"Oh iya, Ardhy, Marina, ini Arini calonnya Fabian. Doakan saja mereka biar segera menyusul kalian."Deg! Aku terkejut mendengar ucapan Pak Harish, sedangkan anaknya hanya tersenyum. Aku hanya tertunduk, tak mampu melihat ekspresi Mas Ardhy. Meski dalam keadaan canggung, kami menikmati makan bersama. "Selamat ya atas pertunangan kalian," ucapku."Terima kasih ya, Mbak Arini," sahut Marina. Senyumannya memang sangat manis, pantas saja akhirnya Mas Ardhy menyetujui perjodohan itu. Mereka terlihat sangat serasi. "Sudah jangan terlalu dipikirkan lagi, doakan saja yang terbaik untuk Ardhy. Bukankah kita juga sudah menemukan jodoh masing-masing?" Deg! Aku menoleh melihat Fabian tiba-tiba berada di belakangku. Saat ini aku tengah mencuci tangan di westafel. Hanya helaan napasku yang terdengar. "Ardhy dan Marina, lalu kau dan aku. Bukankah kita cocok?" tanyanya lagi sambil menaik-turunkan alisnya. Dia memang semenyebalkan itu.Aku hendak kembali menemui ibu yang tengah berbincang dengan or
"Mas, perutku sakit banget ..." ucap Elvina."Sakit? Emangnya obat apa yang kamu masukkan ke makanan? Bukannya obat tidur?"Elvina menggeleng. "Obat buat bikin sakit perut dan diare, Mas.""Astaga. Kenapa?""Aku cuma ingin Arini yang disalahkan, eh malah aku yang kena sendiri.""Udah tau senjata makan tuan kenapa malah nekat makan makanan itu? Bukankah kamu tahu sendiri resikonya seperti apa?""Ya, tapi aku kan gak mungkin mengakui tuduhan Arini di depan ibu, Mas! Bisa gagal rencana kita.""Kita memang sudah gagal El, kamu sih gak hati-hati. Arini itu cerdas gak seperti cewek-cewek kampung lainnya.""Duh, gimana dong Mas, perutku sakit banget."Aku menghela nafas dalam-dalam. "Mau ke dokter?"Elvina menggeleng perlahan. "Nanti ketahuan sama Arini gimana?""Ah kamu ini gimana sih, El. Gak usah bilang-bilang mau ke dokter lah, bilang aja mau jalan-jalan.""Mas, carikan daun jambu biji aja, sama buatkan aku oralit. Nanti kalau sampai besok gak sembuh, baru deh ke dokter.""Ya sudah, kau
"Tiar, kau sedang cari apa di kamar ibu?""I-ibuu ...?!""Ada apa, Bu?" tanyaku saat menyusul ke kamarnya, kami belum jadi berangkat karena kata ibu ada yang ketinggalan. Dan melihat Mas Tiar berada di sana dengan map di tangannya. Oh kena kau, Mas! Kamu ketahuan! Aku tersenyum kecil. Beginilah aslimu, Mas. Mengejar ibu sampai ke sini hanya karena harta warisan. Astaghfirullah.Ibu langsung mengambil map di tangan Tiar. Lelaki itu hanya termenung tanpa bisa berkata-kata."Kita akan bicara setelah ibu pulang kembali, Tiar!" tukas ibu tegas. Dia memang tak marah hanya terlihat kecewa pada anak kandungnya sendiri. "Ayo kita ke Rumah Sakit, Arini!" ajak ibu. Dari nada suaranya yang ketus tersirat kekecewaan yang begitu dalam.Aku mengangguk dan mengikuti langkah ibu. ***"Tenang saja, aku akan membantumu menggagalkan rencananya, tak perlu syarat apapun juga, bukankah cinta itu tak bersyarat?" ucap Fabian.Aku hanya diam saja. Semenjak dia masuk ke kehidupanku, semuanya berbeda. "Oh ya
Part 43"Baguslah kalau ibu sadar diri. Lagian untuk apa ibu tinggal bermewah-mewah, ibu kan sudah bau tanah. Dan ya, yang lebih penting lagi, bersiap-siaplah kalian untuk keluar dari rumah ini!" tukas Elvina. Aku yang mendengarnya saja jadi tak enak pada ibu, dia terlalu sadis."Pergilah, dasar anak dan menantu durhaka!" Ibu begitu marah mengatakannya."Ayo, Mas! Kita pulang. Yang penting kita sudah mendapatkan ini."Elvina langsung menarik tanganku. Masuk ke dalam kamar dan membawa koper yang sudah kami siapkan sebelumnya. Rencananya memang dapat atau tidaknya sertifikat itu, kami akan pulang ke Jakarta.Aku membuka map itu dan tersenyum penuh kemenangan. Ah, memang ibuku itu sangatlah baik.Malam itu juga kami bertolak pulang kembali ke kota. "Mas, aku senang banget deh. Kita akan kaya, Mas!" ujar Elvina sepanjang jalan."Hahaha kau benar, El. Tak sia-sia juga kita bertandang ke Solo." Akhirnya akupun mengakui ide cemerlang El."Kamu sih, keturunan konglomerat kok gak nyadar!""Ya
Part 44Tiba-tiba Elvina menangis dan tertawa secara bersamaan, mirip orang dengan gangguan jiwa. Astaga, kenapa dia? "Kita gak jadi kaya. Hahaha." "El, kamu kenapa? El?!" Kutepuk pipinya tapi justru dia menangis. Astaga, kenapa dengan istriku? Kok tiba-tiba berubah begini?Aku jadi makin panik dengan tingkah, segitu terguncangnya kah dia sampai jadi seperti orang stress begini?"El, Sadarlah, El!""Mas, kapan kita kaya? Kamu sudah janji lho sama aku, mau bahagiakan aku! Hahahaha ... Kita kapan kaya, Mas?!" Kali ini dia tertawa lagi."Elvina!!" bentakku. Dia seolah tak peduli dengan bentakanku. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku jadi ngeri sendiri, jangan-jangan Elvina jadi stress dan depresi karena masalah ini? Masih kuperhatikan tingkahnya itu. Kadang tertawa dan juga menangis. "Mas, kita kaya kan? Kamu kan keturunan konglomerat! Kita gak boleh miskin!" pungkasnya lagi, nada suaranya persis seperti orang linglung.Astaghfirullah ... El, kamu kenapa? Segitu besarnya k
Part 45"Pergilah, dasar anak dan menantu durhaka!" teriak ibu penuh amarah.Aku segera merangkul ibu. Sementara dua orang tak tahu diri itu langsung pergi setelah apa yang diinginkannya sudah tercapai."Ibu, sabar ya, Bu."Ibu menangis usai keduanya meninggalkan rumah. Tangisannya tak bisa dibendung lagi. Tangis kecewa seorang ibu."Arini, ibu tidak tahu harus bagaimana. Elvina benar-benar memberikan pengaruh buruk pada Tiar. Lihat saja, dia akan mendapatkan ganjaran apa yang telah dia perbuat!" ujar ibu penuh penekanan, seolah tengah bersumpah serapah."Ibu sangat lelah, antar ibu istirahat, Nak.""Baik, Bu."Tubuh ibu masih terguncang, sesekali terdengar isaknya. Rasanya tidak ada yang memilukan selain dikhianati oleh anaknya sendiri.***Esok hari, ibu lebih banyak termenung. Mungkin masih kepikiran dengan sikap Mas Tiar juga El."Anak ibu sudah gak ada lagi, selain kamu, Nak. Tetap di sini ya, jangan pernah tinggalin ibu. Tolong temani ibu di masa tua ini," ucapnya dengan nada li
Wajahnya seketika berubah menegang melihat layar ponsel itu."Kenapa gak diangkat? Panggilan dari siapa?"Fabian menoleh ke arahku dan justru tersenyum nyengir, lalu menyerahkan ponsel itu padaku. "Tolong angkatin, please ..." ucapnya.Kupandangi layar ponsel itu. 'Bunda', deretan huruf yang terpampang di sana. Ibunya sendiri yang menelepon kenapa ekspresinya tegang begitu."Tolong angkat teleponnya Arini, please, biar Bundaku percaya kalau aku sedang sama kamu," lanjutnya memberi kejelasan. Pandangan matanya begitu memelas, dia habis melakukan kesalahan apa sih?Kugeser tombol berwarna hijau itu. "Hallo Bian, kamu ngelayab kemana sih? Mobil mau dipake ayahmu malah pergi gak pamit lagi! Tanganmu itu masih sakit kan, malah nekad nyetir sendiri, obat juga belum diminum! Astaga, punya anak satu-satunya malah bandel begini sifatnya!" Rentetan ucapan ibunda Bian terdengar begitu kesal."Hallo assalamualaikum, Bu?""Waalaikum salam. Lho ini siapa ini? Kok ponsel anakku ada sama kamu?" Ak
Part 47"Tidaaaakk .... Biaaaannn!"Dari kejauhan terdengar suara sirine mobil. "Ada yang datang, cepat kabur!" teriak salah seorang preman itu. Mereka lari kalang kabut, kabur ke balik semak-semak. Entah datang dari mana akupun tak tahu.Aku menghambur ke arah Bian, memeriksa napas dan denyut nadinya. Syukurlah masih ada embusan napas yang keluar dari hidung. Darah mulai mengalir bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuh kami. "Bian, bertahanlah."Sesekali terdengar suaranya yang merintih. Gegas aku ke tengah jalan raya, berusaha menghentikan mobil yang lewat. "Pak, tolong kami, Pak!" teriakku lagi.Laju kendaraan itu berhenti, sebuah mobil polisi yang tengah berpatroli. Pria berseragam coklat itu keluar dari mobilnya dengan sebuah payung di tangan."Mbak, ada apa? Kenapa ada di tengah jalan?""Pak, tolong kami, Pak. Kami habis dirampok. Emmh dia ..." Aku menoleh ke tempat dimana Bian berada. "Calon suami saya kesakitan, Pak. Tadi dikeroyok sama preman-preman. Saya mohon to