Share

Bab 4

Penulis: Mami ice bear
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-06 12:24:04

Setelah tiba di rumah sakit, Andini segera menuju lantai tempat dokter kandungan langganannya berada. Ini adalah kunjungan keenamnya dalam satu tahun terakhir, dan setiap kali datang ke sini, hatinya selalu dipenuhi harapan sekaligus ketakutan.

Di dalam ruang periksa, ia duduk dengan tangan dan jari yang saling bertaut, berusaha meredam kegugupannya.

Dokter yang mengenakan jas putih bersih itu tersenyum lembut sebelum menatapnya dengan penuh perhatian.

“Bagaimana, Dok?” tanya Andini dengan suara pelan, namun penuh harap.

Sang dokter menatap layar monitor hasil pemeriksaan sejenak, sebelum beralih menatap Andini. “Semuanya bagus, tidak ada masalah serius. Mungkin—”

“Mungkin kenapa, Dok?” Andini langsung menyela, suaranya sedikit meninggi karena panik.

Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan menenangkan. “Sabar, Bu Andini. Coba tenangkan diri dulu, rileks, dan pikirkan hal-hal baik. Itu bisa membantu mengurangi kecemasan Anda.”

Andini menurut, perlahan ia menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya. Wanita itu melakukan hal tersebut berulang kali, tapi ternyata tidak membantu sama sekali. Kekhawatirannya terlalu besar.

“Bagaimana saya tidak cemas, Dok?” katanya dengan suara bergetar. “Kami sudah tiga tahun menikah, tapi belum juga dikaruniai anak. Sedangkan tetangga saya yang baru menikah tiga bulan, sekarang sudah hamil muda. Saya frustasi… rasanya ini semua tidak adil bagi saya.”

Nada suara Andini melemah, sedangkan matanya mulai memerah. Wanita berambut panjang tersebut menunduk, meletakkan kepalanya di atas meja. Tepat di sela lipatan tangannya.

Dokter yang duduk di depan Andini terdiam sejenak, lalu detik berikutnya wanita itu kembali bersuara dengan nada lembut, “Bu Andini, jika Anda terus memikirkan hal buruk, itu hanya akan menguras energi Anda. Sugesti negatif bisa menjadi penghambat tersendiri.”

“Tingkat stress pada seseorang, seringkali memicu kesuburan hormon pada tubuh manusia. Hal itu bisa jadi pemicu masalah yang Bu Andini alami saat ini,” imbuhnya.

Andini mendongak, kemudian menatap dokter tersebut dengan mata berkabut. “Tapi Dok—”

“Begini saja,” sang dokter kembali menyela dengan suara tegas namun hangat. “Tidak ada yang salah dengan berpikir, sebab itu sifat alamiah seorang manusia. Tapi terus-menerus memikirkan hal yang sama bisa menjadi beban tersendiri tanpa Bu Andini sadari. Lebih baik Anda berbagi cerita dengan orang yang bisa Anda percayai.”

Andini terdiam. Tangannya mengepal di atas pangkuan.

“Lalu, kepada siapa saya bisa bercerita, Dok? Saya hanya punya suami saya dan keluarganya. Sedangkan mereka sama saja, selalu mempertanyakan kapan saya hamil. Saya takut, jika sampai suami saya akan mencari wanita lain. Kalau saya benar-benar tidak bisa memberikan keturunan, Dok,” bisik Andini pada akhirnya, suara itu begitu pelan hingga nyaris tak terdengar.

Dokter itu tersenyum tipis dan mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Andini dengan lembut.

“Saya bahkan belum mengatakan apapun, tapi kenapa Anda sudah berpikir sejauh itu?” tanyanya dengan nada lembut. “Anda tidak mandul, Bu Andini. Anda sehat.”

Andini menatap sosok wanita di depannya dengan mata melebar. “Tapi, Dok … kenapa saya belum juga hamil?”

“Itu adalah kuasa Tuhan,” jawab sang dokter. “Yang bisa kita lakukan hanyalah berikhtiar dan berdoa. Kurangi pikiran buruk, karena itu hanya akan menambah tekanan pada diri Anda sendiri.”

Andini mengangguk lemah. Kemudian ia bangkit dari kursinya dengan gerakan lambat.

“Hubungi saya jika ada yang ingin Anda tanyakan,” kata dokter itu sebelum Andini benar-benar melangkah pergi.

Andini mengangguk sekali lagi, lalu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah berat.

Sesampainya di area parkir, ia berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam.

“Hufftt…”

Wanita berambut panjang tersebut mencoba mengatur perasaan dan menenangkan pikirannya.

“Mungkin Dokter benar. Aku terlalu banyak berpikir negatif,” gumamnya pelan.

Tapi sebelum Andini sempat membuka pintu mobil, sebuah suara menghentikan langkahnya.

“Aku tuh kangen sama kamu, bukan cuma aku, tapi anak kita juga.”

Tubuh Andini menegang. Ia tidak mengenal suara itu, tetapi instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang membuatnya enggan melanjutkan langkah. Mungkin karena kata ‘anak’ yang disebutkan, mampu membius Andini di masa-masa kritis seperti sekarang.

“Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu harus cepat nikahi aku sebelum perutku benar-benar membuncit.” Suara yang sama terdengar lagi.

‘Mengapa mereka mudah sekali hamil. Tapi tidak denganku?’ batin Andini yang kini berdiri kaku, dadanya berdegup keras. Perlahan ia mengedarkan pandangan ke sekitar.

“Sudahlah, kita periksakan dulu saja. Apa kau benar-benar hamil atau tidak!”

Andini kembali menahan napas. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Suara itu… seperti…

Jantungnya berdebar lebih kencang saat Andini menyadari sesuatu.

“Kenapa aku seperti mengenali suara itu…,” lirihnya.

Tubuh Andini membeku di tempat. Sebuah kenyataan yang belum pasti, namun cukup untuk membuat dunianya bergetar.

“Kalau kamu memang hamil, aku pasti akan menikahimu! Aku janji!”

“Aku bukan laki-laki brengsek, yang akan lari dari tanggung jawab!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 49

    Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 48

    “Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 47

    [Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 46

    "Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 45

    “Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 44

    “Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status