MasukDi meja makan, salah satu sahabat suamiku tiba-tiba berbicara dalam Bahasa Italia. “Tiga tahun lalu, demi membantu Liora mendapatkan surat damai dari Amara, kamu menikahi Amara dengan pesta yang megah. Selama ini aku melihat sendiri, Amara makin lama makin peduli padamu. Tapi kamu masih saja terus membohonginya. Jelas-jelas itu pil KB, tapi kamu bilang obat depresi. Kamu nggak takut, kalau suatu hari dia tahu kebenarannya… hatinya akan hancur?” Suamiku tersenyum pahit, wajahnya dipenuhi kerumitan. “Seorang anak yang nggak diharapkan, nggak perlu lahir ke dunia. Soal Amara… selama dia nggak mengganggu kebahagiaan Liora, aku akan menepati janjiku, melindunginya seumur hidupku.” Tak ada yang tahu, demi bisa mengikuti langkah suamiku, aku sudah menguasai Bahasa Italia sejak lama. Aku berdiri di ambang ruang tamu. Bekas ciuman masih membekas di leherku. Tanganku menggenggam obat yang katanya “obat depresi”, padahal… Tubuhku membeku. Jadi… semua rasa yang suamiku tunjukkan padaku hanyalah kebohongan semata. Yang kukira sebagai penyelamatan, rupanya hanya tipu daya yang direncanakan dengan rapi. Kalau begitu, aku memilih untuk merelakan mereka semua.
Lihat lebih banyak1
Aira menatap tak percaya lelaki yang duduk di tempat tidur sambil menyeringai. Barusan, lelaki itu mengucap kalimat tak masuk akal. "Apa aku tidak salah dengar, Mas?" Aira masih berusaha meyakinkan dirinya kalau semua itu tidak nyata. Padahal, apa yang tampak di depan mata sudah cukup menjelaskan semuanya. "Tidak Aira! Aku bilang kalau kamu masih mau tinggal di sini, terserah. Tapi, kamu harus mau berbagi segalanya dengan Wita, termasuk tempat tidur." Lelaki itu melirik wanita yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Membelai rambut wanita itu, lalu mencium keningnya. Semua dilakukan Randi di depan mata Aira tanpa memperdulikan perasaan wanita yang menggendong bayi itu. Sakit? Tentu saja. Istri mana yang tidak hancur mendapati suaminya berada di tempat tidur dengan wanita lain. Tempat tidur yang selama ini menjadi saksi cinta mereka, hingga akhirnya Raka –buah cinta mereka hadir. Aira mendekap erat Raka yang tertidur pulas dalam gendongannya. Kepalanya menggeleng, matanya sudah basah hingga pandangannya tak lagi jelas. Jangan tanya bagaimana kondisi hatinya saat ini. Tak ada kata yang mampu menggambarkan. Kakinya perlahan mundur. Mengambil tas di atas lemari, lalu memasukkan semua pakaiannya, juga semua perlengkapan Raka. Tak ingin membuang waktu lama. Setelah berkemas dalam waktu singkat, Aira segera keluar dari kamar laknat yang baru saja dipakai tempat mesum Randi dengan wanita tidak malu itu. "Apa kau yakin mau pergi dari rumah ini?" Pertanyaan bernada ejekan meluncur dari mulut Randi, saat Aira hampir mencapai pintu utama. Lelaki itu menyusulnya. Wanita kurus dengan rambut sebahu itu menghentikkan gerakkan tangannya. Lalu berbalik menatap laki-laki yang sesungguhnya masih bergelar suaminya. Hati Aira semakin terkoyak saat mendapati Randi tak berpakaian. Hanya boxer yang setiap hari dicuci dengan tangannya yang melekat di tubuh laki-laki itu. Aira sangat mengerti apa yang sudah terjadi di dalam sana antara Randi dan wanita yang sedang tertidur pulas itu. "Talak aku sekarang!" ujar Aira dengan menahan gemuruh di dada. Matanya menatap nyalang wajah Randi. Sebenarnya ia tak ingin mengucapkan kalimat itu. Cita-cita hidupnya adalah menikah sekali seumur hidup. Menjalani rumah tangga dengan lelaki yang mengucap ijab qabul atas namanya sampai maut memisahkan. Namun, rumah tangga seperti apa yang akan ia dapatkan setelah melihat sendiri kebejatan Randi? "Sombong sekali wanita ini! Kau pikir bisa hidup tanpa aku, hah? Kalau aku menceraikanmu, kau mau pergi ke mana, hah? Mau jadi gembel? Tinggal di kolong jembatan?" Randi membentak sambil mendengkus kasar. Aira terhenyak. Ia tidak berpikir sampai sejauh itu. Namun, tekadnya sudah bulat untuk pergi dari sana. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari lelaki seperti Randi. Kalau ia tetap bertahan di rumah ini, sama saja bunuh diri pelan-pelan. Karena ia akan terus menyaksikan kemesraan Randi dengan wanita bernama Wita itu. "Apa kau tidak dengar? Talak aku sekarang juga Randi Haryanto! Aku tidak sudi terus menjadi istri lelaki bejat sepertimu!" teriak Aira tak terkendali. Ia bahkan lupa kalau Raka sedang tertidur pulas dalam buaiannya. Alhasil bayi tiga bulan itu kaget, lalu menangis keras. Aira gegas menghapus sudut matanya, lalu menenangkan Raka. Rasa sakit dan marah atas perlakuan Randi membuatnya lupa kalau Raka baru saja tertidur, setelah semalaman rewel akibat demam tinggi. Bukan hanya Raka yang terkejut dengan teriakkan Aira. Wanita yang tertidur pulas setelah perbuatan mesumnya dengan Randi pun terbangun. Lalu keluar kamar dengan hanya memakai handuk sebatas dada. "Ada apa, sih, Bang? Berisik banget?" tanya wanita yang mengucek matanya. Lalu bergelayut manja di lengan Randi. "Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudah kamu tidur saja, katanya capek setelah perjalanan indah kita." Randi menoleh ke arah wanita itu seraya tersenyum manis. Aira memejamkan matanya dengan kuat sebelum meraih gagang pintu, lalu mengambil langkah lebar menuju halaman. "Hei, Aira! Mau ke mana? Apa kau mau jadi gembel? Sudah terima saja berbagi suami dengan Wita. Malah seharusnya bersyukur ada yang membantumu melayaniku. Sadar diri saja kalau kau sudah tidak bisa melayaniku dengan baik, karena terlalu sibuk mengurusi bayi itu!"Aira terus membawa langkah-langkah panjangnya menuju jalan raya. Ia tak mempedulikan lagi teriakkan dari mulut busuk Randi. Keinginannya saat ini adalah pergi sejauh-jauhnya dari lelaki dan rumah laknat itu. Ia terus berjalan sampai makian dan sumpah serapah Randi tak tertangkap indera pendengarannya lagi. Aira pergi bersama hati yang remuk redam. ***Matahari hampir mencapai puncak tertingginya siang ini. Panasnya mungkin mencapai 37°C. Angin panas bergerak membawa debu dan dedaunan kering yang gugur dari pohonnya. Aira mengusap peluh yang mengaliri pelipisnya. Kemeja lengan panjang yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Namun, ia masih terus berjalan tanpa arah tujuan. Selama ini, selain rumah Randi, ia memang tak punya tempat lain untuk bernaung. Aira menghentikan langkah. Raka yang semula tidur, mulai rewel karena perutnya lapar. Wanita itu berniat mencari tempat berteduh sekalian ingin menyusui sang anak. Kakinya hendak melangkah ke pelataran sebuah masjid saat matanya menangkap selebaran yang ditempel di tiang listrik. Bola matanya melebar memperhatikan tulisan demi tulisan di kertas yang mulai lusuh itu. Bukan apa-apa, ia sangat tertarik dengan pengumuman di sana, karena tulisan paling atasnya sangat mencolok. 'Lowongan kerja. Dicari wanita yang mau menyusui bayi baru lahir.'Itu bunyi tulisan paling atas. Aira semakin mempertajam penglihatan. Tangannya menyentuh kertas selebaran itu. Memperhatikan dengan seksama syarat-syarat yang tertera di sana untuk calon pelamar pekerjaan itu. Wanita dengan air susu masih subur. Bersedia menyusui langsung tanpa diperah. Bersedia bekerja dua puluh empat jam. Bisa mengurus bayi. Keibuan. Gaji sepuluh juta, bisa nego. Itu beberapa syarat yang tertera di sana, dan tulisan paling bawah, membuat bola mata Aira terbelalak. Gaji sepuluh juta masih bisa nego? Itu sangat luar biasa. Apa itu tidak terlalu tinggi untuk ukuran pekerjaan hanya menyusui dan mengurus bayi? Bukan gaji tinggi yang akhirnya membuat jari-jarinya mengetik nomor yang tertera di sana untuk melamar pekerjaan itu. Namun, air susunya yang subur, mungkin bisa dibagi antara Raka dan bayi lain yang membutuhkan. Ia dan Raka juga butuh tempat berlindung. Butuh makan untuk kelangsungan hidup setelah lepas dari Randi. Maka, Aira pun rela menjual air susunya, untuk kelangsungan hidup mereka. Walaupun mungkin ke depannya Raka tidak bisa menjadi prioritas.Mendengar semua yang kukatakan, Rafael hanya bisa berdiri terpaku di tempat.Detik berikutnya, dia langsung menggenggam pergelangan tanganku, menarikku masuk ke dalam pelukannya secara paksa.Suara seraknya bergetar seakan menahan emosi.“Amara, kita pasti masih bisa bersama. Kamu pernah bilang akan mencintaiku selamanya.”“Kita bisa punya anak… keluarga kecil kita pasti akan sangat bahagia…”Mendengar itu, aku tak bisa menahan tawa yang keluar begitu saja.“Rafael, kamu masih ingat nggak?”“Kamu sendiri pernah bilang… anak yang nggak diharapkan ayahnya, hanya akan hidup sengsara.”“Dan sekarang kamu malah bilang ingin punya anak denganku?”“Dulu… waktu kamu diam-diam menukar obat antidepresiku dengan pil KB, pernah nggak kamu mikir… kalau aku, sebagai seorang wanita, juga punya hak untuk ingin punya anak?”“Saat kamu menulis nama wanita lain di ruang kerjamu, pernah nggak kamu bayangkan… betapa sakitnya hati ini?”Kalau kata maaf bisa menyembuhkan segalanya, mungkinkah luka yang perna
Kemarahan netizen membara tanpa henti.Tak butuh waktu lama, mereka mulai memboikot semua produk Dirgantara Group. Saham perusahaan pun anjlok, aliran dana nyaris terputus total.Baru kemudian publik sadar, kisah cinta menghebohkan yang dulu diumumkan ke seluruh dunia, hanyalah tirai penutup untuk menyembunyikan keberadaan wanita lain.Dalam waktu singkat, Dirgantara Group limbung. Saham terus merosot hingga menyentuh titik terendah. Kebangkrutan tinggal menunggu waktu.Di tengah kekacauan itu, para pemegang saham tak punya pilihan lain selain bersatu mencopot Rafael dari posisi CEO. Drama itu pun perlahan mereda.Namun sayangnya, nasib Liora tak seberuntung itu.Video percobaan bunuh dirinya dianalisis frame demi frame, membuktikan dia perenang ulung yang bahkan tanpa bantuan bisa berenang dan terapung dengan mudah.Namun saat ibuku melompat ke air untuk menyelamatkannya, dia malah berpura-pura panik.Dia merobek pelampung ibuku, mendorong ban penyelamat menjauh, berulang kali menekan
Tiba-tiba saja, berbagai rumor liar mulai menyebar ke mana-mana.Banyak yang percaya bahwa serigala berbulu domba di sekitarku perlahan-lahan mendorongku masuk ke dalam jurang depresi... sampai akhirnya aku memilih mengakhiri hidupku sendiri.Saat aku berada di luar negeri mengetahui semua itu, tanah airku sudah melewati pergantian tahun baru.Ya, aku belum mati.Sejak memutuskan bercerai, aku sudah menghubungi sebuah agensi khusus untuk memalsukan kematianku.Melihat berita-berita itu, aku hanya menanggapinya dengan pandangan datar.Perasaanku padanya sudah benar-benar mati.Kini, yang aku inginkan hanya satu——melihat mereka hidup dalam penderitaan.Lebih baik kalau mereka musnah sekaligus.Mungkin kematian ibu takkan pernah bisa terbalas, tapi aku akan menggunakan kekuatan moral dan opini publik agar mereka menanggung penderitaan sepanjang hayat.Musim dingin di Islanda sangatlah keras.Malam yang panjang membuatku kesepian, tapi entah kenapa, aku merasa semua itu sangat cocok dengan
[Aku menghabiskan seluruh hidupku mengejar kebahagiaan yang begitu kubanggakan. Tapi nyatanya, semua itu hanyalah mimpi semu—sebuah lelucon yang menyakitkan.Surat damai darimu sudah kubaca. Ditulis dengan indah... namun penuh ejekan pedih terhadap pernikahan ‘sempurna’ yang selama ini kubanggakan.Selamat tinggal.Jangan rindukan aku.]Sebenarnya aku sudah lama tahu kalau pernikahan ini hanyalah sandiwara yang terancang rapi.Saat dia membaca surat wasiatku, wajahnya seketika berubah pucat pasi.Kata ‘selamat tinggal’ menusuk matanya seperti duri yang menancap langsung ke jantungnya.Begitu menusuk. Begitu menyakitkan.Air matanya pun tumpah tanpa kendali.Tubuhnya gemetar, lalu limbung jatuh ke lantai.Dengan suara lirih yang nyaris terdengar seperti rintihan, dia bertanya pada polisi, “Di mana... di mana jenazah istriku?”Petugas membawanya ke kamar jenazah.Tubuh itu sudah membusuk dan nyaris tak bisa dikenali. Tapi pakaian yang dikenakannya... persis seperti milikku.Rafael tak sa
Mendengar isi telepon itu, Rafael tampak tertegun.Dia seolah belum mengerti maksud polisi. Butuh waktu lama untuknya kembali sadar.“Bunuh diri?”“Apa maksud Bapak? Jangan bercanda! Istriku nggak mungkin bunuh diri lompat ke sungai! Ini pasti penipuan, ‘kan?”“Surat damai? Memang aku pernah menulisnya, tapi nggak mungkin surat itu ada di tangan istriku!”Petugas di ujung telepon pun terkejut dengan reaksinya.Namun, mereka tetap mengulang penjelasan kronologi kejadian.“Kami menerima laporan sekitar pukul sembilan malam, ada seseorang yang melompat ke sungai. Dari rekaman CCTV, terlihat seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluhan, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Di lokasi ditemukan sepatu dan surat wasiat yang ditinggalkan. Setelah pencarian selama tiga jam, kami menemukan jenazah istri Anda di hilir sungai.”Rafael tiba-tiba menginjak rem dengan kuat. Mobil pun berhenti mendadak di pinggir jalan.“Nggak mungkin! Hari ini aku baru saja merayakan malam tahun baru bersama
Liora berusaha melepaskan diri sambil tertawa keras, tawanya penuh ejekan.“Mau bilang aku pembunuh? Mana buktinya?”“Mantanmu cinta sama aku, suamimu juga. Mereka percaya aku polos dan baik hati, mereka semua melindungiku. Sedangkan kamu… apa yang bisa kamu lakukan?”Kemarahan membakar dadaku, tapi tubuhku lemah—bertahun-tahun sakit dan depresi membuatku kehilangan tenaga. Aku tak sanggup menekannya lebih lama.Liora mendorongku dengan kasar hingga aku terjengkang.“Kak, apa Kakak sebegitu bencinya sama aku? Aku tahu aku salah… aku mohon, jangan pukul aku,” ucap Liora tiba-tiba penuh drama.“Liora, kamu nggak apa-apa, ‘kan?” Rafael datang terburu-buru, sepertinya mendengar keributan. Matanya penuh kemarahan menatapku, tanpa banyak bicara dia menamparku dengan keras. Rasa kecewa membara dalam sorot matanya.“Amara! Dia itu adikmu! Tapi kamu malah mencoba membunuhnya! Apa kamu sudah gila, hah?”Liora tampak sedih sambil menggeleng pelan.“Jangan salahkan Kak Amara, Bang Raf. Semua ini s












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen