Share

Nayla Dianggap Pembantu

Author: Sriayu23
last update Last Updated: 2022-08-01 13:22:49

[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]

Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?

"Hallo, Dek?"

Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?

"Iya, Mas kenapa?"

"Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?"

"Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?"

"Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng."

"Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa."

"Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah."

"Iya."

Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?

Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayla. Baru beberapa menit kepergian Ibu dan Nayla ke rumah, hatiku sudah gundah gulana. Tak mungkin melawan kemauan ibu. Dia sangat menyayangi Nayla. Mangkanya sejak awal bersikeras ingin mengatakan pernikahanku dengan Nayla. Agar Nayla punya hak yang sama sebagai istri. Sehingga, bisa tinggal di istana Eva. Agar aku bersikap adil, dan mempunyai waktu bersama lebih panjang dengan Nayla. 

Selama ini, aku hanya bertemu Nayla dua Minggu sekali. Tidak bisa setiap Minggu. Eva bisa curiga jika aku terus beralasan bisnis di luar kota. Seringnya, Nayla merajuk karena menganggapku tidak adil.

"Di, Mbak minjem duit yah."

"Aduh, Mbak, Adi lagi pusing mikirin Eva, malah minta minjem duit."

"Soal Eva gak usah dipikirin. Kalaupun ketahuan ya tidak masalah. Dia itu polos dan terlalu baik. Dia juga bucin banget sama kamu. Mbak yakin, Eva rela dimadu."

"Jangan menggampangkan masalah, Mbak. Belum tentu Eva sebodoh yang kita pikirkan."

"Halah, sudahlah jangan berpikir macam-macam. Buruan, kirim uang ke rekening Mbak. Gegara segerombolan orang gila tadi, Mbak harus nanggung rugi. Makanan habis berserakan, tenda rusak, sedangkan yang kondangan ngasih duit cuman sedikit."

"Iya, Adi transper."

Sebelum Mbak Neli ngoceh-ngoceh, lebih baik aku segera transfer uang sesuai keinginannya. Kepalaku bisa nambah pusing jika harus mendengar mulut cerewetnya.

"Udah dikirim. 50 juta."

"Asik. Makasih adikku."

"Iya."

"Senyum dong. Mukanya kusut banget."

"Gimana bisa senyum. Rumah tangga Adi dengan Eva sedang genting kaya gini. Kalau Eva tahu tentang Nayla, habis sudah."

"Tenang, kamu 'kan masih punya Nayla."

"Iya Adi tahu. Tapi kita bisa kehilangan harta Eva. Mbak juga tahu 'kan, selama ini keluarga kita sangat bergantung pada Eva."

"Oh soal harta, tenang aja. Aman."

Mbak Neli hanya tersenyum sambil mengerling. Dia menepuk pundakku, seakan memberi kode bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia meninggalkanku sendirian di kamar. Seakan tak perduli dengan nasib rumah tanggaku. Kenapa dia bersikap seperti itu? bukankah selama ini, Mbak Neli yang paling takut aku kehilangan Eva. Tepatnya, khawatir harta Eva tidak jatuh ke tanganku.

[Di, lebih baik kamu pulang ke rumah ibu secepatnya. Eva bersikap aneh]

Setelah makan malam, jantungku kembali berdetak tak tenang. Saat mendapatkan pesan dari Mbak Ratna.

[Bersikap aneh gimana, Mbak?] 

[Pokoknya aneh banget. Kasihan Nayla, masa dia di suruh-suruh sama Eva. Disuruh masak, bantuin dia beres-beres kamarnya. Kesel banget Mbak sama si Eva. Mentang-mentang banyak duit, dia memperlakukan Nayla kaya babu.]

[Apa? gak mungkin, Mbak. Adi tahu banget sikap Eva. Dia gak mungkin kaya gitu.]

[Dih, kamu gak percaya sama kakak sendiri? lebih belain perempuan kampung itu? keterlaluan kamu, Di. Mbak kesel sama kamu. Mending kamu ke sini sekarang. Lihat nih, kelakuan istri pertama kamu.]

Mbak Ratna menambahkan imot marah berkali-kali. Pasti dia kesal kepadaku. Bukan maksud tak percaya pada kakak sendiri. Namun, apa yang dilaporkan Mbak Ratna nampaknya sangat mustahil. Eva bukan tipe orang yang suka nyuruh-nyuruh. Soal sikap, dia sangat lugu, baik dan penurut. Berusaha selalu menolong siapapun. Sehingga tak mau merepotkan orang lain. Apa ini hanya akal-akalan Mbak Ratna? dia 'kan sangat membenci Eva. 

"Di, kamu di suruh buruan balik ke rumah ibu."

"Emang ada apa lagi, Mbak Nel?"

"Gak tahu. Ibu ngechat gitu."

"Tapi Mbak, Eva bisa curiga kalau aku sudah balik ke rumah."

"Iya juga sih. Perjalanan dari Lampung 'kan lama. Lagian, kamu Beloon banget. Kenapa segala alesan ke Lampung. Gak logis banget."

"Sudahlah. Pusing aku. Mbak Neli sama Mbak Ratna bukannya kasih solusi. Bisanya komentar doang."

"Dih, ya kamunya aja yang gak handal bohongin istri. Pinteran dikit napa."

Tanpa menjawab omongan Mbak Neli, aku bergegas mengambil kunci mobil dan koper.     Tak ada pilihan lain. Aku harus pulang ke rumah ibu. Sebelum terjadi huru hara di sana.

"Adi, jangan marah dong. Mbak 'kan udah kasih saran."

Bugh!

Aku tutup pintu mobil dengan keras. Tak perduli kepada Mbak Neli yang terus mengetuk kaca mobil. Hawanya jengkel sekali. Kalau urusan duit saja, aku yang selalu mereka andalkan. Bahkan, selalu minta secepatnya diberikan. 

Padahal, Mbak Neli sudah punya suami. Tidak seperti Mbak Ratna yang menjanda, yang memang harus aku bantu perekonomiannya. Namun, suaminya yang bekerja sebagai HRD, tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Aku juga heran ke mana perginya gaji Mas Hendri. Entahlah, pikiranku sangat kacau. Tak mau memikirkan yang lain. Aku harus fokus mencari solusi, agar Eva tak curiga.

"Assalamualaikum."

Berkali-kali aku mengucap salam, tapi tak ada jawaban. Ke mana Ibu, Mbak Ratna, Eva  dan Nayla.

Pintu ternyata tidak dikunci. Aku langsung masuk. Terdengar suara ribut-ribut. Nampaknya, berasal dari ruang makan. Segera aku menuju sumber suara.

"Kalau kerja yang becus dong, Mbak," ucap Eva sambil berkacak pinggang.

Nayla sedang menunduk sambil meneteskan air mata. Sedangkan, Ibu dan Mbak Ratna hanya diam saja.

"Ada apa ini?"

"Mas ...."

Nayla langsung berlari ke arahku. Dia merangkul tanganku. Membuat Eva menatap sinis.

"Le-lepaskan."

Sengaja aku menghempaskan tangan Nayla. Takut Eva curiga. Nayla menatap tak percaya dengan perbuatanku. Air mata di pipinya makin deras.

"Ada hubungan apa Mas dengan pembantu itu?"

"Pembantu?"

Aku edarkan pandangan kepada Ibu dan Mbak Ratna. Mereka hanya membisu. Membalas dengan tatapan yang sulit diartikan. Tak ada yang mau menjelaskan. Kenapa Nayla dianggap sebagai pembantu? Ibu bilang, dia akan memperkenalkan Nayla sebagai sepupu Mas Hendri. Kenapa kenyataan di lapangan berbeda?

"Iya. Perempuan ini 'kan pembantunya Ibu. Kenapa dia pegang-pegang Mas kaya gitu. Kalian kaya udah deket lama. Mana pembantu ini kerjanya gak becus. Lihat nih, baju gamisku kena jus."

"Adi tidak dekat dengan Nayla, Nak. Mereka hanya pernah beberapa kali ketemu. Adi emang orang yang baik. Jadi, mudah akrab."

"Betul, Eva. Adikku 'kan orangnya ramah. Dia baik sama siapa aja. Termasuk sama pembantu," sambung Mbak Ratna menguatkan opini Ibu.

"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan."

"Saya bukan pem-"

Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   TAMAT

    "Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Hamil

    "Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Rani Siuman

    "Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Cinta Penuh Haru

    "Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Bertemu Ayah

    "Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Akad Nikah Gagal

    “Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Kekacauan Di Acara Pernikahan

    "Apa?""Maaf, Bos. Tiba-tiba semua orang di rumah ini pingsan, lalu saat kami memeriksa kamar bapak, kamarnya kosong.""Bodoh. Kenapa kalian sangat ceroboh!" sentakku emosi. Sialan. Siapa yang sudah menculik ayah. Berani-beraninya bermain-main denganku. Aku bingung harus bagaimana. Tak mungkin pulang. Besok acara akad nikah. Namun, jika tidak bisa ditemukan, Mas Gibran bisa curiga. "Tangkap Rani, dan Gilang. Kalau ini semua ulah mereka, sakiti saja mereka. Kalau tidak, cepat cari di mana pun keberadaan ayah. Kalau tidak, kamu tahu akibat.""Ba-baiklah, Bos."Sambungan telepon aku matikan dengan emosi membuncah. Aku banting ponsel ke kasur. Tidak jadi istirahat. Aku harus memikirkan cara untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Sampai jam menunjukan waktu dini hari, aku belum bisa tidur. Masih menunggu kabar tentang ayah. Para anak buah tak bisa diandalkan. Hanya menangkap Rani dan Mas Gilang saja butuh waktu berjam-jam. Tak mau terus dihantui rasa kesal, dan

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Persiapan Pernikahan

    POV Salwa"Mas, aku mau gaun pernikahan yang cantik, dan bunga melati asli," ujarku sangat bahagia saat ada di dalam mobil. Semakin hari, sikap Mas Gibran semakin manis saja. Dia mengajakku mencari keperluan untuk pernikahan. Sering-sering saja Mas Gibran dan Mbak Eva ribut. Agar aku punya kesempatan mendapatkan hati Mas Gibran sepenuhnya. "Iya, kamu pilih saja yang kamu mau.""Aku juga pengen kita tetap mengundang warga sekitar. Biar aku tetap diakui sebagai istrimu.""Soal itu tentu, Sal. Aku pasti mengundang warga sekitar sebagai saksi.""Bagus, Mas."Bibirku merekah bagai bunga mawar. Tak menyangka bisa ada di posisi ini. Aku pikir, dekat lagi dengan Mas Gibran hanya mimpi. Nyatanya, dia akan menjadi suamiku. Kami akan hidup bahagia. Memiliki anak-anak yang lucu. Lalu, Mbak Eva tinggal didepak sesuka hati.“Mas, aku mau makan di restoran terenak di daerah sini.”“Baiklah.”Setelah berkeliling mencari kebaya dan MUA yang bagus, aku ajak Mas Gibra. Ternyata cukup melelahkan juga m

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Eva Beraksi

    POV Eva "Aduh, kenapa perempuan itu sadar keberadaan cctv yang baru aku pasang kemarin?" tanya pada diri sendiri. Tadi, sekilas aku mendengar pembicaraan Mas Gibran dengan Salwa. Semua yang terjadi, merupakan hasil rekayasa antara aku dan Mas Gibran. Aku sengaja menyuruhnya pergi ke kota. Agar aku bisa memasang cctv dengan leluasa di rumah ini. Terutama di kamar Salwa, dan depan pintu kamarku. Video-video itu akan menjadi bukti akal bulus perempuan kegatelan itu. Semalam, aku pura-pura ribut dengan Mas Gibran. Sengaja, agar mempermudah mencari alasan untuk mempercepat acara pernikahan pura-pura antara Mas Gibran dan Salwa. "Aku mengajak Salwa keluar dulu, Sayang. Agar dia tidak curiga soal cctv di rumah ini.""Iya, Mas. Hati-hati. Buat dia terlena dengan rayanmu. Agar aku bisa dengan bebas menemukan banyak bukti untuk membongkar kejahatannya.""Siap, Sayang.""Oh, iya, barang bukti yang kamu temukan di pabrik, apa sudah diperiksa polisi?""Dalam proses penyelidikan Mas. Jepitan d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status