Share

Bab 7

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-21 23:35:32

"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.

Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. 

"Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."

Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba.

.

Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. 

"Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.

Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini.

"Husna, ada yang nyari kamu di depan."

Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara.

"Siapa, Bu?"

"Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang namanya Husna."

Kuikuti langkah Ibu menuju ke depan setelah berpamitan pada Ayah.

"Husna yang lain kali, Bu. Anaknya Pakdhe Mulyo kan Husna juga namanya?" ujarku perlahan.

"Coba temui dulu, nanti kalau bukan Husna kamu, kita antar beliau ke rumah Pakdhe kamu."

Aku mengangguk setuju. Tertegun aku saat sampai di teras. Seorang perempuan dengan memakai gamis merah marun dan jilbab senada, duduk di kursi dekat pintu. Memperhatikan beberapa saat, rasanya pernah melihat wajah itu, tapi di mana? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Berusaha mengingat, tapi nihil.

"Ibu, kenapa nggak disuruh masuk?" tanyaku dengan berbisik.

"Udah, orangnya nggak mau," jawab ibu berbisik juga.

"Nah, ini Husna, kan?" ujarnya begitu menyadari kehadiran kami berdua.

"Iya, Bu, benar saya Husna. Mari masuk dulu, Bu."

"Terima kasih, tapi di sini saja, saya sebentar saja kok."

"Baiklah, tapi maaf, ibu ini siapa ya, dan ada perlu apa?" tanyaku, kemudian duduk di sampingnya, diikuti oleh Ibu.

"Nama saya Wulandari. Panggil saja Ndari. Saya cuma mau ngasih kelapa, kebetulan sedang panen. Anggap saja ucapan terima kasih, karena Nak Husna pernah menolong saya waktu jatuh dari motor."

Aku dan ibu saling berpandangan. Ibu mengedikkan bahu. Sedangkan pikiranku traveling ke mana-mana, mencoba mengingat kejadian yang disebutkan. Seperti mengerti kalau aku tak kunjung ingat, beliau kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Kejadiannya sudah lama, motor saya terpeleset di perempatan pasar, dan Nak Husna membantu saya hingga saya bisa pulang. Untung saja saya sempat bertanya nama dan tempat tinggal Nak Husna. Saya sudah bertanya ke sana ke mari, alhamdulilah akhirnya ketemu juga."

Ah iya, baru teringat, waktu itu aku sedang ke luar untuk makan siang bersama Sinta. Melihat ada ibu-ibu yang jatuh di tengah jalan, kuminta Sinta berhenti. Berdua kami membantu ibu tersebut. Motornya akhirnya dibawa ke bengkel, sedangkan ibu tersebut kuantar ke klinik terdekat karena ada luka di kepalanya. Setelah memastikan kalau ada keluarganya yang menjemput, kemudian aku pamit karena jam istirahat segera habis.

Aku rasa orang lain juga akan melakukan hal sama jika berada di posisiku. Aku bahkan sudah lupa kejadian itu.

"Terima kasih banyak, ya, Nak Husna. Tolong diterima ya, pemberian ibu yang tak seberapa."

Ibu tersebut menyeret karung berisi kelapa dibantu seorang lelaki dewasa. Beberapa menyembul ke atas saking penuhnya. Mau ditolak juga nggak enak, mau diterima tapi banyak sekali. Beliau akhirnya pamit pulang setelah memastikan karung berisi kelapa itu berada di teras rumah ibu. Sebuah alamat diberikan, meminta aku datang berkunjung jika senggang.

"Rejeki anak sholehah ini namanya," ujar Ibu saat becak yang dinaiki Bu Ndari tak terlihat lagi.

"Hehe, alhamdulillah, ya, Bu."

"Terus mau kita apakan kelapa sebanyak ini, Bu?"

"Na! Husna!"

Belum sempat ibu menjawab, Lek Darmi, tetangga samping rumah ibu, datang dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Lek?" tanyaku dan ibu bersamaan.

"Tamu dari mana tadi? Itu kelapa sekarung mau buat apa? Nggak jadi mantu to, ngapain beli kelapa banyak-banyak?"

"Ih, kepo amat jadi orang," sahut ibu.

"Ya kalau jadi mantu kan lumayan ini kelapa bisa dibuat masak, dibikin macam-macam penganan buat suguhan. Lha nggak jadi kok, borong kelapa, mau buat apa coba?"

Aku terdiam. Kabar itu rupanya sudah beredar. Apalagi Lek Darmi ini, sudah seperti CCTV kampung. Kalau dapat kabar sedikit saja, sudah bisa dipastikan kalau dalam beberapa menit sudah tersebar.

"Lek Darmi mau?" tanyaku akhirnya.

"Mau banget. Apalagi kalau gratis," jawabnya sambil nyengir.

"Ya sudah, ambil dua buat Lek Darmi. Ini kalau buat sendiri juga nggak habis."

"Wah, terima kasih Husna. Kamu memang baik. Sayang nggak laku-laku. Udah mau nikah malah batal."

"Eh, Darmi, ngomong apa tadi?"

"Enggak, cuma mau bilang, nggak usah sok batalin nikah, entar kalo yang Sono nggak terima bisa-bisa disantet tuh, kayak siapa itu yang dulu sampe meninggal gara-gara balikin lamaran."

"Sudah-sudah, sana pulang, malah ngomong aneh-aneh kamu!"

"Itu kelapanya gimana?"

"Iya, sana bawa pulang!"

"Iya-iya, galak amat. Makasih ya, Husna, kelapanya. Jagain itu emaknya biar nggak ngamuk."

"Darmi!"

Lek Darmi segera menggendong dua buah kelapa dengan kedua tangannya.

"Husna ... Husna ... , sudah bagus kamu jadi mantunya si Sapto, pake dibatalkan segala. Mau cari suami kayak gimana lagi? Lihat itu Fikri, nggak jelek-jelek amat wajahnya. Anaknya juga baik nggak neko-neko."

Masih kudengar dengan jelas meski Lek Darmi berkata sambil berjalan ke arah pulang. Lek Darmi menghilang dengan cepat di balik pintu rumahnya.

"Bu, emang ada yang pernah balikin lamaran terus disantet? Siapa, Bu?"

"Sudah, nggak usah dipikirin omongan Darmi. Suka asal itu kalau ngomong."

"Oh, gitu, baiklah."

"Panggil Ayahmu, Na, minta tolong ini bawa masuk."

"Baik, Bu. Husna juga mau siap-siap berangkat kerja."

Ah, aku jadi kepikiran juga meski ibu menolak memberitahu.

.

Lek Darmi sinyalnya kuat juga ya, ternyata.

Wah, ada apa, nih, di balik kiriman kelapa yang sangat banyak? Adakah maksud dan tujuan tertentu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ya ampun itu orang niat banget ngasih kelapa nya mungkin karena denger Husna mau menikah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 4

    Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 3

    Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 2

    Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Ekstra Part 1

    POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 166 (Ending)

    Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 165

    Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 164

    "Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 163

    Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu

  • Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku   Bab 162

    "Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status