pantai.
"Bunda kita mau kemana?" tanya Hana putri sulungku.
"Kita mau kepantai sayang, kita liburan," jawabku girang membuat Hana dan Dani bersorak riang. Karena mobilku di belakang otomatis mereka duluan sampai.
Sampai di pantai,kulihat mereka berdua sedang asyik bermain air sambil tertawa lepas. Air mataku hampir saja terjun, tapi langsung ku tepis cengengku, sekarang bukan waktu yang tepat.
Suami yang selama ini kupercaya tanpa ada keraguan sedikitpun, ternyata sanggup melakukan ini tanpa memikirkanku dan kedua anak-anaknya. Baiklah, kita nikmati permainan ini, Mas.
Kujemput kedua anakku dari dalam mobil dan kubawa mereka ke bibir pantai. Sekarang mereka berdua sedang berlari-lari, tawa riang sambil dorong-dorongan itulah yang mereka lakukan, aku tersenyum melihat mereka, tapi tidak dengan dua sejoli yang lumayan jauh dari kami.
Sengaja aku menghadapkan badanku ke arah mereka, seperti sedang menyaksikan adengan romantis. Bagus sekali akting kalian berdua artis dan aktor India kalah dengan keromantisan kalian yang tiada duanya.
Begitu Mas Arga menoleh ke samping, kulihat matanya melotot dan sesekali ia memicingkan matanya, mungkin ia merasa matanya mulai katarak sekarang.
Kuperhatikan perempuan yang sedang memegang lengan Mas Arga, aku teringat dengan lipstik yang selalu kutemukan di baju suamiku serta wangi parfumnya yang seperti parfum perempuan.
'Berapa kali sudah kalian melakukan hubungan haram itu?' batinku terus bertanya-tanya.
"Kenapa, Mas?" tanya Mita.
"Sayang coba lihat kesana, bener nggak itu, Hanin?" Mas Arga balik bertanya sambil menunjuk ke arahku.
"What! Ngapain istri kucelmu itu kesini sayang?" kesal Mita tidak percaya.
"Aku juga bingung sayang kenapa dia ada di sini juga, sepertinya istri sepolos dia tidak mungkin bisa melacakku," jawab Mas Arga masih bingung dan terus menatapku.
"Bunda disana ada Ayah!" teriak anak bungsuku sambil menunjuk ke arah Mas Arga.
Mata Mas Arga kembali terbelalak melihat kedua anakku yang sedang bermain air sama sepertinya dan pelakor itu, sedangkan aku hanya tersenyum miring padanya seolah-olah mengejeknya.
Mas Arga berjalan ke arahku, terlihat jelas dimatanya memancarkan kemarahan. Sampai di depanku, aku langsung melipat tanganku seperti sedang menantang.
"Apa yang kamu lakukan disini?!" bentaknya, namun sama sekali tidak membuatku kaget atau shock.
"Bermain, aku sedang bermain dengan anak-anakku, Mas," jawabku santai, kulihat rahangnya mengeras mendengar jawabanku.
"Aku tanya sekali lagi, ngapain kamu disini, Hanin?!" suaranya semakin meninggi, kulirik ke arah Mita yang tersenyum puas melihat aku di bentak suamiku, emang dasar pelakor yang diciptakan hanya untuk merusuh rumah tangga orang.
"Ayah jahat, Dek," terdengar jelas olehku Hana berbicara dengan Dani adiknya sambil merangkul pundak Dani.
Aku berjalan lebih dekat ke depan Mas Arga, kudekatkan mulutku ke telinga.
"Jika kamu bermain maka aku bertindak, bukan 'kah itu adil?" bisikku penuh penekanan lalu aku menjauhkan tubuhku darinya.
"Beraninya kau!" bentaknya sambil mengangkat tangannya, jari telunjukku langsung menantang tegas di depan wajahnya.
"Sekali saja kamu kasar kepadaku, maka hilanglah semua warisanmu," ancamku lembut, tapi penuh penekanan. Kulihat ia menurunkan tangannya dengan kasar, tapi sorot matanya tetap tajam.
"Jangan berani mengancamku, Hanin," kali ini nada bicaranya sedikit turun.
"Sekarang aku sadar Mas ternyata Ayah dan Ibu mertua telah membuat perjanjian yang bisa menyelamatku dan menjadi titik kelemahanmu," lanjutku dengan nada sinis, tapi kuyakin seribu pertimbangan pasti di otaknya sekarang, biarkan saja rambutmu makin tipis, Mas. Kulihat raut kekesalan di wajahnya, ia langsung pergi dari hadapanku dan mendekati anak-anak. Tapi, malangnya anak-anak malah lari ke belakangku dan memelukku, anakmu sendiri takut dengan sikapmu yang seperti ini, Ayah macam apa ini. Aku kembali menyunggingkan senyum sambil geleng-geleng kepala. Kupegang tangan anak-anakku karena kutahu pasti sekarang mereka takut melihat Ayah mereka yang dalam sekejap berubah menjadi monster. "Yuk, kita pergi ke tempat lain sayang, masih banyak tempat yang harus kita kunjungi," ajakku sambil riang lalu membawa kedua anak-anakku ke dalam mobil, kemudian aku masuk dan mengemudi mobil. Kulihat ekspresinya masih bingung melihatku yang mengemudi mobil. Sebelum pergi kusempatkan mengklakson mobil
*** "Kenapa bertanya padaku, Mas? Tanya sendiri 'lah sama orangnya," jawabku santai, kulihat matanya menatapku serius mungkin ia berharap aku takut, aku sama sekali tidak takut dengannya. "Kamu mempengaruhi mereka," tuduhan bodoh apalagi ini, tapi nada bicara Mas Arga sangat lembut, hantu mana yang di dalam tubuhnya sekarang. Aku langsung menurunkan tanganku dan menatap matanya serius, tapi anehnya matanya tidak mau berhadapan langsung dengan mataku, matanya merayap kemana-mana. Apa mata ini yang kamu gunakan untuk memilih pelakor yang pas untukmu? Seketika senyum mengejek terlukis di bibirku. "Sekarang aku tanya kenapa kamu nggak marah lagi seperti tadi meletup-letup di depan mukaku hingga anak-anak gemetaran melihatmu?" tanyaku tidak kalah lembut, kulihat matanya terbelalak mungkin ia tidak tahu kalo tadi kedua anakku gemetaran melihatnya. "Mereka gemetar?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, suami macam apa ini. Aku menggedikkan bahuku lalu menunjuk ke arah anak-anak ya
*** Cukup lama kulihat Mas Arga mengamati aku dan anak-anakku yang sedang merengek padaku, tiba-tiba kakinya melangkah melewati kami dan menuju kamar. Ku biarkan ia di kamar sendiri, biasanya selalu ku susul untuk mengambil baju gantinya. Tapi kali ini kakiku terasa berat untuk berdiri ditambah lagi Dani yang sedang tiduran di pangkuanku. Dua jam kemudian setelah Mas Arga masuk kamar ia tak kunjung keluar, apa yang dilakukannya di dalam? Sedang menelepon pelakor itu 'kah? Atau tidur? Pertanyaan-pertanyaan mencurigakan akhir-akhir ini selalu muncul di otakku. Kulihat Dani sudah tertidur di pangkuanku dan Hana juga matanya mulai kedap-kedip menahan kantuk, bibirku tersenyum dan tanganku terulur membelai rambut Hana. Mata Hana kembali cerah lalu mendongak ke atas melihatku yang sedang tersenyum manis padanya. "Kenapa, Bunda?" pertanyaan polos itu keluar dari bibir mungilnya, aku langsung menggeleng. "Tidur di kamar yuk sayang, udah jam 9 lebih, Adek juga udah tidur ini," ajakku, Ha
Kurogoh saku celanaku untuk melihat kemana dia pergi, aku memicingkan mata melihat jalan yang di tempuh Mas Arga, ku kira ia akan pergi ke rumah orang tuanya dan mengadu pada Ibunya seperti anak TK yang habis berantam. Aku tidak mempermasalahkan kemana dia malam ini karena nggak mungkin aku meninggalkan anak-anakku yang sedang tidur demi suami yang tidak tahu malu itu, sudah jelas-jelas salah masih saja keras kepala. *** Pagi hari; Aku sedang mempersiapkan Hana hendak berangkat sekolah tidak lupa denganku juga yang sudah berpakaian rapi untuk pergi melamar kerja. Sekarang kami bertiga sudah di teras, aku sedang menunggu Hana memakai sepatunya. Tiba-tiba saja mobil Mas Arga masuk ke halaman, aku yang melihat itu hanya jutek dan pura-pura tidak peduli dari mana dia semalaman. Kulihat ia turun dari mobil, kaki jenjangnya ia langkahkan mendekati kami bertiga. Entah kenapa Dani kembali memelukku saat Mas Arga sudah dekat. "Hana mau berangkat sekolah, Nak?" tanyanya lembut, Hana langsu
Setelah menitipkan Dani di rumah Sinta, aku menuju SMP Nusa, selama perjalanan ku sepatkan menelpon Sinta. [Assalamualaikum, Hanin kamu dimana?] sapa Sinta dari seberang sana terdengar di sekiranya ribut sekali mungkin suara murid-muridnya. [Walaikumusalam, aku udah di angkot Sin, gimana berkasku diterima nggak?] tanyaku penuh harap, terdengar ia terkekeh mendengar pertanyaanku. [Ya diterima 'lah, Aku nelpon Bapakku minta tolong biar di bilangin sama kepala sekolah] jawabannya membuatku senang sekaligus kaget, ingin rasanya sekarang ke peluk Hana dan Dani berkat mereka aku semangat untuk melamar kerja. [Serius kamu, Sin? Emang kepala sekolah siapanya, Om?] tanyaku lagi semakin penasaran. [Temen kuliahnya, Bapak. Aku juga dulu masuk ke sini di bantu sam Bapak. Udah ah, sini cepat] lanjut Sinta mendesak, dia pikir aku yang nyupir angkot apa di suruh cepat-cepat segala. Sekitar 10 menit perjalanan akhirnya aku sampai di sekolah tersebut dan langsung di suruh ngajar, aku merasa seper
Disisi lain, Mas Arga yang sedang sibuk mengerjakan beberapa file langsung berhenti karena melihat ada pesan dari Mita. Mataku tertuju pada sofa ternyata Hana sudah bangun, segera kuhampiri anak sulungku itu, lalu ku usap kepalanya. "Udah bangun Nak, ini kenapa nggak di habiskan sayang makanannya?" tanyaku lembut karena mlihat ada beberapa makanan lagi yang berlum di buka. "Ini buat Adek, Ayah," jawabnya membuatku langsung bungkam, tanpa membuang waktu aku langsung menggendongnya ke mobil. *** Disisi lain, di dalam mobil aku hanya diam saja pikiranku berkecamuk sekarang, bukan masalah Mas Arga dengan pelakor itu, tapi aku takut Hana dipengaruhi oleh mereka berdua, jangan sampe Hana disuruh manggil bunda juga sama pelakor itu. "Bunda beli es klim," ucap Dani membuyarkan konsentrasiku, aku langsung menoleh ke samping melihat anak kecil itu sedang memegangi sabuk pengamannya. "Iya sayang, kita beli ice cream sekarang ya," jawabku, kulihat Dani menganggukkan kepalanya sambil matanya
Prang! Vas bunga tersebut jatuh ke lantai menggema di seluruh ruangan, hancur berkeping-keping, tidak ada ubahnya seperti hatiku yang sekarang. Pov Arga Aku keget mendengar ada yang jatuh di dekat pintu, langsung kuhentikan aksiku dan memakai celana dan bajuku secepat kilat. Lalu kaki jenjangku melangkah keluar kamar, memeriksa apa yang pecah. Mataku langsung terbelalak melihat Hanin berdiri dengan melipat kedua tangannya memasang muka yang sangat marah, tapi terlihat jelas olehku matanya merah dan masih membendung sedikit air mata. "Hanin," panggilku. "What!" bentaknya membuatku langsung kaget, seumur-umur Hanin tidak pernah membentak, tapi kali ini suaranya sangat tinggi. "Aku bisa jelasin," lanjutku mencoba menenangkannya, bukannya menjawab malah mempertajam tatapannya. "Tidak ada yang perlu kau jelasin Arga Wijaya!" Hanin kembali membentakku, tapi kali ini ia mengucapkan nama lengkapku dengan lantang. "Sayang," panggil Mita, tiba-tiba sudah bergelayut manja di tanganku, k
"Apa kesalahan Hanin dalam berumah tangga, sehingga kamu tega berbuat seperti ini," tanya Ayah, kulihat Mas Arga hanya menggeleng. "Jadi kenapa kamu selingkuh? Dibilang Hanin mandul, tidak, kalian bahkan punya dua anak. Dibilang Hanin tidak bisa memiliki keturunan laki-laki, tidak, kalian punya Dani. Dibilang Hanin nggak bisa mencari uang, tidak, dia sarjana, ngajar juga, bahkan dulu kamu yang membujuk-bujuknya untuk berhenti bekerja. Apa Hanin tidak memberi nafkah batin sehingga kamu putuskan untuk selingkuh?" Ayah mengungkap semuanya. Aku memang salut sama Ayah, ia tidak pernah menyalahkan satu sisi. Aku semakin bingung, lagi-lagi Mas Arga menggeleng, kenapa dia? Dan Ibu mertuaku tetap pada posisi antagonisnya, ia bahkan membuang pandangannya dari kami. "Kenapa kamu hanya menggeleng Arga? Jawab!" bentak Ayah membuatku langsung kaget, untunglah anak-anak berada di teras, kalo tidak mereka bisa ketakutan. "Hanin nggak salah apa-apa, Ayah," kata-kata itu keluar dari mulut Mas Arga,