"Maafin aku ya, Rin. Aku udah banyak banget repotin kamu." Aku berkata dengan nada sendu. Juga kecewa mendengar penuturan Karin baru saja."Udah berkali-kali aku bilang aku gak keberatan. Cuma kalau untuk tinggal di sini lama-lama aku gak bisa. Aku gak mungkin ninggalin butik aku terlalu lama. Meminta Kak Zidan untuk sering-sering nengokin kamu juga gak mungkin. Kalian itu bukan muhrim. Bahaya kalau sampai berduaan di tempat sepi kayak gini. Apalagi status kamu sekarang sudah bersuami. Kasian Kak Zidan kalau dituduh pebinor gara-gara nyembunyiin kamu di sini. Meskipun sebenarnya dia memang suka sama kamu." Karin berkata panjang lebar.Tapi tunggu tunggu. Apa yang dikatakannya tadi? Mas Zidan suka sama aku? "Apa kamu bilang dari tadi, Rin? Mas Zidan suka sama aku?" tanyaku meyakinkan."Eh, enggak. Masa sih aku ngomong gitu? Salah dengar kali." Karin mengelak. Matanya menghindari tatapanku. Jelas-jelas aku tadi denger Karin bilang seperti itu."Oh. Mungkin juga," timpalku. Takutnya jik
Aku masih terpaku menatap ketiganya dengan dada yang tiba-tiba sesak. Seolah ada bongkahan batu besar yang menindih dada ini. Perih, sakit tak terperi. Ingin rasanya aku terperosok ke pusat bumi detik ini juga. Menghilang dan tak pernah muncul lagi. Penglihatan kini mulai berubah buram tertutup kabut air mata. Pantas saja Mas Rayan tak mencariku. Pantas saja dia seolah acuh dengan kepergianku. Ternyata dia sedang sibuk bersama Rumaisha, istri pertamanya."Luna. Kamu ke mana aja? Mas nyari-nyari kamu." Mas Rayan ternyata sudah berdiri di hadapanku dengan memasang wajah cemas. Apa kamu beneran mencemaskan aku Mas? Atau hanya sekedar pura-pura?Aku mengerjap. Membuat setitik air mata jatuh di pipi. Lalu buru-buru menyusutnya dengan punggung tangan. Aku memaksakan sedikit senyum kepada suamiku itu. Keputusan sudah kubuat. Bismillah. Mencoba jalani saja seperti niatku yang sudah bulat."Maafkan aku karena sudah membuat Mas cemas," tuturku dengan suara bergetar. Sebisa mungkin aku tahan air
Meski terasa berat, akhirnya kepalaku mengangguk juga. Akan kujalani apapun yang akan terjadi. Ujian ini memang berat, tapi teringat perkataan Bu Halimah tempo hari, jika bersabar, maka pahala yang besar menanti kita. "Terima kasih, ya, Sayang. Kamu mau mengerti dan menerima keadaan Mas!" Mas Rayan memelukku dari belakang. Mencium puncak kepalaku lembut.Aku hanya bisa tersenyum getir sambil menahan sayatan demi sayatan dalam dada.Setelah melaksanakan solat magrib tiga rakaat, aku segera bersiap untuk turun sesuai titah Mas Rayan tadi. Berjalan menuruni tangga kemudian berbelok menuju dapur.Sampai di sana, terlihat Mbok Acih sedang sibuk menyiapkan makan malam. Tangannya cekatan memindahkan beberapa menu masakan dari wajan ke mangkuk besar."Ada yang bisa Luna bantu, Mbok?" tanyaku menghampirinya. Mbok Acih menoleh, kemudian tersenyum."Gak usah. Duduk saja," tolaknya."Luna bantu siapin piring sama sendok aja ya, Mbok," tawarku lagi. Tak tega rasanya melihatnya kerepotan seperti i
Jantungku berpacu cepat. Dadaku naik-turun menahan gejolak cemburu. Apa lagi yang dilakukan suami istri di dalam kamar kalau bukan memenuhi hasrat satu sama lain. Pertanyaan yang benar-benar bodoh."Nanti siang aku jemput, ya? Hari ini jadwal kamu terapi." Suara Mas Rayan terdengar lembut. Tak kulihat bagaimana reaksi Rumaisha.Aku membekap mulut. Menjaga agar tangisku tak pecah. Perlahan kakiku mundur, lalu berlari kembali ke dalam kamar.Sejenak aku bersandar di pintu yang tertutup. Meredam gejolak emosi yang tiba-tiba menggelegak.Aku menyerah ya Alloh. Aku benar-benar tidak kuat. Baru sehari melihat suamiku dengan wanita lain hatiku sudah porak poranda. Bagaimana kalau seminggu? Sebulan? Aku bisa gila.Maafkan aku Tuhan. Bukan maksud aku ingin menentang syariatmu. Hanya saja ini terlalu menyakitkan buatku. Izinkan aku untuk mengikhlaskannya.Dengan kaki yang terasa tidak menapak, aku berjalan limbung ke arah lemari. Menurunkan koper dari atasnya, kemudian memasukkan semua baju yan
Jam istirahat sudah habis. Mas Zidan juga sudah kembali ke ruangannya. Aku hanya keburu melaksanakan solat dhuhur tanpa makan siang. Hanya satu buah coklat dengan segelas air putih yang masuk ke dalam perutku sebagai pengganjal.Melihat jarum jam yang terus berputar, aku kembali fokus pada berkas-berkas yang masih begitu banyak. Meskipun konsentrasi sempat buyar karena ucapan Mas Zidan tentang kedatangan Mas Rayan ke sini, namun aku berusaha kembali mengabaikan hal itu. Beruntung Mas Zidan sigap bertindak dengan tidak mengizinkan suamiku itu masuk.Aku sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana jika orang-orang di kantor ini tau tentang posisiku sebagai istri kedua. Meskipun mereka semua tidak tau bagaimana cerita yang sesungguhnya, tetap saja istri kedua selalu identik dengan sebutan pel*kor. Padahal jelas-jelas, dalam hal ini, aku juga termasuk korban.Tok tokPintu terdengar diketuk. Aku menyuruhnya masuk. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar saat pintu mulai dibuka.Rum
Mas Rayan kembali duduk di dekat bapak. Wajahnya nampak menunjukkan rasa bersalah sekaligus kegamangan."Maafkan saya, Pa, Bu. Semua ini benar-benar di luar perkiraan saya," tutur Mas Rayan setelah dia menceritakan apa yang terjadi pada Rumaisha."Bapak sama ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Kami serahkan semuanya pada Luna. Dia yang akan menjalani ini semua. Namun, bapak masih menegang janji Nak Rayan untuk tidak menyakiti hati putri kami," jawab bapak bijak."Ibu memang tidak pernah merasakan bagaimana dipoligami. Tapi, ibu tau, dengan mengetahui Nak Rayan mempunyai istri lain selain Luna saja, Luna sudah sangat terluka. Apalagi kalau tinggal dalam satu atap seperti itu. Tidak akan ada wanita yang sanggup," bela ibu dengan langkah kaki mendekat ke arahku. Ditatapnya mataku dengan tatapan sendu.Ah, ibu. Engkau pasti jauh lebih terluka melihat anakmu yang kau besarkan dengan kasih sayang ini juga terluka. "Bu, Pa, Luna boleh minta izin sebenar untuk bicara berdua dengan Mas Rayan?" Ak
"Masa sih Luna mau dijadikan istri kedua? Secara dia kan cantik. Pinter lagi.""Iihh ... gak nyangka ya. Keliatannya baik tapi kok jadi pelakor.""Kalau cuma jadi istri kedua, kenapa gak nikah sama gua aja sih? Gua pasti jadiin yang pertama.""Gak heran kali. Meskipun cuma istri kedua, lakinya kan banyak duit."Komentar-komentar pedas masih bisa telingaku tangkap dengan jelas. Aku semakin menunduk. Menyembunyikan harga diri yang sudah terlanjur jatuh tanpa mereka tau kebenarannya. Ya, sekuat apapun aku mencoba menjelaskan, mereka semua tetap akan menutup mata dan telinga. Istri kedua akan tetap dianggap salah bagaimana pun keadaannya. Sayangnya, aku cuma mempunyai dua tangan. Tentu tak akan cukup untuk membungkam mulut-mulut orang yang terus memojokkan diriku. Namun, kedua tangan ini cukup untuk menutup telingaku agar tak lagi mendengar hujatan demi hujatan yang mereka layangkan."Lun, kamu baik-baik saja?" tanya Rumi yang melihat setetes air mata jatuh ke punggung tanganku. Hari ini,
Aku sempat berpikir untuk meminta Mas Zidan untuk mengurungkan niatnya memecat Rara. Yang penting Rara sudah diberi pelajaran dan dibuat jera. Namun, melihat Rara yang justru tidak ada niat untuk meminta maaf, membuatku berpikir ulang. Biarlah itu menjadi keputusan Mas Zidan seorang. Dia pasti sudah mempertimbangkan baik buruknya."Ini, Lun!" Mas Zidan mengembalikan laporan yang sudah ditandatangani.Niatku untuk mengucapkan terima kasih terpaksa ditunda karena masih ada Rara. Gak apalah. Aku bisa melakukannya lain waktu. "Mari, Pak. Permisi." Aku pun memilih untuk segera keluar dari ruangannya. Membiarkan Mas Zidan menyelesaikan urusannya dengan Rara.***Sejak hari itu, aku benar-benar tidak pernah lagi melihat Rara di kantor ini. Bahkan sudah lebih dari tiga hari kejadiannya. Mungkin keputusan Mas Zidan memecat Rara sudah final. Aku pun tidak ingin ikut campur meskipun tidak bisa dipungkiri ada sangkut pautnya denganku."Hai, Lun? Mau pulang?" tanya Mas Zidan saat aku memakai helm