Seketika, ide melintas di kepala Andini. Ia buru-buru berlari ke kamar, mengambil ponselnya sendiri, lalu mengetik sesuatu.
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dan balasan pun datang. [Dia nggak ada jadwal masuk kantor hari ini. Entah kalau ketemu klien. Aku juga tak paham.] Jantung Andini berdetak kencang. Kali ini, Ia semakin yakin jika Niko sedang berbohong! Tangannya mencengkeram ponsel dengan erat. Dadanya bergemuruh sedangkan nafasnya memburu. “Kamu berani main-main sama aku, Mas?” geram Andini. Ia menatap keluar jendela, melihat mobil sang suami yang perlahan keluar dari gerbang. Kemarahan Andini seketika meledak. Tanpa pikir panjang, wanita itu meraih kunci mobil dan bergegas keluar. “Aku harus mengikuti Mas Niko! Apapun yang terjadi.” “Kita akan lihat, Mas. Kau benar pergi ke kantor ekspedisi, atau ke tempat lain!” Andini menggumam lirih, matanya menatap tajam ke arah mobil hitam yang baru saja melaju meninggalkan halaman rumah. Dengan gerakan cepat, ia meraih kunci mobil dari dalam saku celananya. Tidak ada waktu untuk ragu, tidak ada ruang untuk sebuah kebimbangan. Tanpa membawa tasnya, wanita itu melangkah cepat ke garasi. Semua yang ia butuhkan sudah ada di dalam mobil sejak tadi pagi. Mulai dari berkas pemeriksaan, dompet dan beberapa benda lainnya. “Maaf, Mas. Aku tak semudah itu menerima semuanya hanya karena kecupan hangatmu,” bisiknya, lalu menyalakan mesin mobil dan segera melaju. Matanya menajam, mengawasi mobil hitam milik Niko yang berada beberapa ratus meter di depan. Jaraknya cukup aman agar laki-laki itu tidak menyadari bahwa dirinya sedang diikuti. Setiap kali roda mobil berputar, jantungnya berdegup semakin cepat. Andini menatap lurus ke depan, mencari tanda-tanda bahwa suaminya mungkin berbohong. “Benarkah ini jalan ke kantor ekspedisi?” gumamnya, menggigit bibir bawah. Sebab kantor ekspedisi yang dia tahu bukan ke arah yang saat ini dirinya berada. Mobil Niko memang melaju ke arah pusat kota, jalur yang cukup padat di hari kerja seperti sekarang. Namun, Andini menolak untuk percaya begitu saja. Ia tetap mengikuti Niko dengan penuh kewaspadaan. Andini tahu, kadang seseorang yang pandai menyembunyikan kebohongan justru berusaha bertindak seperti biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan. “Tidak… aku tak boleh terkecoh.” Wanita itu mengeratkan genggamannya di kemudi, menahan emosinya yang perlahan naik ke permukaan. Beberapa menit kemudian, mobil hitam itu akhirnya berbelok ke sebuah gedung pencakar langit dengan halaman luas dan dikelilingi pohon rindang. Mata Andini membelalak, nafasnya pun tercekat. “Ternyata… dia benar-benar ke kantor ekspedisi….” Andini bergumam lirih. Hatinya terasa sesak oleh rasa bersalah yang tiba-tiba datang menghantam. Saat matanya menangkap tulisan besar, nama kantor ekspedisi yang didatangi suaminya. Kemudian, Andini menepikan mobilnya di tempat yang agak jauh, cukup untuk mengawasi dari kejauhan. Niko keluar dari mobil dengan langkah santai, mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan gelap, sama seperti yang ia siapkan. Dengan tenang, pria itu berjalan melewati lobi, masuk ke dalam gedung tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Andini memejamkan mata, kemudian menghembuskan napas panjang. Hingga tak lama kemudian, laki-laki itu keluar gedung sambil membawa bungkusan hitam khas paket yang biasa dikirim. “Hufftt… Ya sudahlah, lebih baik aku pergi sendiri. Stop berpikir yang aneh-aneh, Andini,” ujar wanita itu, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tring! Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Niko mengirimkan foto dirinya yang tengah memegang paket. Kemudian, foto berikutnya masuk, hasil tangkapan layar percakapan pada ponsel laki-laki itu. Tangkapan tersebut menyebutkan, jika Niko sudah ditunggu untuk pertemuan dadakan. Hal itu membuat Andini mulai menurunkan kecurigaannya. Namun meski begitu, rasa cemas itu masih menggantung di hatinya. Tapi dengan cepat Andini menggeleng, mencoba menepis isi pikirannya. Wanita berambut panjang tersebut menyalakan kembali mesin mobilnya dan memutar arah menuju rumah sakit. Tempat yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya selama enam bulan terakhir, sebuah upaya yang ia lakukan demi mendapatkan buah hati yang selama ini dinantikan. Sambil menunggu lampu lalu lintas berubah hijau, ia mengetik pesan singkat untuk sang suami. [Aku sudah jalan ke rumah sakit.] Andini menatap layar ponselnya beberapa detik, berharap ada balasan cepat. Tapi tidak ada. Dengan nafas berat, ia menyimpan kembali ponselnya dan kembali fokus pada jalan. Namun, wanita itu kembali teringat pada sebuah pesan yang tadi pagi masuk. Saat berada di lampu merah kedua. Andini kembali mengambil ponselnya dan membuka blokiran sebuah nomor… [Jangan usik rumah tanggaku! Aku masih bersikap seperti ini karena menghargai hubungan kita sebelumnya. Tapi kalau kamu masih terus melakukannya. Jangan salahkan aku, jika sampai harus bertindak!] Berikutnya, Andini kembali meletakkan benda pipih tersebut. Rahangnya mengeras saat mengingat kelakuan sosok yang baru saja ia kirimi pesan. “Lihat saja, aku nggak akan diam saja kalau kalian masih berulah!”“Nino masih belum ketemu juga, Nik?”Suara Rukmini terdengar serak namun penuh tekanan. Tatapannya menusuk ke arah putra sulungnya, Niko, yang duduk di sofa dengan wajah gelisah. Sudah satu minggu Nino menghilang tanpa jejak, tepat sejak hari pernikahan Niko dengan Lisa—wanita yang dulunya juga adalah kekasih Nino sendiri.Pertanyaan itu seakan menambah beban yang sudah bertumpuk di pundak Niko. Ia menghela napas berat, menunduk sambil memijit pelipis. Namun sebelum sempat menjawab, suara lain terdengar.“Andini, kamu beneran nggak tau dimana Nino?” Rukmini langsung mengalihkan fokusnya pada sang menantu, tatapannya tajam penuh curiga.Andini yang sejak tadi duduk tenang, hanya mengangkat wajahnya sekilas. Ekspresinya datar, tak ada sedikitpun rasa terintimidasi.“Nggak,” jawabnya singkat, tanpa basa-basi.Jawaban itu membuat dahi Rukmini berkerut. “Kamu itu, Ndin, mertua ngajak ngomong serius malah jawabannya sengak.” Suaranya meninggi, penuh kekesalan yang sudah lama dipendam.Andi
“Neng yakin mau tampung mereka di sini?”Suara Mbok Nah terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Pertanyaan itu meluncur setelah langkah kaki Lisa dan Niko lenyap dari ruang makan. Suasana mendadak lengang, menyisakan aroma nasi goreng yang sudah dingin.Andini masih duduk di kursinya, menyentuh cangkir teh hijau yang uapnya mulai menipis. Wajahnya tampak tenang, nyaris datar, meski jelas ada sisa ketegangan di ruangan itu.“Memang kenapa, Mbok?” tanyanya lembut, berbeda jauh dari nada bicara keras dan menusuk yang ditujukan pada Lisa beberapa menit lalu.Mbok Nah mengalihkan pandangannya sejenak, lalu menatap kembali. Ada keraguan di sorot matanya, seperti orang yang menyimpan kalimat tetapi enggan mengucapkannya.“Em … gapapa sih, Neng.”Andini tersenyum tipis, senyum yang lebih seperti menahan lelah ketimbang ramah.“Ngomong aja, Mbok. Gapapa kok. Lagian, pesanku cuma satu. Mbok Nah jangan pernah ikutin kemauan mereka. Ini bukan soal siapa yang bayar Mbok Nah. Tapi orang-orang mac
“Mas! Kamu belain dia?”Lisa mencebik, bibirnya menekuk penuh kekesalan. Matanya menyipit, menatap suaminya dengan tajam seakan mencari pengakuan. Ketidakpuasan jelas menguasai wajahnya.Beberapa saat sebelumnya, Lisa masih saja meributkan hal kecil, tentang sarapan yang tak sesuai dengan seleranya. Hingga suasana ruang makan menjadi riuh. Sementara Andini tetap duduk dengan tenang, tak tergoyahkan oleh keributan yang dibuat oleh adik madunya. Sedangkan Niko datang terlambat. Laki-laki itu mencoba menengahi. Namun, di mata Lisa, jelas sekali sikap Niko lebih berpihak pada Andini.“Aku nggak belain siapa-siapa, Lisa,” ucap Niko pelan, suaranya nyaris tenggelam.Kalimat itu bukannya menenangkan, justru terdengar ragu. Bahunya menurun, sorot matanya tak berani menatap lama pada istrinya yang sedang meledak-ledak.Andini masih bersikap cuek. Ia sibuk dengan piring berisi nasi gorengnya, menyendok perlahan seolah suara keras Lisa hanyalah dengungan lalat di telinga. Bahkan saat Lisa melot
“Mbok! Mana sarapannya?!”Suara melengking Lisa menggema, menghantam dinding-dinding rumah besar itu. Nada tinggi yang terdengar kasar membuat pagi yang seharusnya tenang berubah gaduh.Andini yang baru saja menutup pintu kamarnya tersentak kecil. Keningnya berkerut.‘Berulah apalagi orang itu?’ batinnya. Dengan langkah santai namun penuh rasa waspada, ia berbalik arah dan menuruni tangga.Di ruang makan, Mbok Nah terlihat tergopoh, terburu-buru mendekat. Usianya sudah senja, namun ia tetap berusaha sigap. Sementara di ujung meja makan, Lisa berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya memerah menahan emosi.“Itu sarapan, Non,” ucap Mbok Nah sambil menunjuk nasi goreng hangat yang sudah tersaji, lengkap dengan telur mata sapi yang masih mengepul di piring kecil.Lisa mendengus keras. Ia mengangkat telunjuknya, menunjuk ke arah hidangan tersebut dengan tatapan penuh rasa muak.“Ini kamu bilang sarapan?”Mbok Nah menelan ludah, suaranya ragu tapi tetap sopan.“Memang … mau sarapan
Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge