Share

POV Eva

Author: Sriayu23
last update Last Updated: 2022-08-26 13:36:01

POV Eva

Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja.

Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku. 

Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli. 

Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku.  Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak butuh mereka melupakanku. Bahkan tak menganggapku. 

Fakta itu, aku dapatkan dari kejadian tiga bulan lalu. Saat ulang tahun ibu mertuaku. 

"Dek, Mas izin ke Jakarta dulu yah. Ada urusan bisnis."

Aku selalu percaya dengan alasan Mas Adi setiap pergi ke luar kota. Namun, saat itu ada fakta mengejutkan. Satu hari setelah  kepergian  Mas Adi, aku melihat postingan Mbak Ratna di fecebook.

"Eva, ini suamimu sama keluarganya 'kan?" tanya Lala, sahabatku.

Sore itu, Lala yang sedang pulang kampung  menemuiku di perkebunan kopi. Dia menunjukan sebuah postingan yang sangat menohok hati.

"Iya ini Mas Adi dan keluarganya. Tapi, siapa perempuan itu?"

Aku menunjuk  seorang perempuan berkulit putih, dengan baju selutut. Dia ada di samping Mas Adi. Perempuan itu menggandengnya. Memancarkan senyum bahagia berada di tengah-tengah keluarga suamiku.

"Mana aku tahu. Baca deh captionnya."

[Selamat ulang tahun Ibuku tercinta. Sehat selalu dan panjang umur. Akhirnya, formasi keluarga lengkap di hari ultah ibu.]

"Masa kamu gak diajak sih?"

"En-engak, La."

"Gila tuh si Adi. Kamu harus selidikin ini, Va. Pasti ada alasan kenapa kamu gak dikasih tahu acara keluarga mereka.Kaya gak dianggap, loh. Terus, perempuan itu, siapa coba?"

"Aku tidak tahu, La. Mungkin Mas Adi lupa ngasih tahu tentang acara ultah ibunya. Soal perempuan itu, mungkin saudara jauh Ibu."

Aku berusaha menutupi rasa cemas di depan Lala. Bagaimanapun Mas Adi adalah suamiku. Sudah sepatutnya aib dan masalah rumah tangga aku simpan rapat. 

"Eva, jangan bodoh dong jadi cewek. Kamu harus selidiki tentang keluarga suamimu dan juga cewek itu. Pasti ada yang gak beres."

Aku hanya terdiam. Jujur, rasa penasaran dan insting sebagai seorang istri sangat kuat. Hati kecilku mengatakan, bahwa suamiku dan keluarganya menyimpan rahasia besar di belakangku.

"Kamu tenang ajah, La. Aku akan cari tahu. Kamu tentu tahu karakterku."

"Aku percaya sama kamu, Eva. Meskipun keliatan lugu, tapi kamu perempuan berani dan tegas mengambil keputusan."

Setelah pembicaraan kami, aku putuskan untuk segera pulang dari perkebunan kopi. Mulai memikirkan langkah apa yang harus dilakukan. 

Selama ini, sikapku memang tak pernah membantah ataupun curiga yang berlebihan pada suami. Namun, jika sudah ada hal yang janggal, maka aku tidak akan diam saja.

Sebagai perempuan kita memang ditakdirkan menjadi makhluk yang lebih sering menggunakan perasaan. Berhati lembut. Namun, percayalah perempuan bukan makhluk yang rapuh. Dia bisa berbuat apapun ketika cinta tulusnya sudah  tidak dihargai.

"Mau pergi ke mana, Ndok?"

"Eva mau ke rumah saudaranya Mas Adi, Lik."

"Apa kamu yakin, saudaranya Adi bisa menjawab kecurigaanmu, Ndok?"

"Insyalloh, Lik. Gusti Allah maha adil. Pasti menunjukan kebenaran."

"Bismillah, Ndok. Hati-hati, yah."

Aku hanya mengangguk. Lalu, memeluk Lik Janah. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri. Lik Janah sangat memahami posisiku saat ini. Kondisi penuh dengan banyak pertanyaan. Tidak ingin gegabah memilih Langkah. Kecuali sudah mendapatkan bukti kuat tentang kemungkinan buruk yang aku khawatirkan.

Tujuan utamaku adalah rumah Lik Sumi. Adik Perempuan dari Bapak Mertuaku. Aku yakin, dia bisa membantu. Meskipun, Lik Sumi masih termasuk salah satu keluarga Mas Adi, tapi aku yakin, dia tidak sama seperti mereka. Selama ini, Lik Sumi yang selalu memberi nasihat tentang rumah tanggaku. Dia juga yang paling peduli. Semoga saja, ekspektasiku tentangnya tidak meleset.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Eva. Ayok, masuk Ndo."

"Eva, Lilik kaget saat kamu bilang mau mampir ke rumah Lilik."

"Maaf Lik, kasih taunya mendadak."

"Ndak papa. Lilik buatin minum dulu, yah." 

Aku hanya mengangguk. Meremas baju karena gugup. Semoga saja, Lik sumi bisa memberitahu informasi penting untukku. Semoga dia ada dipihakku. Tak ada lagi yang bisa aku mintai pertolongan. Mas Adi tak pernah mengenalkanku  kepada saudaranya yang lain, kecuali Lik Sumi. Tak mungkin mencari info dari Kakak atau Adiknya Mas Adi. 

"Lik, Sebenernya, Eva mau menanyakan sesuatu."

Lik Sumi meletakan gelas berisi teh manis di atas meja. Wajahnya semringah. Seperti orang yang baru berjumpa dengan kerabat dekat. Apakah dia tulus? atau hanya pura-pura?

"Tentang apa, Ndo?"

"Apa Mas Adi ada di rumah Ibunya?"

"Adi? maksudnya gimana, Ndo?"

"Apa Lilik tahu kalau Mas Adi datang ke acara ulangtahun Ibunya tanpa memberitahuku?"

"Soal itu ...."

Lik Sumi nampak Iba menatapku. Wajahnya berubah murung. Aku yakin, dia tahu sesuatu. Rasa tak enak hati, terpancar jelas pada irasnya.

"Eva yakin Lik Sumi orang yang baik dan jujur. Sama seperti almarhum bapak mertua."

Lik Sumi hanya diam. Lalu, menuduk. Entah apa yang ada sedang dia pikirkan.

"Assalamualaikum."

Seorang pria berperawakan atletis tiba-tiba masuk ke rumah. Nampaknya, dia anak Lik Sumi yang pernah diceritakannya. Wajahnya hampir mirip. Berkulit sawo matang. Berhidung mancung bak artis India.

"Gibran."

"Dia anak Lik  Sumi?"

"Iya, Ndo. Gibran kenalkan dia Eva."

"Gibran."

"Aku Eva. Istrinya Mas Adi."

"Istrinya Adi?" 

Pria itu sangat sok. Kami memang baru pertama kali bertemu. Saat pernikahanku, memang tak dihadiri banyak saudara dari pihak Mas Adi. Hanya ramai dari pihakku saja. 

"Iya. Aku istrinya Mas Adi. Apa Lik Sumi gak pernah cerita?"

Gibran menggeleng. Kami saling menatap heran. Kemudian,memandang Lik Sumi meminta jawaban.

"Apa benar Bu?"

"Iya, Nang. Dia istri pertamanya Adi."

"Apa Maksud Lilik?" 

"Pangampurane Eva. Lilik, akeh dosa Karo koe."

(Maaf Eva. Bibi, banyak dosa sama kamu)

Lik Sumi menangis di sampingku. Dia memelukku sambil terus meminta maaf. Kemudian, dia ceritakan semuanya tentang kebusukan Mas Adi dan keluarganya.

Membuka tabir kebenaran tentang pengkhianatan yang dilakukan suamiku. Yang paling menyakitkan, aku yang selalu diandalkan masalah keuangan, tapi Nayla, Gundik suamiku yang lebih dibanggakan. Bahkan, diakui sebagai istri pertama dan satu-satunya.

Hari itu, nyawa seakan lepas dari raga. Tubuhku membeku. Lidah Kelu tak bisa mengucap apa-apa. Semua penjelasan Lik Sumi, bagai letusan gunung Merapi yang menghanguskan jiwa dan ragaku. Lahar panas, seakan mengguyur tubuh ini.

"Edan! kita harus beri pelajaran si Adi dan keluarganya itu."

"Aku harus pergi."

"Jangan Ndo, jangan."

Lik Sumi menahanku untuk pergi. Padahal, aku ingin sekali mengamuk di rumah ibunya Mas Adi. Mengeluarkan sakit hati yang kurasa. Teganya mereka hanya memanfaatkanku sebagai mesin pencetak uang. 

"Biarkan dia pergi, Bu. Kalau perlu kita juga ikut. Si Adi itu sudah keterlaluan."

"Kita tidak bisa melakukan seperti itu, Gibran."

"Kenapa Lik? Kenapa?" Aku mengguncang tubuh Lik Sumi. Mengeluarkan semua air mata kepedihan.

"Sertifikat perkebunan kopi dan pabrik milikmu ada di tangan mereka. Kita tidak bisa gegabah. Aku sangat kenal Mbak Maria. Dia itu berbahaya dan berbahaya."

Aku hanya bisa terduduk lemas. Tak menyangka mereka begitu keji. Bagaimana sertifikat tanah perkebunan dan pabrik ada di tangan mereka? Beraninya mengambil milikku dengan cara yang licin. Aku tak akan tinggal diam! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
Alhamdulillah ghibran dan ibunyaendukung eva
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   TAMAT

    "Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Hamil

    "Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Rani Siuman

    "Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Cinta Penuh Haru

    "Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Bertemu Ayah

    "Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Akad Nikah Gagal

    “Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status