Share

Bab 8

Author: Nisa Khair
last update Huling Na-update: 2022-07-21 23:51:21

Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.

Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang.  Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?

"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?"

"Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja."

"Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."

Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi.

"Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot yang kunaiki hingga aku turun di depan pintu gerbang.

"Dek Husna, tunggu dulu!"

Urung aku melangkah menuju halaman pabrik tempatku bekerja. Terengah-engah ia saat sampai di hadapanku. Baru kuperhatikan bahwa ia makin kurus, baru juga satu Minggu nggak ketemu, pipinya kian tirus, wajahnya juga terlihat pucat. Apakah dia sakit?

"Ada apa, Mas?"

"Mas ... Mas kangen, Dek. Kenapa Mas telepon nggak diangkat, pesan Mas nggak kamu balas? Mas nggak kuat menanggung rindu, Dek."

Ya Allah, Mas Fikri ini sadar nggak ya, saat bicara seperti itu? Apa dia tidak berpikir kalau ini tempat umum, banyak karyawan yang berdatangan juga, kenapa tak ia hiraukan?

"Astaghfirullah ... Istighfar Mas. Husna minta maaf, ya, karena Husna mengabaikan panggilan telepon dan pesan dari Mas Fikri. Husna hanya sedang menata hati untuk membuka lembaran baru. Husna harap Mas Fikri juga demikian. Maaf, Husna harus masuk kerja, assalamu'alaikum."

Gegas aku ayunkan kaki ini memasuki area pabrik tempatku bekerja. Tak kuhiraukan lagi suara panggilan dari Mas Fikri di luar sana. Tak kuhiraukan juga pandangan aneh dari teman-teman yang kebetulan bersamaan masuk. Bisik-bisik mulai terdengar, lagi.

Pagi-pagi sudah bikin drama saja kamu, Mas. Kumasukkan tas ke dalam loker, kemudian masuk ke dalam ruanganku.

"Husna!"

Sebuah panggilan menghentikan langkahku. Urung aku menyerahkan bobot tubuh di kursi kerja.

"Iya, saya. Eh, maaf, Bu Lia, ada apa, ya?

"Husna, saya minta laporan data produksi bulan ini, ya? Sebelum jam sepuluh, bisa?"

"Bisa, Bu."

"Sip. Makasih, ya. Nanti kalau sudah siap, tolong antar. Saya balik ke sana dulu."

"Oke, Bu Lia."

"Oiya, nanti kamu ikut ya, ada rapat kecil di ruang biasa."

"Okesiap."

Bu Lia segera menghilang di balik pintu. Giliran aku melaksanakan titah.

"Bismillah, kerja, fokus Husna," ujarku seorang diri.

Kunyalakan layar monitor, kemudian mengumpulkan data-data yang dipinta. Tak sampai satu jam semua sudah siap dicetak. Tak mau menunda lagi, segera kuantar ke ruangan Bu Lia. 

Tak hanya Bu Lia yang ada di ruangannya, tapi beberapa atasan nampaknya sedang berkumpul di sana. 

"Maaf, Bu Lia, ini laporan yang Ibu pinta, sudah saya siapkan."

"Bagus, terima kasih, ya. Nah, ini dia orangnya, Pak."

Aku tak mengerti, kenapa dari nada bicara Bu Lia, seakan kedatanganku sudah ditunggu?

"Husna, sini duduk. Ada yang mau bicara sama kamu."

Kuikuti instruksi Bu Lia. Duduk di sebuah kursi yang ia tunjuk. Duh, ada apa, ya? Mana ada Pak Hanan lagi di sini. Manager baru yang belakangan jadi bahan perbincangan anak produksi.

"Kamu, yang bernama Husna?"

"Iya, benar, Pak."

Aduh, ini kenapa jadi kayak duduk di kursi panas ya, rasanya dag dig dug nggak karuan.

"Kamu, belakangan ini kurang fokus, ya?"

"Eh, itu, maaf, Pak … ."

"Saya suka lihat itu, karyawan lagi apa, dari CCTV. Yang ini, kamu bukan?"

Sebuah video diputar di layar besar di ruangan Bu Lia. Memperlihatkan aku yang lagi memegang dagu, sambil corat-coret kertas. Aduh, itu kan, kemarin waktu lagi galau-galaunya, iseng-iseng coretin kertas nganggur.

"Ingat nggak kamu, lagi ngapain itu?"

"Eh, itu, lagi, bikin gambar, Pak."

"Gambar apa? Bisa nggambar kamu?"

"Bisa sedikit, Pak. Maaf, kalau saya … ."

"Coba saya mau lihat. Masih ada, gambarnya?"

"Masih, Pak."

"Boleh saya lihat?"

"Ha?"

"Saya tunggu."

"Baik, Pak. Maaf, saya permisi dulu."

"Ya, jangan lama-lama."

Setengah berlari aku kembali ke ruanganku. Bakal dihukum kayaknya ini. Siapa suruh iseng di jam kerja. Husna … Husna … . Tak henti merutuki diri sendiri hingga aku kembali ke ruang Bu Lia.

"Maaf, Pak. Ini gambar saya kemarin."

Takut-takut kuserahkan gambar itu. Nggak banyak kok, cuma lima lembar. Duh, maaf ya, Pak. Kalau dihukum ya terima ajalah, salah sendiri waktu kerja malah corat-coret.

"Oke, ayo duduk," ujar Pak Hanan setelah kertas-kertas itu berpindah tangan. Ia perhatikan satu persatu kertas berisi coretan tanganku. "Serius ini gambar kamu?"

"Iya, Pak."

"Bagus! Saya suka!"

Aku mendongakkan kepala. Ingin memastikan sekali lagi kalau aku tak salah dengar. Pak Hanan suka gambarku? Itu kan cuma … .

.

Kebiasaan corat-coret kertas, menjadi hobi yang sudah sejak lama kulakukan. Waktu masih duduk di bangku sekolah, buku tulisku hampir penuh dengan bermacam gambar. Mulai gambar bunga hingga kartun kesayangan.

Terlebih lagi, kalau aku kurang berminat dengan mata pelajaran yang disampaikan. Duduk di bangku belakang, membuatku merasa aman menjalankan aksiku. Teman sebangku juga sama, jadi kompak berdua. Daripada ngantuk di kelas, mendingan orat-oret. Kadang ada juga guru yang negur, kalau ketahuan.

Iseng saja bikin gambar lalu dikasih keterangan. Pura-puranya bikin komik ala-ala. Kadang tertawa sama hasil tangan sendiri. Hal ini berlanjut sampai aku kerja. Kalau lagi bosan, tanganku nggak bisa diam, terlebih kalau lihat kertas kosong. Kalau lagi galau apalagi, bisa berlembar-lembar kertas dihabiskan. Ya, meski sering dibuang juga kalau gambarnya terlihat aneh.

.

Si Fikri masih belum move on rupanya.

Husna punya peluang baru ya, Kak? Atau jangan-jangan, Pak Hanan ada hati sama Husna, nih?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Wah Husna pinter gambar
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status