Annisa dan Shafira sedang ada dalam perjalanan menuju rumah orang tua Annisa. Mereka menggunakan bus untuk sampai ke kota tempat Annisa dilahirkan itu. Di dompet Annisa hanya tersisa uang seratus lima puluh ribu rupiah. Annisa bahkan harus berhemat dan menahan rasa laparnya. Sepanjang perjalanan air mata Annisa terus mengalir, sekalipun ia terus mencoba untuk menegarkan dirinya.
Shafira yang baru pertama kali naik bus terlihat begitu senang dan ceria. Senyum Shafira, hanya itu yang mampu membuat Annisa kuat.Ketika hampir sampai ke tempat tujuan, Annisa mengambil ponselnya dan menelepon bapaknya. "Hallo, Pak. Ini Nisa, Nisa sedang dalam perjalanan ke rumah. Setengah jam lagi tolong jemput Nisa di terminal!" kata Annisa. "Oh, kamu mau pulang, Nak? Koq ga bilang dulu? Ya sudah, Bapak jemput kamu,"Annisa tersenyum dan menutup telepon itu, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Bapak dan ibunya pasti senang bisa bertemu dengan Shafira, karena terakhir kali mereka melihat Shafira adalah saat Shafira berusia enam bulan. Shafira sudah tertidur lelap di pangkuan Annisa. Setiap kali melihat wajah malaikat kecil tanpa dosa itu, hati Annisa begitu sakit dan pilu. Seringkali Annisa berpikir, seandainya saja dulu mereka tidak menuruti keinginan Ibu Dani untuk tinggal di rumahnya, mungkin saja kini keluarga kecil mereka masih bahagia. Akhirnya bus yang mereka tumpangi sampai juga di terminal. Annisa segera menggendong Shafira dan turun. Annisa melihat ke sekelilingnya, sepertinya bapaknya belum sampai. Annisa duduk di kursi yang tersedia di terminal itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Bapak Annisa sampai dan segera menghampiri Annisa. Annisa mencium tangan bapak dan memeluknya dengan erat. Lalu bapak membantu menggendong Shafira. "Nisa, kamu datang sendiri? Mana Dani?" tanya bapak. "Mas Dani masuk kerja, jadi ga bisa ikut, Pak," kata Annisa. "Oo, ya sudah, ayo kita pulang. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu," kata bapak. "Wah, pasti enak, kebetulan Annisa juga sudah lapar," kata Annisa. ---Malamnya, Dani baru saja pulang ke rumah dan melepaskan sepatunya. Ibu membukakan pintu dengan wajah yang terlihat sendu. "Bu, koq sepi? Mana Annisa? Apa Shafira sudah tidur?" tanya Dani. "Nak, maafkan Ibu," kata ibu sambil menundukkan kepalanya. "Maaf kenapa, Bu?" tanya Dani. "Tadi siang Ibu berusaha mengajak Annisa bicara dan menasehatinya. Tapi Annisa tersinggung dan marah, lalu Annisa pergi dari rumah. Maaf Ibu ga langsung menghubungi kamu, karena Ibu takut mengganggu pekerjaanmu," kata ibu. "Apa? Kenapa Annisa senekat itu, Bu? Kenapa Annisa tidak menghubungi aku terlebih dahulu?" tanya Dani dengan gusar. Dani mencoba menelepon Annisa, namun Annisa tidak mau menjawab telepon itu. Dani menjadi kesal dan gelisah. Berulangkali Dani mencoba menghubungi Annisa lagi, tapi ponsel Annisa malah dimatikan. "Dani harus menyusul Annisa, Bu. Pasti dia ke rumah orang tuanya," kata Dani. "Ini sudah malam, Nak. Kamu baru pulang kerja dan pasti masih lelah, bisa berbahaya kalau kamu memaksa pergi sekarang. Besok pagi saja kamu ijin bekerja dan menyusul Annisa, ya," kata ibu. Dani menyetujui perkataan ibu dan berusaha menunggu sampai pagi. Tapi malam itu Dani tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia merasa kesal dan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat Annisa semarah itu. Keesokan paginya, Dani menelepon ke kantornya dan meminta ijin selama dua hari. Lalu Dani pergi ke rumah orang tua Annisa. Dani sampai di rumah orang tua Annisa saat hari menjelang siang. Annisa menatap wajah Dani yang kusut dan terlihat kurang tidur. Annisa tidak mengeluarkan sepatah katapun ketika melihat Dani. "Pak, Bu, Dani datang untuk menjemput Annisa dan Shafira," kata Dani. "Annisa, ini suamimu datang. Saran Bapak, cobalah bicarakan dengan baik-baik, apa yang menjadi masalah kalian," kata Bapak dengan bijak. "Annisa sudah mencoba membicarakannya, Pak. Tapi Mas Dani tidak menghiraukan Annisa dan menganggap remeh masalah ini," kata Annisa dengan kesal. "Nisa, jangan emosi ya, bicarakan dengan baik dari hati ke hati. Kalian masih muda, coba redam emosi dan ego kalian. Ibu percaya, kalian pasti bisa menyelesaikan masalah ini," kata ibu. Bapak dan ibu memberi waktu dan kesempatan untuk Dani dan Annisa agar bisa berbincang berdua."Mas, aku sudah tidak tahan dengan perlakuan ibumu padaku. Ibu hanya bersikap baik kepadaku jika ada kamu. Jika kamu sedang tidak di rumah, aku ini hanya pembantu di rumah itu," kata Annisa. "Apa maksudmu, Nis?" tanya Dani. Annisa membuka dompetnya dan memperlihatkan isinya pada Dani. "Lihat ini, Mas! Gaji yang kamu berikan padaku setiap bulan, itu diminta oleh ibu seluruhnya. Aku hanya diberi tiga ratus ribu setiap bulannya. Aku dan Shafira harus menahan lapar dan haus, karena uang ini tidak cukup, Mas. Apa kamu perhatikan Shafira semakin kurus? Apa kamu bisa merasakan aku yang selalu terlihat kelelahan? Kamu terlalu sibuk bekerja, Mas. Kamu ga tahu apapun di rumah itu, sama sekali!" kata Annisa sambil menangis. "Tidak mungkin! Ibu tidak mungkin melakukan itu, Nis!" kata Dani."Kamu tidak percaya, kan? Karena itu selama ini aku diam dan menutupi semuanya dari kamu, Mas. Percuma aku bicara apapun dan kamu tidak mempercayai aku. Aku lelah, Mas. Biarkan aku dan Shafira tinggal di sini saja," kata Annisa."Papa.." kata Shafira sambil membuka tangannya dan menghambur ke pelukan Dani. Shafira terlihat begitu senang dan langsung bergelayut manja di pelukan papanya. Dani terharu melihat Shafira dan segera memeluknya dengan erat. Dani memang begitu dekat dengan Shafira. Melihat adegan itu, Annisa juga menangis sedih. Ia tidak tega melihat Shafira yang begitu merindukan papanya, walaupun hanya berpisah sehari saja. Annisa berpikir, Shafira pasti akan sangat terluka jika harus berpisah dengan papanya."Mas, pulanglah! Aku tidak akan mengubah keputusanku. Aku dan Shafira akan tinggal di sini," kata Annisa tanpa menatap mata Dani."Nis, apa kamu tidak kasihan pada Shafira? Lihat betapa cantik dan lucunya dia, apa kamu tega keluarga kita ini terpecah? Shafira membutuhkan kita, Nis. Dia harus mendapatkan kasih sayang dari keluarga yang utuh, limpahan perhatian dan kasih sayang dari papa dan mamanya," kata Dani dengan lembut. Ibu dan Bapak masuk kembali ke ruang tamu dan duduk bersama Dani dan A
Suatu siang, ketika sedang menggendong dan menenangkan Shafira yang rewel, tanpa sengaja Annisa mendengar sesuatu yang tak pernah ia duga. Ibu mertuanya sedang berbicara dengan seseorang di dekat pagar tembok tetangga rumah itu. Dahlia mengintip dengan hati-hati, ternyata ibu mertuanya sedang berbicara dengan Bu Tia. Bu Tia tinggal di sebelah rumah Dani. "Iya Bu, menantu saya itu pemalas. Annisa itu selalu bangun kesiangan, sampai saya yang harus menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan berangkat bekerja, mengurus dan memandikan anaknya, dan bersih-bersih rumah. Maklumlah, mungkin dari dulu Annisa itu tidak dididik dengan benar sama orang tuanya," kata ibu. "Wah, menantu begitu harus ditegur loh, Bu. Jangan dibiarkan saja seperti itu!" kata Bu Tia. "Saya ini sudah berusaha menasehati dia baik-baik, Bu. Kemarin saya menegur Annisa, tapi dia malah pergi dari rumah. Saya jadi bingung dan serba salah. Saya tidak mau ada keributan di rumah," kata ibu mertua terdengar bijak. "Ya ampu
Selama beberapa hari Annisa melakukan pembalasan pada ibu mertuanya. Annisa membalikkan perlakuan mertuanya itu dengan cara yang sama. Annisa tampak manis di depan Dani, melayani Dani dan ibu mertuanya dengan baik. Namun ketika Dani sudah berangkat bekerja, Annisa masuk ke dalam kamar dan bermain bersama Shafira. Annisa tidak mau memasak atau membersihkan rumah seperti biasanya. Untuk makan siang, Annisa akan memesan makanan untuk dirinya sendiri, atau pergi keluar rumah bersama Shafira. Malam itu, Ibu Dani mendekati Dani dan mengadukan perbuatan Annisa padanya. "Dan, Ibu lelah sekali," kata Ibu Dani. "Kenapa, Bu? Apa kita mencari asisten rumah tangga lagi saja?" kata Dani. "Dan, istrimu itu beberapa hari ini tidak mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian, menyapu, dan lain-lain. Ibu tidak tahan lagi melihat istrimu itu. Dia tidak membantu, tapi malah bermalas-malasan." kata Ibu Dani. Dani terkejut mendengar perkataan ibunya. Dani
Lily dan Ibu Dani pergi keluar dari rumah sampai menjelang malam. Dani dan Annisa sedang makan malam di meja makan ketika Lily dan ibunya kembali ke rumah. Namun Annisa terkejut melihat Ibu Dani dan Lily. Mereka datang dengan banyak plastik belanjaan. Lily dan ibunya juga terlihat cantik dengan tatanan rambut berbeda. Rambut Lily dicat dengan warna yang cukup terlihat. "Hai Mas, Mbak, ini Lily dan ibu membawakan makanan," kata Lily sambil meletakkan satu plastik martabak telur di meja makan. "Wah, kalian habis belanja?" tanya Dani. "Iya, Mas. Kami baru saja dari salon, dan ke mall. Banyak pakaian model terbaru dan sedang diskon nih, Mas," kata Lily dengan senyum cerianya. "Nah, ini baru namanya keluarga. Kalau membeli makanan untuk dimakan semua, bukan untuk dinikmati sendiri," kata Ibu Dani sambil melirik Annisa. Annisa tetap makan dengan tenang dan berusaha tidak terpancing. "Masa ada yang begitu, Bu?" tanya Lily berpura-pura tidak tahu. "Ada donk, orang yang egois dan tidak
Annisa berusaha merelakan perhiasannya yang dijual oleh Lily, walaupun hatinya merasa kecewa dan marah. 'Aku harus segera meminta Mas Dani agar kami bisa pindah dari rumah ini secepatnya. Semakin lama tinggal di rumah ini membuat aku muak. Ibu dan Lily semakin pintar bersandiwara dan memanfaatkan aku. Aku harus berhati-hati pada mereka,' kata Annisa dalam hatinya. Saat Annisa sedang menemani Shafira di kamar, tiba-tiba terdengar suara teriakan Lily yang sangat mengejutkan. "Tolong.. Mbak Nisa, tolong!" Annisa segera berlari ke dapur, arah suara teriakan itu."Ada apa, Li?" tanya Annisa. "Ibu jatuh, Mbak. Mbak bantuin ibu dulu, ya. Aku mau minta tolong tetangga," kata Lily. Annisa segera menghampiri ibu mertuanya yang sedang dalam posisi duduk di dekat lemari dapur. Tetapi anehnya, saat Annisa mengulurkan tangan dan mencoba membantu ibu untuk berdiri, ibu justru berteriak dan menolak. "Aduh.. Sakit, jangan Nis. Jangan sakiti ibu! Ibu mohon sama kamu, Nis," kata ibu dengan berura
"Itu tidak mungkin, Li. Annisa tidak akan melakukan itu," kata Dani tak percaya. "Mas sudah lihat sendiri video tadi, kan? Apa Mas masih membela perempuan itu daripada ibu kandung Mas sendiri?" tanya Lily. Dani segera berlari ke kamarnya dan menjumpai Annisa. Dani langsung mencengkeram lengan Annisa dengan emosi. Annisa berusaha melepaskan lengannya dari Dani, tetapi pria itu semakin erat mencengkeram Annisa. Annisa mulai merasa lengannya perih, kuku Dani mulai menyisakan gurat luka di lengannya. Namun bagi Annisa, sikap dan kecurigaan Dani lebih menyakitkan daripada luka di lengannya itu. "Nisa, apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa berbuat sejahat itu pada ibu?" nada suara Dani meninggi. "Mas, aku tidak berbuat apa-apa. Yang sebenarnya terjadi, bukan seperti yang terlihat di video itu," kata Annisa. "Tapi video itu sudah membuktikan semuanya, Nis. Kenapa kamu tega melakukan itu pada ibu kandungku?" kata Dani dengan marah. "Sudah aku bilang aku tidak melakukan apapun, Mas!" jawab
Ternyata Lily dan ibunya memang tidak pernah menyukai Annisa. Ibu masih geram dengan tindakan Annisa yang melaporkan dirinya pada Dani, sehingga ibu sengaja bersekongkol dengan Lily untuk membalas Annisa. "Hahaha.. Akhirnya kita berhasil mengusir Mbak Annisa dari rumah ini, Bu," kata Lily. "Sst.. Jangan bicara terlalu keras! Nanti Dani mendengarnya," kata ibu Dani. "Ternyata ibu pintar berakting juga," kata Lily. "Kamu juga, Li. Akhirnya Ibu bisa membalas perbuatan Annisa. Kita tinggal menunggu waktu dan membujuk Dani untuk menceraikan istrinya itu. Ibu sudah ga sabar, ingin mencarikan istri untuk Dani. Istri yang lebih cantik dan kaya, punya usaha sendiri mungkin, sehingga kita tidak kekurangan uang," kata ibu. "Setuju, Bu. Oya, bicara soal uang, aku membutuhkan uang, Bu. Ibu harus kasih uang jajanku lebih banyak, karena tadi aku membantu Ibu berakting dan membuat skenario ini," kata Lily. "Kamu kan masih pegang uang dari hasil menjual perhiasan Annisa, masa mau minta uang lagi
Lily keluar dari kamar Dani dan kembali ke kamar ibu. Lily masuk ke kamar ibu dengan senang dan mencium kartu ATM di tangannya. "Aku berhasil mendapatkan uang, Bu," kata Lily sambil memamerkan kartu ATM Dani di tangannya. Ibu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Dasar kamu, Li! Kakak sendiri juga dibohongi," kata ibu. "Kan ibu yang mengajariku, harus bisa mendapatkan semua yang kita inginkan," kata Lily dengan bangga. ---Annisa pergi dari rumah Dani dengan berjuta rasa di hatinya. Annisa merasa sedih, kecewa, marah, kesal, dan bingung. Dani, suaminya sendiri tidak mempercayai perkataannya. Semua orang hanya melihat dan langsung mempercayai video itu. Karena hari sudah gelap dan pikiran Annisa yang masih kacau, Annisa berpikir akan terlalu beresiko jika ia harus pulang ke rumah orang tuanya sekarang. Annisa berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk menelepon Karina, saudara sepupunya. Rumah Karina berjarak satu jam dari rumah Dani. Karina belum menikah, dan mempunyai sebuah usah