"Bumi, maksudnya apa?""Aku sayang sama kamu, Mir. Aku mau kita menikah. Agar aku bisa selalu bersamamu."Senyum mengembang bagaikan bunga matahari. Aku tersipu malu. Kami memang sering membicarakan soal perasaan. Seringnya aku menanggapinya dengan tawa tanpa memikirkannya lebih serius. Namun, jika sikap Bumi seperti ini, aku paham kalau dia benar-benar serius padaku. "Mi, terlalu cepat kalau kita bahas soal pernikahan.""Bukankah niat baik memang harus dipercepat?"“Iya, tapi….”"Apa yang kamu ragukan dariku, Mir?" tanya Bumi menangkupkan wajahku dengan kedua tangannya. Mata kami bertatapan dengan jarak dekat. Jantung berdegup tak karuan. Suasana terasa manis. Bagaikan dihujani kelopak bunga mawar. "Aku mencintaimu, Mir? apa kamu tidak merasakan hal yang sama?""A-aku menyukaimu, Bumi. Siapa yang tidak menyukai pria yang sempurna sepertimu. Tapi, soal menikah, aku butuh waktu untuk memikirkannya.""Soal itu aku paham. Berapa lama pun kamu meminta waktu untuk memantapkan hati, pasti
"Mir, tenang, Mir," ujar Tiara mengelus pundakku. Dia menyuruhku tenang, padahal matanya juga dihiasi butiran kristal bening yang tak kalah banyak dibanding diriku. "Ra, hiks, hiks." Aku peluk sahabatku sangat erat. Meluapkan kesedihan yang sangat mendalam. Sebelumnya, sambungan telepon telah dimatikan. Aku tak mau ibu dan bapak terangsang semakin bersedih, mendengar isak tangis yang keluar dari bibirku. "Nyebut, Mir. Istigfar. Lu harus tenang. Luapkan saja harus kesedihannya. Setelah lu kuat, pulang, dan kuatkan orang tua lu." Aku mengangguk dalam dekapan Tiara. Semua rasa sedih, aku tuangkan di dalam kantor. Suasana di sini, seperti hujan badai. Tubuhku rasanya terbang di atas udara. Tak bisa berpijak. Masih belum membayangkan kenyataan buruk ini. Penyakit ginjal, bukanlah penyakit biasa. Sangat mengancam nyawa. Orang-orang yang mengidapnya harus bergantung dengan cuci darah agar bisa menyambung nafas setiap harinya. Kenapa keluargaku sama sekali tak ada yang curiga? seharusnya,
"Sayang." Ujar Mas Hafidz langsung memeluk istrinya. Kami sekeluarga masuk ke ruang UGD. Wajah Mbak Rina pucat. Namun, dia tersenyum. Rasa kesal, sekaligus tak tega, berbaur jadi satu. Melihat kondisi lemah kakakku, rasa kesal karena kebohongannya tak kuasa diucapkan. Padahal, aku ingin memaki, dan banyak bertanya. Mengapa dia menyembunyikan semua ini dari keluarga? apa dia tidak berpikir, bahwa kondisinya yang seperti ini, sangat menyayat di hati. Kenapa keras kepala menyembunyikan seorang diri? "Kalian jangan sedih.""Sayang, maafkan Mas. Kamu harus sembuh. Kamu kuat, Sayang. Kita berjuang bersama. Mas akan selalu menemanimu. Kita bisa cari pendonor ginjal. Asal kamu bisa sehat lagi," ujar Mas Hafidz diiringi gemuruh tangisan."Mas jangan menangis. Maaf ... aku ... belum bisa ... jadi ... istri yang ... baik.""Hust, cukup. Jangan bicara seperti itu.""Mbak, Mbak janji bakal nemenin Mira kalau disini. Mbak harus buktiin janjinya. Mira sudah ada di sini. Kita bisa habisin banyak w
"Wasiat?" tanyaku pada diri sendiri. Heran membaca judul halaman yang ada di pertengahan. Ada tulisan namaku.[Mir, kamu pasti sedang membaca diary Mbak. Seganas apapun penyakit Mbak, Mbak menunggu untuk bertemu denganmu. Semoga, masih bisa. Mbak membujukmu berusaha pulang, tapi urusanmu di kota begitu memakan waktu. Maka, Mbak tak bisa memaksa. Namun, sebelum Mbak pergi, Mbak harap kamu membaca tulisan wasiat ini.][Mir, boleh tidak Mbak minta satu permintaan saja. Mbak Janji tidak akan meminta lagi. Hanya ini saja. Mbak sudah memikirkannya matang-matang.]Drat ... drat....Belum selesai membaca, ponselku berdering. Akhirnya, aku tutup buku, dan menggerakkan jari menekan tombol hijau. "Akhirnya lu angkat telepon gua, Mir. Ya Allah, gua khawatir. Lu susah banget dihubungin."“Maaf, Ra. Aku ….”"Iya-iya, gua paham. Lu harus kuat yah, Mir. Jangan lupa makan, dan tidur dulu. Gua yakin lu belum tidur."“Iya, Ra. Nggak usah khawatir.”"Ya, gua khawatirlah. Apalagi pacar lu. Dia nanyain te
"Mah, ini semua mimpi' kan?" tanyaku pada Mamah."Mir, tenang, Sayang." Mamah berusaha menenangkanku. Padahal, air matanya banjir membasahi pipi. Aku berusaha menguatkan telapak kaki untuk bangun. Menyeret kaki yang sangat berat ini, untuk mendekat. "Mah ....""Mir, tenanglah, Sayang.""Pasti ini semua hanya mimpi." Aku coba mencubit tanganku. Terasa sakit. Menandakan bahwa semua ini memang nyata. Menatap Mbak Rina dari jarak dekat. Wajahnya bercahaya. Bibir tampak melengkungkan senyum tipis. "Mbak, bangun... Mbak bohong. Katanya Mbak bakal seneng kalau Mira pulang ke rumah. Kenapa Mbak malah pergi?" tanyaku sambil mengelus lembut pipinya yang sudah mendingin. "Mbak ... bangun Mbak. Kita mau jalan-jalan sama Nayla dan Mas Hafidz. Mbak kenapa masih tidur?""Mir, istigfar, Nak. Kita harus kuat. Kasihan Nayla, dan Hafidz kalau kamu seperti ini.""Mah ... Mbak Rina Mah. Dia bohong sama Mira, Mah!" teriakku menangis histeris. Aku peluk Mamah. Merangkul Nayla yang ada dalam gendongannya
POV Hafidz"Buku itu ....""Apa ada padamu?" tanyaku penuh selidik. Sampai saat ini, aku belum tahu apa isi diary Rina. Sehari sebelum masuk rumah sakit, Rina pernah berpesan agar aku membaca buku diarynya yang ada di lemari. Saat itu, aku sedang sibuk. Rina memberi tahu hal tersebut di pagi hari. Niatnya, akan membaca buku itu sepulang dari pabrik. Qadarullah, takdir malah bicara lain. Sebelum menjelang petang, Rina dikabarkan tak sadar diri dan masuk rumah sakit. Dia dibawa ibu mertuaku, yang sedang berkunjung ke rumah. Sampai Rina belum ada, aku belum sempat membaca buku itu. Semalam, aku cari di lemari, bukunya tidak ada. "Apa Mas tahu isi buku itu?" tanya Mira."Tidak, Mir. Tapi, almarhum Mbakmu berpesan, agar Mas membacanya.""Tunggu sebentar."Mira melangkah ke kamarnya. Aku melanjutkan makan, dan segera menghabiskannya. Dari raut wajah Mira, tampaknya ada yang disembunyikan. Apa ada kaitannya dengan isi buku tersebut?"ini, Mas.""Mas bakal baca di rumah." Mira hanya menga
Pov Mira“Amanah apa maksudnya, Pak?” tanyaku pura-pura tidak tahu."Mbakmu Rina, sehari sebelum masuk rumah sakit, dia mendatangi Bapak. Kami sempat mengobrol. Mungkin, sudah ada firasat bahwa umurnya tidak panjang lagi."Bapak bicara dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya seperti tercekat di tenggorokan. Tampak berat membicarakan topik kali ini. "Ada apa, Pak? apa ada sesuatu yang diinginkan Rina sebelum dia pergi?""Betul, Bu. Rina meminta wasiat yang berat.""Wasiat berat apa maksudnya, Pak?""Sebelum ibu mendatangi Rina di rumahnya, bapak datang duluan sebelum berangkat kerja. Saat itu, hafidz sudah berangkat ke pabrik. Bapak dan almarhum bicara singkat. Saat itu, Rina meminta bapak menemuinya, sikapnya juga aneh. Bapak heran, dan bertanya kenapa dia begitu."Bapak menjeda pembicaraannya. Dia tampak mengatur nafas untuk menahan tangis. "Dia bilang, rindu ingin memeluk bapak. Aneh. Bapak merasa ada hal janggal. Rina memberikan surat. Katanya, suruh bapak membaca kalau dia sudah perg
"Maaf, Tante, kami saling mencintai. Apa janda seperti saya sangat buruk di mata Tante?""Maaf, Nak Mira. Bukan begitu maksud Tante. Hanya saja, Bumi anak satu-satunya, dia juga pewaris tunggal. Tante ingin menantu yang terbaik untuknya. Sementara kamu, sudah pernah dimiliki orang lain. Bukan perawan lagi. Kasihan anak Tante."Pembawaan ibunya Bumi memang ramah. Namun, perkataannya sangat nyelekit. Bagai anak panah yang menancap dan merobek hati. "Baik, Tante. Saya akan membicarakannya sama Mas Bumi.""Tolong jangan bilang Tante ke sini. Dia bisa marah. Nanti kamu akan merasakan, dilema menjadi orang tua seperti Tante. Jadi, tolong permudah kemauan Tante, yah."Aku tersenyum kecut. Menahan kesal. Ingin melawan, tetapi tak mau menambah masalah. Apa mungkin ini jawaban atas kebingunganku terkait jodoh? apa aku harus mengabulkan wasiat Mbak Rina?"Tante pulang dulu, yah. Terima kasih sudah mau bekerja sama. Ini cek, kamu mau minta berapa pun, pasti Tante berikan. Tulis saja."Aku ambil