"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan."
"Saya bukan pem-"Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. "Ratna, bawa Nayla ke kamar.""Oke, Bu.""Ayok, Nay.""Tapi, Mbak, Bu ...." "Masuk!" bentak Ibu geram.Tak ada yang bisa membantah ucapan Ibu. Nayla yang awalnya nampak ingin membongkar pernikahan kami, tiba-tiba tak bisa berkutik. Mbak Ratna, dengan sigap menariknya masuk ke kamar. Sedangkan aku, hanya bisa mematung bagai seorang sapi yang dicucuk hidungnya. "Ibu pasti kesal juga yah, sama kelakuan pembantunya? sabar yah, Bu. Pembantu kadang suka gitu," ucap Eva dengan enteng.Dia malah duduk sambil meminum air putih. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Eva yang biasa aku kenal. Ada apa sebenarnya?"Istirahatlah, Eva. Kamu pasti capek. Soal Nayla, biar ibu yang urus."Aku yakin Ibu sebenarnya marah pada Eva. Namun tak ada yang berani melawan. Ibu maupun Mbak Ratna, selalu bersikap manis pada Eva. Meskipun, kenyataannya Eva hanya dimanfaatkan saja. Demi harta yang dimilikinya."Adi, jangan diam saja. Bawa Eva ke kamar kamu.""Ba-""Hello, semua."Suara cempreng adikku--Tiwi menggema. Dia anak paling susah diatur di keluarga ini. Lihat saja, jam segini baru pulang sekolah. Seragam putih abu masih melekat ditubuhnya. Padahal, sudah pukul 20.00."Eh, ada kakak ipar pertama. Udah ketemu kakak ipar kedua?" Adik rese, malah melontarkan pertanyaan yang menggiring opini kecurigaan pada Eva. Tanpa dosa, dia bertanya seenaknya, sambil duduk dan bersiap menyantap makanan."Kakak ipar kedua? maksud kamu apa, Wi?""Mbak Eva gak tahu? itu loh, Si Pela-"Prang!Ibu menjatuhkan gelas. Dia memasang ekspresi kaget. Padahal, aku tahu, ibu sengaja mengalihkan fokus kami, agar Tiwi tidak bicara aneh-aneh."Astagfirulloh, Ibu gak papa?""Gak papa, Eva. Kayanya Ibu kecapean. Lebih baik kamu istirahat.""Ibu saja yang istirahat. Biar Eva bereskan pecahan belingnya.""Gak usah Eva. Biar Tiwi nanti yang membereskan.""Tapi Bu A-""Adi cepat bawa Eva ke kamar.""Ba-baik, Bu. Ayok, Dek."Aku rangkul pundak Eva. Menariknya agar segera masuk kamar. Eva nampak tak suka. Dia pasti masih penasaran dengan perkataan Tiwi. Suasana rumah makin tidak kondusif. Beruntung, Ibu pintar mengontrol kondisi agar tetap stabil. "Ibu kenapa ya Mas?""Kenapa gimana Dek?""Ya aneh aja tiba-tiba jatuhin gelas.""Kecapean kali. 'Kan abis ngurus acara sunatan."Aku rebahkan tubuh di kasur. Meregangkan otot-otot kaki dan tangan. Hari ini sangat melelahkan. Lebih baik, istirahat dulu. Soal Eva dan Nayla bisa dipikirkan nanti. "Acara sunatan siapa?"Astaga, aku lupa mengontrol mulut. Akhirnya, bicara tanpa direm. Keluarlah, kata-kata yang bisa menambah kadar kecurigaan Eva."A-anu, Dek, acara sunatan anaknya temannya ibu. Katanya sih gitu, ibu bilang pas ditelpon.""Oh."Syukurlah Eva tidak memperpanjang pokok pembahasan. Lama-lama bisa gila jika terus dicecar pertanyaan yang aneh-aneh."Oh iya, Mas cepet banget pulang dari Lampunya. Perasaan Lampung jauh deh."Mataku yang awalnya mau menutup, seketika membuka kembali. Eva sudah menanti jawaban. Dia menatap serius ke arahku."Mas lupa ngabarin kamu. Patner bisnis Mas, jadinya mengadakan pertemuan dan perjanjian kerja di hotel daerah Jakarta pusat. Gak jadi di Lampung.""Emang bisa gitu yah?""Bisa toh, Dek. Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang penting bisnis kita lancar. Lebih baik, kita tidur Dek. Mas cape banget."Aku rebahkan kembali tubuh ini. Mencoba rileks, dan tak terpancing oleh pertanyan-pertanyan Eva. Jangan sampai, aku salah berbicara, dan salah mengambil tindakan. Bisa fatal akibatnya."Oh gitu.""Dek, kamu cantik banget deh."Aku baru menyadari, penampilan Eva agak sedikit berbeda. Wajahnya memang cukup glowing. Tapi saat ini, dia memakai make up tipis. Aura kecantikannya terpancar jelas. Apa aku yang baru menyadari? Perempuan desa, jika dipoles bedak, ternyata tak kalah cantik dengan perempuan-perempuan kota yang modis. Gamis dan kerudung yang digunakan Eva juga nampak serasi ditubuhnya. Tidak kucel seperti biasanya. Apa karena dia berpergian jauh? jadi penampilannya sedikit dipermak."Bisa saja, Mas. Aku masih seperti biasa."Eva mulai Menganti bajunya dengan pakaian tidur. Menampakan rambut panjang yang lurus dan hitam. Pesona Eva bagai kembang desa yang menggugah kumbang di taman. Aroma parfumnya harum semerbak. Tak seperti biasa. Membuat jiwa kelaki-lakianku terpacu untuk bertempur.Hampir satu jam, aku mencoba menutup mata. Namun, tak bisa. Pesona Eva menggangguku. "Dek ...," bisikku lembut tepat di telinganya. Eva tidur menyamping ke kanan. Tubuhnya membelakangiku. Sebelah tanganku merangkul pinggangnya."Dek ...."Tak ada jawaban. Apa Eva sudah tidur? "Dasar suami tukang selingkuh.""Dek, ka-kamu ngomong apa?"Aku duduk. Sambil menelan Saliva dalam-dalam. Kenapa Eva malah berkata seperti itu? apa dia sudah tahu kalau aku selingkuh? tamat sudah riwayatku. Tak bisa lagi bergaya dengan mobil dan fasilitas mewah lainnya."Pergi! tukang selingkuh!" Eva masih berteriak. Akan tetapi, posisinya tidak berubah. Dia masih membelakangiku. "Dek ... maafkan aku, Dek."Aku berjongkok menghadap Eva. Mengatupkan tangan sambil menutup mata. Entah bagaimana reaksi Eva. Aku sangat takut. "Dek ...."Eva tak menjawab. Dia juga sudah tak mengeluarkan kata-kata aneh. Aku beranikan diri membuka mata. Ternyata, Eva masih tertidur. Dia sama sekali belum bangun. "Dek ...."Aku goncang perlahan tubuhnya. Tak ada respon. Eva benar-benar tertidur pulas. Syukurlah, ternyata dia hanya mengigau. Kejadian seperti ini saja, cukup menegangkan. Membuat hidupku tak tenang. Bagaimana ini? sebenarnya aku ingin menceraikan Eva, agar terbebas dari rasa bersalah. Namun, aku masih membutuhkan hartanya. Apalagi keluargaku dan Nayla sangat boros. Jika hanya menjadi pegawai kantor, tak akan cukup memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka."Bu, pokoknya Nayla gak mau dianggap pembantu.""Sabar, Nak. Ibu akan pikirkan cara, agar Eva secepatnya menandatangani surat itu.""Bagus Bu. Biar Si Eva bisa cepat diceraikan. Aku tak Sudi punya adik ipar kaya dia. Sok banget, tuh anak kampung."Saat mau mengambil minum, aku mendengar percakapan antara ibu, Mbak Ratna, dan Nayla di kamar Ibu. Langkahku langsung terhenti. "Surat apa yang kalian maksud?" tanyaku heran. Mereka hanya diam. Kaget akan kehadiranku."Surat apa Bu? bilang sama Adi.""Surat sertifikat tanah perkebunan kopi sama pabrik milik Eva. Dua surat itu ada ditangan ibu. Kita harus segera mengalihkannya atas nama kamu, Di.""Ratna.""Sudahlah Bu, Adi juga harus tahu soal ini. Cepat atau lambat dia akan tahu. Karena Adi juga akan terlibat nantinya.""Apa? kenapa Ibu gak bilang apa-apa sama Adi?""Maaf, Nak. Ibu takut kamu tidak setuju. Ibu hanya ingin mengamankan harta Eva untukmu. Agar nantinya, kamu dan Nayla bisa hidup bahagia. Tanpa ada Eva sebagai orang ketiga.""Betul kata Ibu Mas. Semua untuk kebaikan kita."Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Posisiku serba salah. Tak pernah menyangka, ibu bisa senekat itu. Dia mengambil Sertifikat tanah tanpa sepengetahuanku. Kapan Ibu mengambilnya? kenapa dia bisa berpikir sejauh ini?POV Eva Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja. Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku. Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli. Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku. Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak b
POV Eva (cepat Bu, katakanlah!) "Gila. Mereka benar-benar gila." Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku. "Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu." "Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?" "Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?" "Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang." "Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu." Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan p
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi
Senyum merekah di wajah mereka. Seakan lega atas keputusanku. Mereka tidak tahu, semua ini bagian dari rencanaku. Rumah ini harus kosong, agar Gibran leluasa menjalankan rencana kami. Biarkan Nayla ikut. Di mana pun tempatnya, dia akan tetap aku perlakukan sebagai pembantu. "Wih, Asik banget kita bakal jalan-jalan sekeluarga. Bisa makan di restoran mewah. Pulangnya mampir ke mal. Iya Gak Va? nanti kamu Mbak ajak ke tempat barang-barang brended, biar makin modis." "Boleh, Mbak." "Makasih ya, Dek." Mas Adi mulai melembut kembali. Dia tersenyum bahagia. Sambil mengusap lembut tanganku. Tentunya dia gembira, karena aku mengajak semua keluarga bahkan gundiknya untuk jalan-jalan. Pasti mereka berpikir, aku rela menghamburkan uang untuk membiayai gengsi mereka. Dulu mungkin demikian. Sekarang, tentu tidak. Aku akan memberikan pelajaran berharga untuk semua keluarga Mas Adi. Agar mereka sadar, bahwa selama ini, hartaku ikut andil memberikan kebahagian kepada mereka. Jam menunjukan puk
"Eva ...." Aku cari Eva ke segala Penjuru. Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB, tapi dia sudah tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Aku bahkan merasa asing kepada istriku sendiri. Baru pertama kali juga, dia berani melawanku dan memutuskan pisah ranjang. Ada apa sebenarnya? apa Eva sudah mengetahui perselingkuhanku? tapi tidak mungkin. "Nyari siapa Mas?" "Eva, Nay. Kemana dia?" "Gak tahu," jawab Nayla cuek. Raut wajahnya berubah karena ucapanku. "Nay, maafkan sikap Eva, yah. Mas janji, akan segera mengajak dia pulang ke Jawa. Biar kamu gak diperlakukan semena-mena lagi, sama Eva." "Gak usah. Mas emang gak pernah adil sama aku." "Bukan gitu, Nay. Kamu 'kan tahu posisiku. Bahaya kalau Eva tahu hubungan kita, sebelum hartanya dikuasai." "Mangkanya cepat kuasai harta Eva, Mas. Toh, sertifikat sudah ada di tangan kita. Tinggal alihkan atas nama kamu." "Gimana cara minta tanda tangannya Nay? kalau Eva menyadari perbuatan kita, bisa masuk penjara." "Pake cara halus."
Ibu membelalak kaget. Dia langsung memegang dada bagian kiri. Meremas baju, dan meringis menahan sakit. "Bu, kenapa Bu?" Mbak Ratna yang ada di samping Ibu langsung menyanggah tubuhnya yang hampir roboh. Beruntung Mbak Ratna sigap memegangi. Jika tidak, kepala Ibu sudah menyenggol tembok. "Dada, Ibu sakit." "Kita ke rumah sakit aja, Bu. Pasti jantung ibu kumat lagi." "Ti-tidak. Antar ibu ke kamar, dan Suruh Nayla ambilkan obat Ibu." Aku memapah ibu masuk ke kamar. Kami sangat panik dengan kondisi Ibu. Namun, tidak dengan Eva. Ekspresinya sangat santai. Bahkan, dia belum menyusul kami ke kamar. "Mas, Ibu kenapa bisa gini?" Nayla datang karena di panggil Mbak Ratna. Wajahnya panik. Kami semua tak tega melihat kondisi ibu yang mulai memucat. Giginya merapat menahan sakit. "Gak tau, Nay. Buruan kasih Ibu obat." Tanpa banyak tanya lagi, Nayla membuka salah satu laci dan mengeluarkan obat. "Biar Mbak ambilin air minumnya." Dengan sigap Mbak Ratna keluar kamar mengambil minum. H
Semilir angin pagi, berhembus sejuk. Terasa dari lapisan kulit terluar, lalu menusuk ke rongga-rongga hati. Memberi hawa dingin yang menyegarkan. Namun, tidak dengan hatiku dan keluarga. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, begitu pula dengan Ibu dan Mbak Ratna. Pagi ini rasanya sangat menegangkan. Keringat dingin mengucur. Menantikan momen-momen yang paling tidak diharapkan. "Bu, bagaimana ini?" tanya Mbak Ratna saat aku menemuinya di kamar Ibu. "Ibu tidak tahu harus apa." "Tenang, Bu, Mbak. Adi yakin, keluarga besar kita tidak akan ada yang datang. Bukankah Mbak Ratna sudah membuang surat undangnya?" "Iya sih, Udah. Tapi kenapa perasaan Mbak gak enak, yah? sikap si Eva bener-bener mencurigakan. Pertama, dia memperlakukan Nayla kaya pembantu. Padahal, setau Mbak, Si Eva bukan orang yang julid kaya gitu. Kedua, dia sering pergi sendiri. Ketiga, semalam, Si Eva seakan udah tahu rencana kita. Dia kaya sengaja bawa Lik Sumi dan yang lainnya untuk ke sini, biar rencana kita gagal. Mb