“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mas?”
Andini melipat tangan di depan dada, menatap suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki.Matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Niko, mencoba menebak apa yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Sesuatu jelas mengganggu pikirannya, membuat laki-laki itu terlihat lebih gelisah dari biasanya.Niko, yang sudah mengenakan jaket jeans kesayangannya, hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Matanya bergerak ke sana kemari, menghindari tatapan tajam Andini. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar sedikit saat mencoba merespons.“Eh... nggak, nggak ada apa-apa,” jawab Niko dengan suara bergetar.Matanya sesekali melirik ke arah pintu depan, seolah ingin segera keluar dari percakapan yang mulai membuatnya tak nyaman tersebut.Andini tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada tanda kasih sayang.Ia tahu betul Niko sedang menyembunyikan sesuatu. Hatinya masih bergemuruh, tering“Iya, Sayang. Tapi kan Mas juga pengen nyobain mobil baru kamu.”“Itu mobil, Mas! Bukan seblak yang bisa kamu cobain seenaknya,” jawab Andini datar. “Lagian mobil itu sudah aku kembalikan ke dealer. Emang kamu lihat mobil itu ada di garasi?” imbuh Andini. “Kenapa? Kok dikembalikan?” Niko langsung melempar pertanyaan pada sang istri. Alisnya bertaut sempurna, membentuk garis perempatan di tengahnya. Niko menatap Andini dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan, kedua tangannya terlipat di depan dada, jelas tidak setuju dengan ide istrinya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud di balik kata-kata Andini yang terdengar aneh. Bagaimana mungkin, mobil yang sudah dibeli, dikembalikan ke dealer. Andini menghela napas panjang, berusaha menahan rasa jengkel yang mulai merambat ke dadanya. Sudah berkali-kali mereka memperdebatkan hal sepele seperti ini, tapi Niko selalu berusaha menghindar. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan
“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mas?”Andini melipat tangan di depan dada, menatap suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Matanya memperhatikan setiap gerak-gerik Niko, mencoba menebak apa yang sedang disembunyikan laki-laki itu. Sesuatu jelas mengganggu pikirannya, membuat laki-laki itu terlihat lebih gelisah dari biasanya.Niko, yang sudah mengenakan jaket jeans kesayangannya, hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Matanya bergerak ke sana kemari, menghindari tatapan tajam Andini. Wajahnya memucat, bibirnya bergetar sedikit saat mencoba merespons.“Eh... nggak, nggak ada apa-apa,” jawab Niko dengan suara bergetar. Matanya sesekali melirik ke arah pintu depan, seolah ingin segera keluar dari percakapan yang mulai membuatnya tak nyaman tersebut.Andini tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada tanda kasih sayang. Ia tahu betul Niko sedang menyembunyikan sesuatu. Hatinya masih bergemuruh, tering
“Entahlah, sekarang aku justru merasa jijik denganmu, Mas,” gumam Andini lirih. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar, mencoba mengusir bayangan tentang suaminya, Niko, yang entah sudah berapa kali berbagi canda tawa, sentuhan, atau bahkan pelukan dengan wanita lain. Berbagi kehangatan yang seharusnya hanya miliknya. Hati wanita itu terasa remuk, namun Andini berusaha untuk tetap tenang, meski di dalam dadanya ada bara yang siap meledak kapan saja.Pintu kamar berderit pelan, memecah keheningan. Andini mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang perlahan terbuka. Aroma parfum khas Niko menguar, menandakan bahwa suaminya sudah bersiap untuk pergi. Niko muncul dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku dan celana panjang hitam, rapi seperti biasa.“Sayang, kamu di dalam terus? Nggak mau turun makan dulu?” tanya Niko sambil menyandarkan tubuhnya di kusen pintu. Senyumnya tipis, tapi Andini tahu, ada sesuatu yang disembunyi
“Kalaupun mau dihitung, apa yang aku berikan tentu tidak sedikit kan, Mas?” jawabnya akhirnya, suaranya rendah namun penuh penekanan, seolah menantang Niko untuk menyangkal.Suasana di antara mereka mendadak sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan di sudut ruangan.“Jadi, maksudmu selama ini kamu nggak ikhlas, iya?!”Nada suara Niko tiba-tiba meninggi, penuh protes dan ketidakpercayaan. Matanya menatap tajam ke arah Andini, yang duduk di sofa ruang tengah rumah mereka dengan ekspresi datar, tangannya terlipat di depan dada. Ruangan yang biasanya penuh kehangatan mendadak terasa dingin, seolah ketegangan mereka menyerap semua kehangatan yang pernah ada.Andini mendongak, menatap suaminya dengan pandangan kosong. Tidak ada lagi kelembutan di mata wanita itu. Yang ada hanya kehampaan, seperti cermin yang memantulkan rasa kecewa, yang telah lama ia pendam.“Apa aku pernah bilang kalau aku nggak ikhlas?” balas An
“Sayang… bisa tolong buatkan aku kopi?” “Sebentar!” teriak Andini dari arah dapur membalas permintaan sang suami. Niko menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa ruang tengah. Ia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, berharap rasa pegal di lehernya bisa segera sirna. “Kamu baru pulang juga?” tanya laki-laki itu saat Andini datang membawa secangkir kopi lengkap dengan sepiring pisang goreng. “Menurut kamu?” jawab Andini m dengan celemek yang masih menempel di tubuh. Bulir keringat terlihat jelas menghias wajah dan leher wanita berambut panjang tersebut. “Habis ini kamu mandi ya,” ucap Niko yang kemudian menyeruput kopi miliknya. Sementara Andini justru menghentikan gerakan tubuhnya, kala mendengar ucapan sang suami. “Iyalah aku mandi. Masa nggak mandi. Gerah kali,” jawab Andini. Namun rupanya, apa yang dimaksud oleh Niko berbeda dengan Andini. Meski wanita itu sudah bisa menebaknya. “Bukan begitu, habis mandi, aku mau ajak kamu ke rumah Ibu. Sekalian nyobain mobil baru kamu kan,”
“Lebih baik Ibu telpon Mas Niko dulu, deh.”“Setidaknya, kalau Mbak Andin nggak kasih. Kita bisa minta lewat Mas Niko,” ucap Rere menambahkan. Gadis itu memang sudah tidak sabar ingin flexing di depan teman SMA nya yang dulu sering memandang rendah pada dirinya. ‘Aku harus bisa bawa mobil baru milik Mbak Andin, bagaimanapun caranya!’ batin Rere dengan senyum menyeringai. “Betul juga katamu, Re!” timpal Rukmini, kemudian mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Satu kali… panggilannya masih belum tersambung. Dua kali… Bahkan hingga tiga kali. Panggilan teleponnya masih belum tersambung juga. “Kemana sih anak ini?” gerutu Rukmini, matanya menatap layar ponsel yang tak kunjung menunjukkan tanda panggilan terjawab. Wanita paruh baya itu terus mencoba menghubungi Niko, anak laki-lakinya, tapi hasilnya nihil. “Kalau memang kerja, tapi ini sudah jam pulang. Masa iya dia masih kerja dan tak bisa me
Sementara di tempat lain… “Apa kata Andini, Re?” tanya Bu Rukmini, suaranya nyaring dan penuh tuntutan. Wanita paruh baya itu menatap putrinya dengan mata tajam, seolah menuntut jawaban yang tak bisa ditunda.Rere menggigit bibirnya, matanya beralih ke lantai, jari-jarinya meremas ujung kain kaosnya dengan gelisah. Gadis itu tahu, ibunya tak akan senang mendengar jawaban darinya nanti. Namun, ia juga tak bisa berbohong.“Re!” bentak Rukmini lagi, suaranya semakin keras.“Mbak Andin bilang… katanya nanti ngomong dulu sama Mas Niko, Bu,” jawab Rere pada akhirnya, suaranya terdengar ragu, takut akan reaksi yang mungkin muncul.Dan benar saja, seketika wajah Bu Rukmini berubah merah. Wanita itu bangkit dari duduknya, tangan kiri bertolak pinggang, sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk udara, seakan ingin melemparkan kekesalannya ke seluruh penjuru rumah.“APA?!” serunya keras, membuat Rere sedikit meringis.“Gila kali ya?” lanjut Rukmini dengan nada tinggi, nafasnya mulai memburu. “I
“Males banget mau pulang,” ucap Andini yang kini sudah bersiap untuk pulang. Ya! Sejak mendapat chat dari adik iparnya, Rere. Andini mendadak malas pulang ke rumah. Tapi, jika tidak pulang, mau kemana lagi Andini pergi? [Mbak, aku sama Ibu kayaknya nggak jadi ke rumah kalian deh.][Mbak Andini bisa transfer aja nggak ke rekening aku? Ibu butuh uang buat bayar arisan. Sementara aku mau beli kado untuk acara reuni sekolah lama aku.]Rasa berat hati untuk pulang belum juga sirna, kini dua pesan langsung masuk ke ponsel Andini, yang jelas tertera dari Rere, adik perempuan sang suami. “Arisan? Reuni? Kado? Apa hubungannya denganku?” gumam Andini, suaranya penuh kejengkelan. Wanita itu meremas ponselnya, seolah ingin menghancurkan benda kecil itu dengan genggamannya.Wajah Andini yang biasanya tenang kini tampak memerah, amarah mulai merayap perlahan ke permukaan. Wanita bermata coklat itu meraup wajahnya kasar, mencoba me
[Dari tadi pesanku cuma dibaca aja, Mbak.]Andini mendengus pelan saat membaca pesan itu. Jari-jarinya menekan layar ponsel tanpa banyak berpikir, mencoba mengabaikan kegelisahan yang tiba-tiba merayap di dadanya. Namun, pesan itu tetap mengganggu pikirannya, seolah menuntut perhatian yang tak bisa ia abaikan.Ayu dan Gina, yang duduk di seberangnya, langsung menangkap perubahan ekspresi Andini. Kedua wanita itu saling pandang, lalu melirik sahabat mereka dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di wajah mereka.“Ada apa?” tanya Gina, suaranya terdengar penuh antusias. “Kenapa tiba-tiba diem kayak gitu? Jangan bilang ada berita buruk lagi?”Andini menghela napas, menatap kedua sahabatnya dengan pandangan datar. “Apa mereka itu keturunan kucing? Atau mungkin kelinci?” gumamnya tanpa konteks, membuat Ayu dan Gina langsung melongo.“Hah?” Ayu dan Gina kembali bertukar pandang, jelas tidak mengerti dengan arah pembicaraan Andini.Andini tersenyum miris, lalu meletakkan ponselnya di at