Setelah tiba di rumah sakit, Andini segera menuju lantai tempat dokter kandungan langganannya berada. Ini adalah kunjungan keenamnya dalam satu tahun terakhir, dan setiap kali datang ke sini, hatinya selalu dipenuhi harapan sekaligus ketakutan.
Di dalam ruang periksa, ia duduk dengan tangan dan jari yang saling bertaut, berusaha meredam kegugupannya. Dokter yang mengenakan jas putih bersih itu tersenyum lembut sebelum menatapnya dengan penuh perhatian. “Bagaimana, Dok?” tanya Andini dengan suara pelan, namun penuh harap. Sang dokter menatap layar monitor hasil pemeriksaan sejenak, sebelum beralih menatap Andini. “Semuanya bagus, tidak ada masalah serius. Mungkin—” “Mungkin kenapa, Dok?” Andini langsung menyela, suaranya sedikit meninggi karena panik. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan menenangkan. “Sabar, Bu Andini. Coba tenangkan diri dulu, rileks, dan pikirkan hal-hal baik. Itu bisa membantu mengurangi kecemasan Anda.” Andini menurut, perlahan ia menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya. Wanita itu melakukan hal tersebut berulang kali, tapi ternyata tidak membantu sama sekali. Kekhawatirannya terlalu besar. “Bagaimana saya tidak cemas, Dok?” katanya dengan suara bergetar. “Kami sudah tiga tahun menikah, tapi belum juga dikaruniai anak. Sedangkan tetangga saya yang baru menikah tiga bulan, sekarang sudah hamil muda. Saya frustasi… rasanya ini semua tidak adil bagi saya.” Nada suara Andini melemah, sedangkan matanya mulai memerah. Wanita berambut panjang tersebut menunduk, meletakkan kepalanya di atas meja. Tepat di sela lipatan tangannya. Dokter yang duduk di depan Andini terdiam sejenak, lalu detik berikutnya wanita itu kembali bersuara dengan nada lembut, “Bu Andini, jika Anda terus memikirkan hal buruk, itu hanya akan menguras energi Anda. Sugesti negatif bisa menjadi penghambat tersendiri.” “Tingkat stress pada seseorang, seringkali memicu kesuburan hormon pada tubuh manusia. Hal itu bisa jadi pemicu masalah yang Bu Andini alami saat ini,” imbuhnya. Andini mendongak, kemudian menatap dokter tersebut dengan mata berkabut. “Tapi Dok—” “Begini saja,” sang dokter kembali menyela dengan suara tegas namun hangat. “Tidak ada yang salah dengan berpikir, sebab itu sifat alamiah seorang manusia. Tapi terus-menerus memikirkan hal yang sama bisa menjadi beban tersendiri tanpa Bu Andini sadari. Lebih baik Anda berbagi cerita dengan orang yang bisa Anda percayai.” Andini terdiam. Tangannya mengepal di atas pangkuan. “Lalu, kepada siapa saya bisa bercerita, Dok? Saya hanya punya suami saya dan keluarganya. Sedangkan mereka sama saja, selalu mempertanyakan kapan saya hamil. Saya takut, jika sampai suami saya akan mencari wanita lain. Kalau saya benar-benar tidak bisa memberikan keturunan, Dok,” bisik Andini pada akhirnya, suara itu begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Dokter itu tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Andini dengan lembut. “Saya bahkan belum mengatakan apapun, tapi kenapa Anda sudah berpikir sejauh itu?” tanyanya dengan nada lembut. “Anda tidak mandul, Bu Andini. Anda sehat.” Andini menatap sosok wanita di depannya dengan mata melebar. “Tapi, Dok … kenapa saya belum juga hamil?” “Itu adalah kuasa Tuhan,” jawab sang dokter. “Yang bisa kita lakukan hanyalah berikhtiar dan berdoa. Kurangi pikiran buruk, karena itu hanya akan menambah tekanan pada diri Anda sendiri.” Andini mengangguk lemah. Kemudian ia bangkit dari kursinya dengan gerakan lambat. “Hubungi saya jika ada yang ingin Anda tanyakan,” kata dokter itu sebelum Andini benar-benar melangkah pergi. Andini mengangguk sekali lagi, lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah berat. Sesampainya di area parkir, ia berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. “Hufftt…” Wanita berambut panjang tersebut mencoba mengatur perasaan dan menenangkan pikirannya. “Mungkin Dokter benar. Aku terlalu banyak berpikir negatif,” gumamnya pelan. Tapi sebelum Andini sempat membuka pintu mobil, sebuah suara menghentikan langkahnya. “Aku tuh kangen sama kamu, bukan cuma aku, tapi anak kita juga.” Tubuh Andini menegang. Ia tidak mengenal suara itu, tetapi instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang membuatnya enggan melanjutkan langkah. Mungkin karena kata ‘anak’ yang disebutkan, mampu membius Andini di masa-masa kritis seperti sekarang. “Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu harus cepat nikahi aku sebelum perutku benar-benar membuncit.” Suara yang sama terdengar lagi. ‘Mengapa mereka mudah sekali hamil. Tapi tidak denganku?’ batin Andini yang kini berdiri kaku, dadanya berdegup keras. Perlahan ia mengedarkan pandangan ke sekitar. “Sudahlah, kita periksakan dulu saja. Apa kau benar-benar hamil atau tidak!” Andini kembali menahan napas. Suaranya tercekat di tenggorokan. Suara itu… seperti… Jantungnya berdebar lebih kencang saat Andini menyadari sesuatu. “Kenapa aku seperti mengenali suara itu…,” lirihnya. Tubuh Andini membeku di tempat. Sebuah kenyataan yang belum pasti, namun cukup untuk membuat dunianya bergetar. “Kalau kamu memang hamil, aku pasti akan menikahimu! Aku janji!” “Aku bukan laki-laki brengsek, yang akan lari dari tanggung jawab!”Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge
“Tolong kasih tahu kalau kamu tahu dimana Nino, Ndin.” Suara Niko terdengar pelan namun terdesak. Ada kecemasan samar di balik nada bicara laki-laki itu, tapi Andini tak menggubrisnya. Ia menyandarkan punggung ke tembok dengan santai. Alis kirinya terangkat. “Kenapa tanya aku? Aku kan cuma kakak iparnya,” jawab Andini datar. Bibirnya menyeringai kecil dan kembali melanjutkan. “Coba tanya mantan pacar, alias mantan calon istrinya, yang sekarang jadi ... kakak iparnya juga. Kali aja dia tahu.” Kata-kata Andini tak hanya tajam, tapi juga menusuk tepat ke titik malu seseorang yang masih punya harga diri. Sayangnya, wanita yang ia tuding hanya berdiri tegak, tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tak ada gerakan menunduk, apalagi rasa bersalah. Andini mendesis pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lisa, menilai gerak-gerik yang tak berubah. ‘Benar-benar tak punya malu rupanya, cih!’ batinnya menggeram. Ia memiringkan kepala sedikit, seolah memperjelas arah serangannya berikutnya. “Lagia
“Lha kok tanya saya? Kan anak situ, bukan anak saya.”Suara Andini terdengar tenang, namun tajam. Ucapannya seperti pisau yang menusuk ke dasar harga diri sang mertua.“Jangan kurang ajar kamu, Andini!” bentak Rukmini lantang, nadanya melengking menusuk gendang telinga.Andini memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Perlahan ia membuka kelopak mata dan melangkah maju, tubuhnya tegak. Suasana mendadak menegang. Tiap ketukan hak sandalnya di lantai membuat jantung Rukmini berdegup lebih cepat.Ia kini berdiri tak sampai dua langkah dari sang mertua.“Coba ulangi kata-kata Ibu,” ucap Andini, pelan namun penuh tekanan. “Aku nggak terlalu denger tadi.”Rukmini spontan menelan ludah. Glek! Tangan tuanya gemetar kecil, dan sorot matanya berusaha menghindar dari tatapan menantunya yang tajam. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Ma—mau apa kamu, Andini?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar, patah-patah, bahkan nyaris tertelan rasa gugupnya sendiri.Andini menaikkan satu alis, l
“Tolong jangan bertele-tele, Andin.”Nada suara Niko terdengar mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri tegak, dengan dada membusung, namun wajahnya menyimpan gelisah yang tak bisa ditutupi. Di sampingnya, Lisa berdiri kaku. Tangannya saling menggenggam erat di depan perut yang masih belum terlihat membuncit, mencoba terlihat tenang meski jelas matanya menyapu seisi ruangan dengan angkuh.Andini mengangkat wajah, menatap lurus ke arah sang suami. Tatapannya menusuk, tanpa senyum, tanpa basa-basi.“Siapa yang sebenarnya bertele-tele, Mas?” balas Andini dengan suara datar namun tegas.Ia melangkah pelan, dan mendekat. Pandangannya berpindah dari Niko ke Lisa. Tatapan tajamnya membuat Lisa menunduk tanpa sadar, seolah tengah diperiksa oleh seorang hakim.Tak ada keramahan di wajah Andini. Tak ada raut lembut yang dulu sempat menghiasi setiap interaksi mereka. Yang terlihat hanya ketegasan dan dingin yang mencekam.“Aku bawa Lisa kemari untuk tinggal bersama kita,” ucap Niko pada akhirnya
“Sayang … ini Lisa. Aku sama Lisa udah nikah tadi pagi.” Suara Niko terdengar tenang, bahkan sedikit santai, seolah yang ia ucapkan bukanlah sebuah pengkhianatan besar terhadap pernikahannya sendiri. Sementara Andini duduk di kurai teras, mengenakan daster bermotif bunga dan menyilangkan kakinya dengan santai. Di pangkuannya, sebuah ponsel menyala dengan suara film romcom dari negeri seberang yang ia tonton sambil menyeruput teh hijau. Aroma pandan dan jahe dari kue yang baru saja ia makan amat menenangkan, kontras dengan situasi yang baru saja dilemparkan ke wajahnya. Sekilas, Andini melirik ke arah dua sosok yang berdiri di sisi kirinya. Tak ada keraguan di mata Niko, dan Lisa tampak berdiri dengan percaya diri tepat di samping suami barunya, bahkan keduanya sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Andini hanya menatap mereka sepersekian detik sebelum akhirnya kembali memfokuskan perhatian